JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelanggaran terhadap  Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan tetap marak terjadi. Aturan yang diterbitkan tahun 2015 untuk melindungi keberadaan  dan  ketersediaan habitat laut itu masih banyak dilanggar oleh para eksportir nakal.

Ketentuan pembatasan penangkapan karena penurunan populasi jenis tertentu itu,  dilanggar dengan penyelundupan komoditas secara ilegal tanpa sertifikasi dan legalitas perizinan.

Bahkan menurut Kepala Pusat Karantina dan Keamanan Hayati Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Riza Priyatna cukup banyak jumlah pelanggaran yang dilakukan importir maupun eksportir sepanjang tahun 2015. Sesuai hasil pengawasan dan pengamanan jenis komoditas ekspor maupun impor yang ditangani langsung Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP, disebutkan telah berhasil diidentifikasi 488 kasus yang terjadi selama tahun 2015.

"Jumlah kasus yang berhasil identifikasi cukup banyak berbadasarkan karakteristiknya, seperti pelanggaran ekspor/impor jenis habitat dilindungi Permen KP Nomor 1 Tahun 2015 dan penyelundupan kepiting atau lobster bertelur," ujar Riza kepada gresnews.com di ditemui dikantornya, Gedung Minabahari II KKP, Jakarta Pusat, .

Dari data yang berhasil dihimpun gresnews.com, jumlah yang digagalkan BKIPM selama 2015, diantaranya, 44.381 ekor kepiting bertelur dan 49.514 ekor kepiting dibawah ukuran, lobster yang bertelur 1.264 ekor dan lobster dibawah ukuran 8 cm sekitar 8.926 ekor dan Benur 410 ribu ekor.

"Dari jumlah tersebut, sebanyak 514.135 ekor  sudah berhasil dilepas kembali ke habitatnya," kata Riza ditemui, Senin (4/1).

Disamping itu, kasus yang ditemui tidak hanya pelanggaran Permen Nomor 1 Tahun 2015 saja, melainkan juga penyelundupan dan penyebaran berbagai produk perikanan secara ilegal yaitu ikan dan sirip hiu.

IMPORTIR ILEGAL - Penyelundupan hewan dilindungi dilakukan oleh importir dari domestik ke internasional atau dari luar negeri.

Penyelundupan yang dilakukan selama ini, ungkap Riza, dilakukan perusahaan berlabel undername. Contohnya, impor menggunakan cara undername yaitu mengirim barang dari luar negeri dengan meminjam perusahaan lain yang memiliki izin terdaftar di pabean. Atau dengan kata lain, perusahaan bersangkutan tidak memiliki legalitas izin impor ke dalam negeri.

"Mungkin kerjasama dengan pemangku di bidang transportasi atau jasa kargo. Karena mereka merupakan salah satu rantai kerjasama importir maupun eksportir," kata Riza.

KETERBATASAN PENGAWAS - Kekurangan jumlah personil pengawas menjadi tantangan penanganan kasus penyelundupan komoditas perikanan.

Menurut Riza, personil pengawas di lapangan cenderung terbatas sehingga kesulitan menjaga berbagai pergerakan ilegal. Di Tanjung Priok, misalnya hanya disiagakan sekitar 78 personil padahal ukuran ideal perlu ditingkatkan hingga 120 orang. Kemudian, di bandara Soekarno Hatta juga cukup minim hanya sekitar 100 orang petugas padahal kapasitas disana melebihi suber daya yang ada, hal itu mengingat banyak gudang internasional dan domestik.

"Rawan karena kurang pegawai. Jumlah ini masih kurang untuk menjaga setiap entry poin," katanya.

Sementara, pintu-pintu potensial penyelundupan dari dalam maupun ke luar negeri berada di beberapa titik seperti pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, Bali, Bandara Juanda, Surabaya, Medan dan Batam.

Sementara Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Narmoko Prasmadji mengatakan, pemerintah masih perlu pengelolaan mutu dan kualitas perikanan lewat aspek pengawasan ekspor-impor produk perikanan dari dalam maupun luar negeri.

"Penting karena setiap produk perikanan yang masuk ke pasar internasional mengutamakan aspek penilaian terkait asal-usul produk perikanan," katanya beberapa waktu lalu.

Terkait hal itu, langkah-langkah pengetatan dan pengawasan masuknya produk perikanan impor perlu ditingkatkan. Diantaranya  melalui Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Kementerian Kelautan dan Perikanan.

BACA JUGA: