PEMBATALAN sejumlah pasal dalam UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) terkait besaran minimal wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dikhawatirkan bakal mendorong eksploitasi sumber daya alam secara masif. Restu yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga diduga bakal memperbesar potensi kerugian negara di sektor pertambangan.

"Putusan MK itu menyulitkan upaya kontrol terhadap penerimaan negara dari sektor pajak serta royalti di sektor pertambangan. Hal itu seiring kebijakan otonomi daerah sehingga kewenangan para kepala daerah dalam menerbitkan izin pertambangan sering kebablasan," kata Direktur Eksekutif Institute Resourcess Studies (Iress), Marwan Batubara kepada gresnews.com, di Jakarta, Selasa (5/6).

Faktanya, dengan besaran luas minimal yang ada sekarang saja, pemerintah pusat demikian sulit untuk menelisik potensi kebocoran penerimaan negara di sektor tersebut. "Banyak sekali tambang di daerah yang setoran pajak maupun royaltinya tidak jelas. Oknum elite di daerah demikian leluasanya untuk menetapkan izin kuasa penambangan, padahal kontraktor itu tidak tercatat di pusat," beber Marwan.

Pernyataan Marwan itu mengomentari putusan MK terkait permohonan uji materi UU Minerba yang diajukan oleh Johan Murod, Zuristyo Firmadata, Nico Plamonia, dan Johardi yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Timah Indonesia (APTI) dan Asosiasi Tambang Rakyat Daerah (Astrada) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Materi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diujikan yaitu Pasal 22 huruf f, Pasal 38, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 172, dan Pasal 173 ayat (2).

Dalil para Pemohon mengenai penetapan luas minimum wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) Eksplorasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (1) UU Minerba merugikan hak-hak konstitusional pengusaha pertambangan kecil dan menengah. Mahkamah berpendapat bahwa batas luas minimal 500 hektare dan 5.000 hektare akan mereduksi atau bahkan menghilangkan hak-hak para pengusaha di bidang pertambangan yang akan melakukan eksplorasi dan operasi produksi di dalam WIUP. Sebab belum tentu di dalam suatu WIUP tersedia luas wilayah eksplorasi minimal 500 dan 5.000 hektar, apalagi jika sebelumnya telah ditetapkan WPR dan WPN.

Mahkamah dalam amar putusan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan. "Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," kata Ketua Pleno Hakim MK, Mahfud MD, dalam sidang dengan agenda pengucapan putusan Nomor 30/PUU-VIII/2010, kemarin.

Piutang pemilukada
Marwan melanjutkan, dalam praktiknya penyimpangan dalam penerimaan negara di sektor pertambangan itu berpotensi besar menimbulkan kerugian bagi negara. "Pemerintah pusat harus benar-benar melakukan monitoring karena main mata antara oknum-oknum birokrat dengan kalangan pengusaha tambang itu bisa menghilangkan potensi 80% pajak serta royalti di sektor pertambangan," ujarnya.

Lebih jauh Marwan menyebutkan, penyelewengan terkait penerbitan izin usaha pertambangan bagi kontraktor hitam itu ditengarai berkaitan dengan persoalan balas budi. "Oknum elite birokrat dengan mudah menerbitkan izin pertambangan bagi investor karena adanya utang budi. Saat pemilukada, mereka berutang kepada investor dengan iming-iming diterbitkannya izin ketika calon itu memenangkan pemilukada," cetusnya. 

BACA JUGA: