JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo kerap menggaungkan Indonesia sebagai poros maritim. Semua itu tak bakal tercapai bila pemerintah tak memilik aturan yang jelas tentang tata ruang laut. Tata ruang laut sangat diperlukan untuk mewujudkan good governance, pengelolaan yang berkeadilan dan transparansi.

Pengelolaan ruang laut juga menjadi salah satu instrumen utama mewujudkan konsep poros maritim. Aturan tata kelola dimaksud berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir. Beleid ini mengamanatkan segala kegiatan pembangunan di laut harus tepat sasaran sesuai peruntukannya.

Syarat aturan tersebut juga menyatakan segala bentuk kegiatan di wilayah laut wajib mengantongi izin lokasi sebelum melaksanakan kepentingan pengelolaan. Izin lokasi tersebut dikeluarkan berdasarkan aspek-aspek yang dimuat dalam prinsip tata ruang. Atau dengan kata lain, fungsi penerapan tata ruang bersifat strategis mengatur wilayah laut untuk penggunaan yang berkelanjutan dan adil.

Direktur Pengelolaan Tata Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Subandono Diposaptono mengatakan tata ruang laut menjadi dasar yang menentukan menuju capaian poros maritim.

Dengan rumusan dan pengaturan ruang laut yang tepat dapat dipastikan pengelolaan sektor kelautan dan perikanan akan berkelanjutan serta mensejahterakan masyarakat.

Secara teknis, kata Subandono, tata ruang laut berfungsi mengatur jarak spasial guna mengetahui area mana yang memiliki potensi ekonomi atau untuk kebutuhan konservasi, industri maupun transportasi.

"Kepentingan ekonomi mulai dari perikanan budidaya, perikanan tangkap, pariwisata, pertambangan, transportasi laut itu harus sinergi. Kalau tidak diatur dipastikan terjadi konflik," kata Subandono ditemui gresnews.com di Kantornya, Gedung Minabahari III, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jumat (29/1).

Ia menyebut saat ini saja sudah terjadi beberapa konflik akibat klaim pengelolaan di laut. Sehingga, jika pembangunan di wilayah laut semakin tidak terkendali maka kondisinya akan semakin rumit.

Contoh kasus yang terjadi, kata dia, adalah konflik pertambangan dengan pariwisata, pertambangan pasir atau timah dengan perikanan tangkap, kemudian budidaya dengan transportasi sampai reklamasi dan nelayan.

"Terjadi konflik, karena tidak ada rujukan untuk alokasi ruang. Mestinya kalau porsinya sudah untuk budidaya harusnya tidak overlap dengan sektor lain," imbuhnya.


UJIAN LINTAS SEKTOR DAN DAERAH - Walaupun pihak yang berwenang menyusun rencana tata ruang adalah KKP, namun dalam pelaksanaannya melibatkan kementerian lain diantaranya pihak Perhubungan, Pertambangan, Pariwisata, Perindustrian hingga Kementerian Pertahanan dan Keamanan.

Untuk posisi KKP, Subandono menyebut tetap pada porsinya memberikan bimbingan teknis dan asistensi pembentukan aturan tata ruang laut agar sejalan dengan kebijakan nasional di pusat.

Pada aplikasi di lapangan nanti, lanjutnya, segala sektor Kementerian terkait akan dilibatkan karena kegunaannya bukan hanya untuk sektor perikanan. Hal ini sejalan dengan fungsi tata ruang yang memetakan setiap ukuran wilayah laut.

Harmonisasi lintas sektor ini perlu diselaraskan secara tepat agar tidak terjadi overlaping atau tumpang tindih pengelolaan.

Kondisi ini, sebutnya, menjadi aspek yang terus diupayakan pemerintah dalam hal ini KKP untuk membangun dukungan penerapan batas-batas laut secara tepat sasaran.

Disamping tantangan harmonisasi antar sektor pemerintah, ujian berat pun tengah dialami pemerintah daerah.
Secara nasional pembuatan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang baru diselesaikan lima propinsi. Sementara untuk tingkat kabupaten/kota, baru dijalankan 15 kota sementara 104 lainnya belum rampung.

Subandono menyebut, saat ini sekitar 34 propinsi sedang mengupayakan pembentukan aturan tata ruang laut nasional. Diakui pihak daerah mengalami kesulitan sehingga tidak mampu memenuhi target pembentukan tata ruang laut yang seharusnya selesai pada 2015 lalu. Target meleset dan mengalami kemunduran.

Ketua Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia Zulficar Mochtar menyebut, pengelolaan ruang laut secara serampangan tanpa merujuk pada prinsip tata ruang akan membahayakan eksistensi wilayah pesisir dari kegiatan eksploitasi. Memandang ancaman itu, Ia menilai, pentingnya sinergi dalam percepatan aturan tata kelola laut secara nasional.

Selain pesisir, tambah dia, tentu nelayan-nelayan tradisional pun terancaman kehilangan ruang tangkap apabila tata kelola tak kunjung terencana.

Sebagian propinsi, lanjut Zulficar, belum melaksanakan zonasi laut sehingga terjadi open acces wilayah pesisir untuk kegiatan eksploitasi. Ditambah lagi dengan tumpang tindih izin pertambangan di berbagai daerah yang terjadi saat ini.

"Pentingnya program tata ruang laut harus diperhatikan secara serius baik pemerintah pusat maupun kabupaten/propinsi," katanya, Kamis (28/1).

BACA JUGA: