JAKARTA, GRESNEWS.COM - Permintaan pihak Komisi IV DPR agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencabut peraturan larangan penangkapan lobster belum ditanggapi pihak KKP. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur soal itu, masih berlaku secara efektif.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron pun meminta agar Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti agar segera merespons permintaan DPR itu. Sebelumnya, permintaan tersebut sudah diajukan secara resmi dalam rapat kerja antara Komisi IV dan KKP pada 13 April lalu.

Hanya saja, kata Herman, di lapangan ternyata peraturan itu masih terus diberlakukan dan tetap memakan "korban" dari pihak nelayan. "Nelayan semakin miskin lantaran kebijakan ini," kata Herman, di Jakarta, Jumat (29/4).

Salah satu keluhan yang diterima Herman adalah dari para nelayan di laut Tanjung Widura, Jawa Timur. Saat melakukan kunjungan kerja spesifik ke sana, Herman mengaku, banyak nelayan yang masih mengeluhkan pemberlakuan Permen KP soal larangan menangkap lobster dan kepiting ini.

Herman mengatakan, para nelayan yang telah menangkap lobster dan kepiting menjadi merugi lantaran hasil tangkapannya tidak bisa diapa-apakan. Jika dijual pun harganya menjadi turun.

"Ibu Susi harus meninjau kembali peraturan pelarangan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan karena menyulitkan nelayan," kata Herman.

Berdasarkan Permen tersebut, penangkapan lobster (Panulirus sp.) dapat dilakukan dengan ukuran panjang karapas di atas delapan sentimeter, kepiting (Scylla spp.) dengan ukuran lebar karapas di atas 15 sentimeter. Sementara, rajungan (Portunus pelagicus spp.) dengan ukuran lebar karapas di atas 10 sentimeter.

Aturan ini belakangan banyak dikeluhkan oleh para nelayan. Mereka meminta agar aturan itu dicabut karena menyulitkan nelayan menangkap kepiting, lobster dan rajungan.

Selain di Jawa Timur, Herman juga mencontohkan kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Barat dimana terdapat 7 ribu nelayan yang kehilangan mata pencaharian gara-gara beleid ini.

Herman menambahkan, semestinya yang dilarang adalah praktik ekspor benih lobster bukan proses penangkapan bibitnya oleh nelayan. "Tingkat kematian (mortalitas) lobster ini sangat tinggi, jadi seharusnya pemerintah memikirkan bagaimana mengadopsi teknik (teknologi) budidaya lobster yang baik dari pada membuat larangan," harap politisi Partai Demokrat ini.

Gubernur NTB Zainul Majdi pun menyampaikan kritik keras soal ini. Dengan masih berlakunya aturan itu, dia mengaku tidak mampu lagi menyelamatkan nasib ribuan nelayan lobster.

"Ada 7 ribu lebih nelayan lobster yang menderita saat ini, saya memohon bapak-ibu dari Komisi IV DPR membantu mencari solusi terbaik untuk menyelamatkan masa depan para nelayan tersebut," pinta Majdi

Terkait desakan ini, dialog pun sudah digelar dengan beberapa kelompok nelayan. Diantaranya dengan nelayan Kabupaten Gresik. Nelayan Gresik juga keberatan karena dalam aturan itu juga dimuat larangan menangkap lobster, kepiting, dan rajungan dalam kondisi bertelur. Padahal, jenis bertelur atau tidak tak dapat dipilih oleh nelayan.

Herman juga menyoroti penerapan peraturan yang dianggap tak adil lantaran di sisi lain masih banyak perahu trawl atau pukat yang beroperasi di laut. "Hendaknya peraturan di terapkan secara adil, perahu trawl yang sering beroperasi juga reklamasi pantai membuat nelayan makin susah untuk mencari ikan," katanya.

Sementara salah seorang nelayan tangkap yang diwawancarai gresnews.com, Saefulah, menyatakan penghasilannya semakin menurun akibat adanya aturan larangan menangkap lobster tersebut. Bahkan banyak nelayan yang kini mengganggur lantaran pemberlakuan peraturan tersebut.

"Kami ini miskin, nelayan kecil itu miskin, mana ada lihat nelayan naik haji? Tidak ada!" ujarnya kepada gresnews.com, Jumat (29/4).

Ia pun meminta kebijaksanaan Susi untuk memikirkan dan segera disosialisasikan ulang pencabutan aturan itu. Pasalnya, lantaran kebijakan ini, tak hanya menganggur, banyak juga nelayan yang dibui karena tanpa sengaja melanggar aturan tersebut.

Saefulah mengatakan, sejak diberlakukan sampai dicabut, belum ada sosialisasi yang diterima secara jelas oleh nelayan. "Memang maksudnya 5-10 tahun ke depan agar masih bisa merasakan hasil laut. Tapi kalau memang dilarang kenapa tak ada sosialisasi. Itu kapal dogol modelnya seperti pukat harimau, ada terumbu karang habis semua sama dia, kenapa tidak dilarang?" ujarnya geram.

Sekarang pun banyak nelayan yang menganggur, takut kalau menjadi korban salah tangkap saat melaut. Pendapatan juga menurun drastis karena tidak melaut sebab banyak operasi KKP terdapat di daerah Sumatera dan Kalimantan.

Sedangkan berdasarkan perkiraan, nelayan berada di laut mencapai 2-3 bulan. "Ini mereka takut ditangkap, bagaimana anak istrinya, bosnya padahal ada di Muara Angke tapi aman saja," katanya.

TAK BAKAL DICABUT - Meski banyak desakan agar Susi mencabut aturan larangan tersebut, Susi sendiri menegaskan tak akan mencabutnya. "Saya tidak akan mundur karena peraturan yang saya buat adalah untuk melindungi nelayan," kata Susi beberapa waktu lalu.

Kebijakan itu, tegas Susi, dimaksudkan untuk meningkatkan upaya pelestarian stok sumber daya perikanan yang terdapat di kawasan perairan Indonesia. "Kalau tidak diberi kesempatan untuk menjadi besar, masih kecil sudah ditangkap maka kita mengkhawatirkan stoknya akan semakin berkurang," ujarnya.

Salah satu yang menguatkan tekad Susi meneruskan kebijakan itu adalah karena adanya penyelundupan benih lobster ke luar negeri terutama ke Vietnam. Meski sudah dilarang, benih lobster masih menjadi primadona bagi segelintir nelayan untuk diekspor.

Menurut Susi, hal tersebut dilakukan karena tingginya permintaan dari Vietnam. "Mereka (Vietnam) terus minta," tegas Susi.

Vietnam, kata Susi, saat ini bisa memproduksi 4.000 ton lobster, lantaran adanya bibit curian dari Indonesia. Sementara, produksi dalam negeri malah merosot dari tadinya sebesar 6.000-7.000 ton menjadi hanya 400 ton.

Susi juga konsisten dengan menolak rencana investasi Vietnam di bidang budidaya lobster di Indonesia. Susi beralasan Indonesia tidak diuntungkan karena justru nantinya hasil lobster kembali akan diekspor ke Vietnam.

Selama ini bibit lobster dijual bebas ke Vietnam sehingga negeri tersebut jadi pemasok lobster dunia. "Lobster agak aneh, investasi Vietnam akan masuk di sektor budidaya ke sini. Saya pikir itu tidak akan membantu Indonesia. Saya tidak setuju lobster diternakkan, kan sudah ada di laut," tegas Susi.

Susi punya alasan mengapa Vietnam ingin membangun industri budidaya lobster di Indonesia. Vietnam dianggap Susi sebagai satu-satunya negara yang paling terkena dampak dari adanya aturan larangan ekspor bibit lobster ke Vietnam. Setiap tahun 7 juta hingga 10 juta ekor lobster asal Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), diekspor ke Vietnam.

TETAP SEJAHTERA - Pihak KKP memang sepertinya ingin menunjukkan bahwa nelayan pun bisa tetap sejahtera dengan adanya aturan itu. Salah satu contoh yang diajukan KKP adalah Desa Betahwalang, Kabupaten Demak.

Para pembudidaya rajungan di sini, mengaku malah sejahtera dengan adanya aturan tersebut. Para petambak mengaku, aturan tersebut malah berkontribusi dalam menyejahterakan para petambak yang menggantungkan hidup dari budidaya lobster.

Kepala Desa Betahwalang Abdur Rauf mengatakan, petambak justru bisa menikmati hasil baik karena sudah sejak lama menaati Permen KP yang melarang penangkapan rajungan dan kepiting yang masih kecil atau sedang bertelur.

"Di sini ada Peraturan Desa yang memberi penegasan larangan mengambil benih rajungan di perairan. Juga diperkuat dengan Peraturan Bupati dan termasuk Peraturan Menteri yang memuat hal sama," ujar Abdur seperti dikutip kkp.go.id, Senin (28/3).

Menurutnya, aturan yang diterbitkan Susi Pudjiastuti yang melarang tangkapan rajungan atau kepiting yang masih kecil tidak menurunkan pengembangbiakan rajungan, tetapi justru membuat para nelayan rajungan banyak menuai keuntungan. "Larangan tersebut sangat dipatuhi oleh para nelayan," katanya.

Jika para nelayan tersebut terlanjur menangkap rajungan yang sedang bertelur, rajungan yang mereka tangkap langsung diserahkan kepada petugas Perikanan Lestari. Nantinya, petugas tersebut akan meletakkan rajungan di tempat khusus di lokasi pengembangbiakan.

Setelah telur-telur hasil rajungan yang dikembangbiakan di lokasi khusus menetas, rajungan -rajungan yang masih kecil kemudian dilepas di perairan. "Di Desa Betahwalang sudah memiliki Lembaga Pengelolaan Rajungan Lestari, kerja sama Undip dan Asosiasi Pengelola Rajungan Indonesia (APRI)," kata Ketua Kelompok Pengelola Rajungan Lestari Ahmad Jalil.

Pada tahun 2015 lalu, produksi rajungan di Kabupaten Demak mencapai 720 ton. Produksi terbanyak berasal dari Desa Betahwalang, kemudian disusul oleh Desa Timbulsloko dan Bedono, Sayung. Terdapat 12 pengepul yang rutin mengambil rajungan di desa-desa tersebut.

Sedikitnya, tiap pengepul dapat mengirim rajungan dua ton per hari. Rajungan yang diambil dagingnya tersebut lalu dikirim ke eksportir Rembang dan Semarang untuk kemudian diekspor ke Amerika Serikat. (dtc)

BACA JUGA: