JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sistem pengupahan yang dirancang pemerintah untuk para buruh yang dituangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan, masih ditentang para buruh. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat meminta Presiden Joko Widodo menunda pengesahan RPP tersebut.

Alasannya, komponen pengupahan dalam RPP tersebut belum mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan pekerja di Indonesia. "RPP Pengupahan terlalu berpihak kepada kepentingan pengusaha dan hanya memberikan karpet merah pada kepentingan masuknya investasi asing," kata Mirah dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Jumat (16/10).

Keberpihakan Pemerintah kepada pengusaha ini, kata Mirah, terlihat dari Paket Kebijakan Ekonomi IV yang baru dikeluarkan. Dalam kebijakan tersebut, pengusaha diberikan beberapa fasilitas yang sangat menguntungkan, antara lain keringanan pajak, subsidi gas dan listrik serta kemudahan dalam berinvestasi lainnya.

Hal ini berbanding terbalik bagi buruh, dimana RPP Pengupahan justru membatasi hak rakyat untuk dapat hidup layak dan sejahtera. "Patut diduga RPP Pengupahan ini adalah pesanan dari pihak-pihak tertentu seperti IMF, World Bank, dan kalangan pengusaha yang memaksa Presiden Jokowi untuk mengeluarkan RPP Pengupahan yang isinya sangat merugikan buruh," tegas Mirah.

Dia bilang, terbitnya RPP Pengupahan seharusnya tidak saja untuk memberikan kepastian hukum kepada pengusaha, namun juga harus bisa memberikan kepastian peningkatan kesejahteraan kepada pekerja. Fakta yang terjadi selama ini di seluruh Indonesia, adalah penetapan Upah Minimum baik di tingkat Provinsi (UMP) maupun di tingkat Kabupaten/Kota (UMK), selalu ditetapkan di bawah angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Menurut Mirah, UMP/UMK ditetapkan di atas angka KHL, karena angka KHL yang ditetapkan pada tahun berjalan akan dipakai untuk menentukan UMP/UMK di tahun yang akan datang. "Secara logika saja sudah tidak masuk akal. Bagaimana mungkin pekerja bisa hidup sejahtera dari upah yang besarnya di bawah KHL tahun yang lalu?" tanyanya.

Fakta-fakta selama puluhan tahun inilah yang seharusnya dipahami oleh Presiden Joko Widodo, sehingga Presiden Joko Widodo sepatutnya menunda pengesahan RPP Pengupahan. Selain alasan fakta sejarah tersebut, Mirah Sumirat juga menegaskan bahwa RPP Pengupahan yang akan disahkan tersebut cacat proses karena tidak pernah didiskusikan dengan serikat pekerja.

Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional juga tidak pernah membahas terkait pembenahan sistem pengupahan di Indonesia. Bahkan LKS Tripartit Nasional dibiarkan "mandul" karena Surat Keputusan Presiden tentang LKS Tripartit Nasional tidak pernah diterbitkan.

Mirah Sumirat mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk memenuhi janji kampanyenya kepada buruh saat pemilihan Presiden yang lalu, yaitu 3 Layak (Kerja Layak, Upah Layak, Hidup Layak). Caranya adalah dengan menunda pengesahan RPP Pengupahan dan memaksimalkan pemberdayaan LKS Tripartit Nasional untuk menyusun pembenahan sistem pengupahan Nasional.

"Presiden Joko Widodo harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambilnya selaku pemimpin negeri ini, harus dapat memberikan kepastian terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat termasuk kelompok pekerja," ujarnya.

Selain melakukan penundaan, Aspek Indonesia juga meminta pemerintah merevisi kuantitas KHL dari 60 komponen menjadi minimal 84 komponen (untuk pekerja lajang dengan masa kerja di bawah 1 tahun). Sementara untuk pekerja berkeluarga menjadi 100 komponen.

"Merevisi kualitas komponen KHL sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini agar terjadi peningkatan kelayakan dan kesejahteraan hidup pekerja," ujar Mirah.

Selain itu, Aspek juga meminta agar pemerintah menggunakan Rumus Regresi dan Proyeksi untuk menghitung KHL, yang akan diberlakukan di tahun yang akan datang. Pemerintah juga diminta untuk menghapus ketentuan penangguhan upah atau jadikan penangguhan upah sebagai hutang perusahaan kepada pekerja.

"Pemerintah juga tetap memberikan hak survei KHL tahunan kepada 3 unsur tripartit (Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja) dan tidak hanya memberikan kepada Biro Pusat Statistik saja," ujarnya.

Mirah mengatakan, pemerintahan Joko Widodo harus menunjukkan keberpihakannya kepada pekerja, untuk meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat demi mewujudkan kesejahtaraan pekerja di Indonesia.

BERI KEPASTIAN USAHA - Presiden Joko Widodo sendiri menegaskan, Paket Kebijakan Jilid IV yang bari diumumkan diluncurkan untuk memberikan kepastian pada dunia usaha. Paket itu memang difokuskan pada tiga hal, yaitu: kebijakan pengupahan dengan formula baru, perluasan penerima manfaat kredit usaha rakyat, serta pemberian kredit modal kerja bagi usaha kecil dan menengah.

"Saya berharap formula baru dalam sistem pengupahan akan memberi kepastian pada dunia usaha sehingga menciptakan lapangan kerja baru bagi 7,4 juta pencari kerja. Hal ini akan memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi pencari kerja, pekerja dan kepastian dunia usaha," kata Presiden Jokowi melalui fanpage facebooknya, yang diunggahnya Jumat (16/10) ini.

Sementara melalui akun twitternya @jokowi, Presiden mengatakan, Paket Ekonomi Jilid IV fokus pada formula pengupahan baru yang lindungi buruh, pencari kerja dan dunia usaha.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, melalui formula baru sistem pengupahan itu, Pemerintah memberikan rumusan bahwa gaji buruh akan naik setiap tahun mengikuti tingkat inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara basis perhitungan dari kenaikan itu adalah Upah Minimum Provinsi (UMP) yang berbasiskan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) akan ditinjau setiap 5 (lima) tahun sekali.

Selain menetapkan formula baru sistem pengupahan, rapat kabinet terbatas yang berlangsung di kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (15/10) juga telah memutuskan untuk memperluas cakupan penerima manfaat Kredit Usaha Rakyat (KUR).

"Tingkat bunga KUR diturunkan menjadi 12%. Cakupan penerima manfaat juga diperluas termasuk para calon pekerja yang akan keluar negeri, anggota keluarga TKI dan TKI yang purna bekerja di luar negeri," kata Presiden Jokowi dalam fanpage Facebooknya.

Selain itu, Pemerintah juga memberikan dukungan kepada usaha kecil dan menengah yang berorientasi ekspor maupun yang terlibat dalam mendukung ekspor melalui pemberian kredit modal kerja.

"Saya memiliki keyakinan bahwa paket kebijakan ekonomi jilid IV ini akan melindungi pekerja, pencari kerja, dunia usaha untuk bersama sama menggerakan ekonomi nasional," pungkas Presiden Jokowi.

KEPUTUSAN TERBAIK - Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dakhiri menegaskan, formula sistem pengupahan baru yang menjadi bagian dalam Paket Kebijakan Ekonomi Tahap IV, adalah merupakan keputusan terbaik bagi bangsa.

Karena itu, pemerintah tetap akan memberlakukannya pada tahun depan. "Jika Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sudang ditandatangani sekarang atau dalam waktu dekat, sesuai penetapan Upah Minium Provisin yang biasa ditetapkan pada 1 November, maka formula baru sistem pengupahanakan berlaku pada tahun 2016 nanti," kata Hanif seperti dikutip setkab.go.id.

Mengenai perhitungan soal inflasi dan pertumbuhan ekonomi, menurut Menaker, akan mengikuti perhitungan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). "Teknisnya jika tentang penghitungan inflasi nanti pakai Oktober ke Oktober, kalau untuk pertumbuhan ekonominya berarti dari kuartal ketiga atau di tahun ini di kuartal satu kedua, tapi secara keseluruhan satu tahun penuh," jelas Hanif.

Mengenai evaluasi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang menjadi basis dari penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP), yang baru akan dilakukan setiap 5 tahun, Hanif menilai itu adalah waktu ideal.

"Kami sudah melakukan dengar pendapat bahwa perubahan pola konsumsi masyarakat itu relatif tiap tahun, maka evaluasi dilakukan per lima tahun. Yang penting upah pekerja itu naik setiap tahun, begitu. Penyesuaian gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) saja dilakukan perdua tahun," papar Hanif.

Adapun terkait pelibatan Serikat Buruh, Apindo, dan pengusaha dalam pembahasan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai formula sistem pengupahan baru itu, Menaker Hanif Dakhiri memastikan sudah pasti mereka dilibatkan.

"Saya juga paham istilah terlibat diburuh ini kan maksudnya harus diajak dalam membahas pasal per pasal. Ini sesuatu yang jelas sulit tetapi materi dasar sudah dan prosesnya ini juga sudah lama, sudah 12 tahun dikonsultasikan ke serikatnya, di dewan pengupahan nasionalnya dan lainnya, sudah disosialisasikan melalui media, melibatkan praktisi, akademis, Apindo, semuanya," tegas Hanif.

Yang pasti, lanjut Menaker, soal kebijakan pengupahan ini adalah untuk kepentingan semua pihak sebagai bangsa, termasuk kepentingan calon tenaga kerja. Menaker mengingatkan, banyak hal yang juga harus dipikirkan, misalnya keberadaan calon tenaga kerja.

Dengan adanya formula baru sistem pengupahan ini, lanjut Menaker, diharapkan bisa membuka lapangan kerja bagi calon tenaga kerja. "Kalau lapangan kerja makin terbuka iklim usaha akan semakin kondusif, iklim dunia usaha makin kondusif, investasi makin kondusif dunia usaha makin bergerak, lapangan kerja makin bertambah," tutur Hanif

Menurut Menaker, Indonesia masih terkendala over supply dari tenaga kerja. Kalau ini tidak diatasi dengan perluasan lapangan kerja yang banyak ini pasti susah. "Ini yang harus dilihat," tegasnya.

BACA JUGA: