JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah telah merencanakan penerapan penuh pelarangan penggunaan alat tangkap perikanan akhir 2016. Secara resmi akan diberlakukan pemberhentian terhadap seluruh jenis alat tangkap tidak ramah lingkungan sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

Aturan itu menyebutkan bahwa penggunaan alat penangkapan ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia telah mengakibatkan penurunan sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan.

Berdasarkan kajian World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, spesifikasi alat tangkap jenis pukat Hela (trawl) dan pukat tarik (seine nets) merupakan alat tangkap ikan yang tergolong tidak ramah terhadap lingkungan.

Pukat tarik merupakan jenis alat tangkap yang terbuat dari jaring berkantong yang fungsinya melingkari zona titik kumpul ikan. Alat jenis ini digunakan di berbagai level kedalaman air seperti permukaan (kulit air), kolom, maupun dasar laut.

Penggunaan pukat tarik masuk kategori berbahaya karena mayoritas menyasar wilayah kolom dan dasar laut. Kondisi ini berpotensi merusak kandungan substrat (zat/molekul tumbuhan laut) dan berdampak merusak habitat. Jenis alat tangkap yang masuk kedalam kategori pukat tarik yaitu, cantrang, payang, lampara, dogol, scottish seines, dan pair seines.

Kemudian untuk spesifikasi alat tangkap ikan jenis pukat hela (trawl) terbuat dari jaring berkantong yang diikat pada bagian belakang kapal dan cara penangkapannya dilakukan pada saat kapal berjalan.

Pada alat tangkap jenis ini, bagian jaring diberikan alat pemberat untuk menjangkau ikan di perairan dalam. Potensi kerusakannya pun serupa dengan jaring tarik sehingga pukat hela juga dikategorikan sebagai alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Direktur Pemantauan dan Peningkatan Infrastruktur Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Perikanan Tyas Budiman mengatakan, Permen KP Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pukat Hela dan Pukat Tarik memang sudah diundangkan pemerintah.

Hanya saja, mempertimbangkan ketidaksiapan dan kemampuan pengalihan alat tangkap, pemerintah sepakat memberikan kelonggaran dan relaksasi kepada nelayan dengan belum sepenuhnya menerapkan aturan tersebut.

"Namun pada Desember 2016 nanti, mereka sudah tidak boleh dizinkan dan harus digantikan ke alat yang ramah lingkungan. Desember 2016 sudah final, tidak boleh lagi penggunaan alat tangkap yang dilarang Permen Nomor 2 Tahun 2015," kata Tyas ditemui gresnews.com, Rabu (6/1).

Sesuai hasil riset WWF, alat tangkap ikan jenis pukat hela dan pukat tarik pada dasarnya berpotensi merusak lingkungan. Namun demikian, penggunaannya ditemui cukup masif dan tersebar di sejumlah wilayah perairan Indonesia seperti, Bangka Belitung, Laut Jawa, Kalimantan Barat, Laut Flores (NTT), dan Perairan Arafuru (Maluku).

KENDALA PENGALIHAN ALAT TANGKAP - Masalah yang ditemui pemerintah soal pengalihan alat tangkap, kata Tyas, dikarenakan jumlah kapal nelayan yang cukup besar mencapai ribuan unit.

Di sisi lain, para nelayan, kata dia, masih merasa nyaman dengan alat tangkap cantrang yang dianggap efektif mendapatkan hasil. Sehingga, untuk melakukan penggantian ke alat jenis baru ramah lingkungan seperti pancing ulur agak sulit.

Belum lagi, secara karakter individu nelayan menolak karena berbagai alasan ekonomi dan meminta bantuan anggaran pemerintah. Dengan adanya rencana pengalihan alat tangkap ikan yang lebih ramah, Tyas berharap, kelestarian dan kualitas sumberdaya ikan tetap terjaga.

"Sebetulnya tujuan dari pelarangan ini baik untuk mereka juga dari segi keberlanjutan kelestarian sumberdaya perikanan," katanya.

Penerapan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 pada awalnya sempat menuai protes dan kritik sejumlah kelompok nelayan terutama di daerah pantai utara Jawa yang mayoritas merupakan pengguna cantrang (pukat tarik).

Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik menyambut baik rencana pemerintah untuk sepenuhnya menerapkan Permen KP Nomor 2 Tahun 2015. Menurutnya, wacana itu harus segera dimulai jangan ditunda-tunda.

Hanya saja, persiapan peralihan alat tangkap harus juga di awali dengan kesiapan sumberdaya manusia dan modalnya. "Peralihan alat tangkap sedikit memunculkan gejolak ditingkat nelayan. Hal yang perlu diantisipasi adalah pinjaman para nelayan di perbankan yang tengah berjalan. Perlu ada solusi komprehensif untuk ini," kata Riza kepada gresnews.com, Sabtu (9/1).

Skema pembiayaan melalui organisasi atau kelembagaan koperasi nelayan juga dinilai membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan.

Disamping jaminan modal dari perbankan, sosialisasi dan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan segera dilakukan pemerintah. Langkah dan skema sudah harus disiapkan pemerintah agar nelayan tidak semakin dipersulit untuk melaut.

AJUKAN JUDICIAL REVIEW - Sembilan nelayan yang mewakili nelayan Provinsi Jawa Tengah secara resmi telah mengajukan gugatan uji materiil terhadap Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 ke Mahkamah Agung (MA).

"Permohonan uji materiil didaftarkan ke MA oleh kuasa hukum para nelayan melalui Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Tata Usaha Negara MA pada tanggal 26 November dan telah teregistrasi dengan nomor 55 PTHUM/2015 tertanggal 27 November 2015," kata anggota Komisi B DPRD Provinsi Jawa Tengah Riyono di Semarang, Selasa (5/1).

Dia mengungkapkan bahwa ada tiga hal utama yang diajukan para nelayan pada permohonan uji materiil terkait pelarangan cantrang, yakni meminta MA agar menyatakan Pasal 2, 4, dan 5 pada Permen KKP No 2/2015 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Menurut dia, para nelayan menilai Peraturan Menteri KKP tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No.75/2015 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada KKP.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menjelaskan pada peraturan menteri tersebut jelas-jelas disebutkan bahwa alat tangkap cantrang dan pukat tarik dilarang. Namun, pada PP Nomor 75, ada pajak untuk dua alat tangkap ikan tersebut. Oleh karena itu, para nelayan di Jateng meminta Permen KKP No.2/2015 dibatalkan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Sebelumnya, pemerintah pusat melalui KKP memberikan toleransi penggunaan alat tangkap ikan berupa cantrang bagi nelayan hingga Desember 2016.

Pemberian toleransi penggunaan cantrang itu sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP bernomor 14319/PSDKP/IX/2015 tertanggal 30 September 2015.

Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah Lalu Muhammad Syafriadi, kebijakan pemberian toleransi untuk nelayan pengguna cantrang itu ditempuh pemerintah setelah melalui serangkaian diskusi dan pertemuan dengan pihak terkait berdasarkan kondisi yang terjadi di lapangan.

"Selama masa tenggang ini, para nelayan bisa tetap melaut secara optimal dan diharapkan ke depannya mau menaati peraturan yang berlaku dengan mengganti alat tangkap ikan sesuai dengan ketentuan pemerintah," katanya.

Jumlah nelayan pengguna cantrang di Jateng saat ini menjadi yang terbesar jika dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Pada tahun 2015, di Jateng tercatat sebanyak 10.758 nelayan yang 1.248 nelayan di antaranya menggunakan cantrang. Selain itu, cantrang menjadi salah satu alat tangkap ikan yang favorit bagi para nelayan di Jateng.

BACA JUGA: