Jakarta - Potensi penerimaan negara dari hasil tambang terancam berkurang secara signifikan akibat perilaku para pengusaha tambang di dalam negeri yang mengekspor bahan mineral berbentuk tanah mentah ke luar negeri dengan harga murah.

"Kalau kamu lihat ekspor nikel mentah itu bukan barang tambang jadi, tapi bercampur tanah. Kita mesti sedih, masak negara kita yang kaya, tanahnya juga dilempar ke negara lain dengan harga rendah," kata Kepala Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, di Jakarta, Jumat (13/4).

Padahal, ditegaskan Bambang, dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 7/2012 disebutkan, mulai 2014 pemerintah melarang ekspor barang tambang mentah. Tapi, saat ini para pelaku tambang melakukan ekspor besar-besaran tanah mentah yang mengandung mineral sebelum aturan tersebut berlaku.

"Akan lebih bermartabat kalau kita ekspor sesuatu yang sudah diolah. Kalau orang berpikir baik, dari sekarang saya akan bikin smelter atau mencari smelter yang bisa mengolah hasil saya. Kalau yang tidak baik, mereka akan berpkir kita keruk habis-habisan sekarang, jadi pas 2014 kita sudah puas, kita sudah ekspor semua yang kita punya," kata Bambang.

Untuk itu, lanjut Bambang, salah satu cara sebagai bentuk antisipasi tindakan tersebut adalah melalui pengetatan pajak ekspor dalam bentuk bea keluar. "Pajak ekspor tidak ada lagi nantinya, adanya bea keluar," jelasnya.

Namun, lanjut Bambang, penerapan bea keluar tersebut tidak sama rata. Hanya untuk memberikan tekanan bagi para pengekspor nakal. "Bea keluar itu juga tidak langsung semua dipukul rata. Jadi fokusnya itu ya tadi yang masih punya niatan untuk menggaruk gede-gedean tadi. Bea keluar untuk orang yang punya pikiran tidak baik tadi. Pokoknya tujuannya kita mengakomodir orang yang baik, jadi beri tekanan buat yang tidak baik," pungkas Bambang.

BACA JUGA: