JAKARTA,GRESNEWS.COM - Kebijakan pemerintah melonggarkan syarat ekspor bahan tambang mentah dengan batas minimal kadar konsentrat 15 persen menuai kritik publik. Kebijakan tersebut dinilai hanya upaya mengakali ketentuan Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) yang akan diberlakukan mulai 12 Januari tahun ini. Kebijakan itu juga memunculkan kecurigaan terjadinya kongkalikong antara pengusaha tambang dengan  pemangku kebijakan.  

Menjawab tudingan itu Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, R.Sukhyar membantah. Menurutnya tak  ada kongkalikong antara pengusaha tambang dan pihaknya terkait penerapan khusus ekspor tembaga dan emas dengan batas konsentrat 15 persen.

Sukhyar mengatakan kebijakan ekspor dengan konsentrat tembaga 15 persen bukan secara otomatis memperbolehkan perusahaan tambang melakukan ekspor. Penerapan kebijakan tersebut,  menurutnya, ada syaratnya yakni  menunjukkan keseriusan dalam rencana membangun fasilitas pemurnian atau bekerja sama dengan smelter perusahaan lain. Bahkan Sukhyar mengaku pemerintah juga memberikan batas waktu kepada perusahaan yang ingin menyelesaikan fasilitas smelter.

"Bahasanya bukan memperbolehkan ekspor tembaga dan emas dengan konsentrat 15 persen. Yang benar itu diperbolehkan kalau dia (perusahaan tambang) memang punya rencana mau bangun pemurnian. Kalau tidak ada ya tidak bisa," kata Sukhyar kepada Gresnews.com, Jakarta, Jumat (10/1).

Sukhyar mengaku belum mengetahui kapan tenggat waktu yang diberikan kepada perusahaan tambang yang ingin membangun fasilitas smelter karena hal itu harus dibicarakan lebih lanjut ditingkat Kementerian dengan asosiasi tambang dan pengusaha pertambangan. Sukhyar mengaku hingga sekarang belum ada kesepahaman antara pemerintah dengan perusahaan tambang serta asosiasi tambang.

Sukhyar juga menegaskan pihaknya tidak ada kongkalikong dalam penerapan ekspor tambang tembaga dan emas itu. Ia mengaku hanya bekerja untuk negara dan tidak ada alasan untuk bermain mata dengan para pengusaha tambang dan asosiasi tambang. "Saya tidak pernah berakal-akalan dengan mereka karena saya bekerja untuk negara," kata Sukhyar.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI), Natsir Mansyur mengatakan putusan yang diambil mengenai penentuan kadar minimum tembaga 15 persen, emas 99 persen bukan keputusan sepihak pemerintah dan bukan akal-akalan pengusaha, melainkan penentuan perdebatan dan pertimbangan yang matang dengan mengakomodir kepentingan dunia usaha yang memiliki kontrak kerja, izin usaha pertambangan serta IUP khusus pengolahan dan pemerintah.

Menurutnya penentuan tersebut sudah sangat transparan karena penentuan kadar minimum melibatkan banyak pihak mulai dari Kementerian ESDM, Kadin (tim hilirisasi) AMI (Asosiasi Mining Indonesia), ATEI, pelaku usaha KK, IUP serta IUP khusus pengolahan dan pemurnian. Dia menambahkan keputusan tersebut merupakan keputusan bersama. Namun ia mengaku wajar jika keputusan tersebut menimbulkan pro-kontra.

"Terserah berpendapat, kita mau bisnis ini tetap berjalan tanpa menyimpang dari aturan yang ada bahwa diperlukan penyesuaian kebijakan dalam implementasi UU Minerba. Tapi jangan sampai yang gampang dipersulit, yang sulit digampangkan, perekonomian nasional sekarang lagi berat," kata Natsir.

Izin mengekspor bahan tambang dengan konsentrat minimum 15 persen pasca pemberlakuan UU Minerba pada 12 Januari merupakan kesepakatan dalam pembahasan batasan minimum pengolahan dan pemurnian mineral yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama para pengusaha pertambangan.

Kesepakatan itu setelah mendengarkan masukan dari pengusaha, pemegang izin usaha pertambangan (IUP). Dengan batasan minimum 15 persen itu disebutkan proses produksi PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara tidak akan terganggu. Sehingga tidak ada pemutusan hubungan kerja maupun berkurangnya pendapatan negara dari Freeport maupun Newmont.

BACA JUGA: