JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan pemerintah untuk membuka keran impor gula mendapatkan kritik keras. Pasalnya, di tengah serbuan impor gula industri, banyak diantara gula-gula tersebut yang bocor merembes ke pasar sehingga menggangu produksi gula nasional. Untuk mengatasi kebocoran itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pun mengeluarkan "jurus" baru untuk meredam kebocoran.

Kementerian yang dipimpin Enggar itu, akan memberlakukan syarat baru bagi pelaku industri makanan dan minuman yang mau mengimpor gula untuk mencegah terjadinya kebocoran. Pelaku industri yang mengimpor gula nantinua harus menunjukkan kontrak impor dan faktur pajak tahun lalu sebelum boleh mengimpor lagi.

"Dengan itu kita akan tahu berapa kebutuhan untuk makanan minuman, sehingga tidak akan ada kebocoran lagi," kata Enggar di Jakarta, Kamis (29/9).

Enggar mengaku saat ini sulit untuk mengetahui jumlah pasti kebutuhan gula mentah untuk industri makanan minuman (mamin). Pasalnya banyak impor dilakukan, namun ternyata malah dibocorkan ke pasar. "Enggak ada data bahwa itu bocor ke pasar. Tidak ada bukti, tapi kita tahu," ujarnya.

Karena itu, Mendag meningatkan, agar pihak industri tidak mempermainkan angka kebutuhan raw sugar. "Kalau mamin ya mamin saja, jangan dagangan gula," tegasnya.

Dia berharap dengan adanya persyaratan baru itu bisa mencegah terjadinya penyimpangan impor gula. "Saya berharap dengan syarat dua dokumen itu keingin membocorkan (gula ke pasar-red) sudah berkurang karena kita tahu neracanya," jelas Enggar.

Jika data raw sugar diketahui, Enggar juga berharap kebocoran gula rafnasi atau gula olahan dari gula mentah bisa diminimalkan juga. "Kami harap pendataan mengenai kebutuhan gula, baik untuk industri makanan dan minuman serta konsumsi dapat jelas," pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Soebagyo mengatakan, mengkritik langkah pemerintah membuka keran impor gula dengan dalih mengatasi kebutuhan gula di Indonesia. "Keran impor gula bukan sebagai solusi yang utama dalam mengatasi defisit gula," kata Firman kepada gresnews.com, Kamis (29/9).

Dia meminta agar pemerintah mencari solusi lain agar Indonesia tidak ketergantungan dengan impor. Apalagi, kata Firman, petani tebu Indonesia masih mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. "Dari rezim ke rezim pemerintah, kita terus melakukan impor gula, seharusnya pemerintah memberikan solusi atas masalah ini," katanya.

Dia menjelaskan, pemerintah seharusnya membatasi pabrik gula, sehingga pabrik gula yang telah berjalan lama tidak terganggu, karena selama ini pabrik gula yang baru tidak memiliki lahan tebu sesuai aturan. Selain itu, akibat impor gula, para produsen gula dan petani tebu merasa terancam karena akan mengalami kerugian .

"Harusnya para produsen gula dan para petani tebu diajak membahas atas masalah defisit gula ini, bukan pemerintah melakukan impor gula," ujarnya.

Menurutnya, jika impor gula terus-terus dilakukan maka swambada pangan dalam negeri akan mengkhawatirkan. "Karena dampak dari impor sangat mempengaruhi penghasilan petani di Indonesia," tegas Firman.

RUSAK SISTEM - Firman Soebagyo menilai, impor gula telah merusak sistem yang ada saat ini sehingga para produsen gula dan petani menjadi korban akibat impor. Dia menambahkan, jika pemerintah serius menanggapi permasalahan ini, maka para petani tebu tidak akan kesulitan dalam mengembangkan hasil tebunya, karena selama ini banyak petani tebu yang mengalami kesusahan akibat tanah yang kurang subur dan tidak adanya lahan yang luas.

Maka, kata Firman, pemerintah seharusnya memberikan bantuan untuk perluasan lahan bagi petani tebu agar bisa mendapatkan hasil yang lebih banyak. "Pemerintah kurang perhatikan nasib petani tebu dan memberikan penyuluhan soal cara mendapatkan hasil tebu yang baik, terkesan pemerintah hanya melakukan pembiaran," tegasnya.

Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah ini menyebutkan, jangan sampai keputusan impor gula, menjadi lahan bagi para oknum eselon di Kemendag untuk mencari untung. "Mendag harus mengawasi proses impor gula ini, jangan sampai ada oknum pegawai Kemendag yang diam-diam bermain dengan kebijakan impor ini terhadap pengusaha gula," jelasnya.

Sementara itu, katanya, harus ada rehabilitasi terhadap pabrik-pabrik gula yang sudah tua, agar produksi gula semakin membaik. Tak hanya itu, akibat adanya kemudahan terhadap  pabrik gula baru, banyak para petani pindah menjual ke pabrik gula baru yang belum jelas statusnya, sehingga pabrik-pabrik tua yang telah berdiri sejak lama kehilangan hasil produksinya.

"Maka pemerintah untuk saat ini dan kedepannya harus memperbaiki tata kelola pangan yang lebih baik lagi, jangan sampai para petani kita menjadi korban kebijakan impor," ucapnya.

Pada kesempatan berbeda, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil mengatakan, pembukaan keran impor gula telah melebihi kebutuhan. Akibatnya, gula impor tersebut bocor ke pasar yang semestinya diisi dengan produk gula lokal.

Akibat adanya kebocoran tersebut, tebu Indonesia terancam dan mematikan penghasilan petani tebu nasional. "Kami khawatirkan kebocoran tersebut akan mengganggu gula dan petani tebu maka akan membunuh perlahan mereka," kata Arum di Jakarta, Rabu (28/9).

DATA BERMASALAH - Arum Sabil mengungkapkan, berdasarkan data yang diperoleh dari Kemendag diketahui, jumlah kebutuhan gula rafinasi untuk industri mencapai 2,9 juta ton pada 2016. Sementara gula konsumsi mencapai 2,8 juta ton. Jika ditotal, maka kebutuhan nasional pada 2015 mencapai 5,7 juta ton.

"Kalau dilihat data ini tidak relevan dan berlebihan, sebab rata-rata penduduk Indonesia memakai gula rafinasi 9 kg per tahun," ujarnya.

Melihat data itu, seharusnya jika dikalikan saja dengan total penduduk Indonesia yang berjumlah 255 juta, maka kebutuhan maksimal hanya mencapai 2,29 juta ton. Sementara proyeksi kebutuhan gula untuk industri juga sama yaitu 2,29 juta ton.

Dengan demikian, kata dia, seharusnya kebutuhan gula nasional hanya 4,59 juta ton bukan 5,7 juta ton. "Jadi ada selisih 11 juta ton gula, maka sisanya banyak, dan ini murni untuk kepentingan importir," paparnya.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Mohammad Reza Hafiz mengakui adanya masalah dalam data kebutuhan gula nasional. "Data pemerintah kerap berbeda dengan asosiasi gula. Inilah yang selalu menjadi justifikasi untuk melakukan impor gula," kata Reza kepada gresnews.com.

Reza mengatakan, data kebutuhan pemerintah seringkali lebih tinggi dibandingkan data asosiasi. "Maka perbedaan data ini nantinya bisa berimplikasi pada kebijakan impor dan aktor-aktor yang bisa bermain menikmati kuota impor tersebut," tambahnya.

Namun, kata dia, terlepas dari data itu, jika memang pemerintah serius dengan nasib petani tebu dan industri gula dalam negeri , seharusnya ada langkah serius untuk membenahi masalah tersebut. Contohnya melakukan perluasan lahan tebu, revitalisasi pabrik gula dengan membuat pabrik gula baru di sentra-sentra penghasil tebu yang belum terjamah.

"Kalau dibiarkan terus, kesejahteraan petani tebu bisa tergerus dan industri gula dalam negeri lesu. Inikan salah satu upaya untuk menuju kedaulatan pangan," tegas Reza.

BACA JUGA: