JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Kabar gembira  datang dari ruang rapat pembahasan anggaran antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka menyepakati untuk menaikkan alokasi dana desa dari Rp20,76 triliun tahun ini menjadi Rp46,9 triliun pada tahun anggaran 2016 mendatang, sehingga ada kenaikan alokasi anggaran dana desa lebih dari 100 persen.  

Kenaikan itu menjadikan jumlah dana transfer daerah mencapai 6,4  persen dari keseluruhan dana transfer pemerintah pusat ke daerah. Pemerintah sendiri berencana menaikkan alokasi dana desa hingga 10 persen dari total dana transfer ke daerah pada 2017.  

Padahal, menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro, tahun 2015 transfer dana desa itu baru 3,23 persen dari total dana transfer ke daerah. Sementara untuk 2017, pemerintah menargetkan alokasi dana desa hingga mencapai 10 persen dari keseluruhan dana transfer ke daerah.

Namun untuk mencapai target satu desa Rp 1 miliar, Menkeu Bambang mengatakan, perlu dilakukan pengendalian usulan penambahan jumlah desa. Hal ini mengingat, dalam kurun waktu setengah tahun terakhir telah terjadi penambahan hingga 661 desa.

"Jumlah desa akhir 2014 mencapai 74.093 desa, menjadi 74.754 desa pada pertengahan tahun 2015," jelas Bambang dalam Sosialisasi Kebijakan Dana Desa di Kabupaten Buleleng, Bali, Jumat (25/9).

Sementara itu Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendesa PDTT) Marwan Jafar optimistis dana desa akan berperan strategis memulihkan kondisi perekonomian nasional. Dimana pemulihan itu berawal dari perekonomian desa.

Marwan menuturkan sampai dengan September ini, dana desa yang telah tersalurkan pemerintah pusat ke kabupaten/kota mencapai Rp 16 triliun atau 80 persen dari alokasi APBN 2015 sebesar Rp 20,7 triliun.

Dana desa yang telah disalurkan itu bisa langsung digunakan membangun infrastruktur desa seperti jalan desa, irigasi, jalan usaha tani, sanitasi, embung, dan lainnya.

"Hal itu akan besar sekali dampaknya terhadap pemulihan ekonomi desa yang terkena imbas pelambatan perekonomian nasional," ujar Marwan, di Jakarta, seperti dikutip setkab.go.id, Jumat (25/9).

Selain itu proyek infrastruktur juga akan langsung dirasakan dampaknya oleh masyarakat desa. Dimana perekonomian desa langsung pulih  dan bergerak cepat, karena aktivitas usaha ekonomi muncul.

Sebab ada pembangunan desa akan muncul berbagai kegiatan usaha ekonomi yang terkait langsung maupun tidak dengan proyek-proyek desa. Diantaranya usaha material, usaha kuliner, jasa transportasi, dan usaha lainnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan proyek dan para pekerjanya.

Mendesa PDTT meyakini pemulihan perekonomian di desa akan berimbas positif terhadap pemulihan ekonomi daerah, dan selanjutnya pemulihan ekonomi nasional.

Keterkaitan desa dengan kota dalam hal perekonomian saat ini semakin kuat. Desa sebagai basis produksi dan kota sebagai pusat pertumbuhan sifatnya saling mendukung secara timbal-balik, di mana tumbuhnya perdagangan di kota akan meningkatkan volume produksi desa yang akan meningkatkan daya beli desa, dan begitu pula sebaliknya.

"Tentunya hal ini akan berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah yang selanjutnya mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional," jelas Marwan.  

MEMBANGUN DARI DESA - Marwan mengatakan bahwa membangun Indonesia dari pinggiran, daerah terpencil, dan desa-desa sudah menjadi komitmen kerja pemerintah Jokowi-JK,  yang tertuang dalam nawacita ketiga. "Baru kali ini desa dijadikan fokus utama pembangunan nasional," katanya.

Ia menuturkan negara ini baru mulai menjadikan desa sebagai basis utama pembangunan. Sebelumnya pembangunan dimulai dari pusat baru menetes ke desa. "Karena itu, butuh kerja keras dan kejelian agar cita-cita desa membangun Indonesia bisa terwujud sesegera mungkin," ujar Marwan.

Diungkapkan Marwan, dari 74.093 jumlah desa, terdapat 27,23% berkategori desa tertinggal, 68,85% desa berkembang, dan hanya 3,91% desa maju. Problemnya lagi, pembangunan antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat, khususnya Jawa terjadi ketimpangan.

"Membangun Indonesia dari desa sangat tepat karena jumlah penduduk Indonesia lebih banyak bertempat tinggal di desa. Kemudian potensi-potensi sumber daya alam di desa masih belum dimanfaatkan dengan maksimal," katanya.

Selain itu,  diketahui bahwa terjadi ketimpangan persebaran penduduk produktif antara kota dan desa secara signifikan. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa, yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118 320 256 jiwa (49,79 persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 119 321 070 jiwa atau 50,21 persen.

"Artinya potensi secara kuantitas, potensi Sumber Daya Manusia di desa lebih besar dibandingkan di kota," kata Marwan.

Marwan menambahkan, berdasarkan data, jumlah angkatan kerja di desa lebih banyak dibanding di kota, yakni sebesar 57,0 Juta. "Angkatan kerja dalam hal ini adalah penduduk 15 tahun ke atas yang aktif secara ekonomi, yaitu mereka yang bekerja, mencari pekerjaan, atau mempersiapkan usaha," katanya.

Akibat rasio persebaran penduduk yang tidak merata, rasio ketergantungan masyarakat desa dan kota juga sangat timpang. Di Desa, setiap 100 orang produktif yakni usia 15-64 tahun menanggung 54-55 orang yang tidak produktif yakni usia 0-14 dan 65 ke atas. Sedangkan di kota setiap 100 orang produktif menanggung 45 orang yang tidak produktif. Artinya, beban ekonomi di desa lebih besar daripada di kota. "Inilah pekerjaan yang harus segera kita atasi," jelas Marwan.

Marwan yakin dipacunya pembangunan desa akan mencegah urbanisasi, pemerataan perekonomian, sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dicapai melalui pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) di desa, meningkatkan kapasitas masyarakat desa, meningkatkan lapangan kerja di desa, pemberdayaan masyarakat desa, serta peningkatan akses teknologi dan informasi di desa.

PROYEK PADAT KARYA - Terkait pengelolaan potensi desa itu, Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Teguh Dartanto mendorong pemerintah Jokowi menerapkan program padat karya seperti tahun 1998.

Pada waktu itu, pemerintah membuat program pembangunan desa seperti penggalian irigasi, pembangunan jalan desa, sehingga menyerap tenaga kerja dan mendorong perputaran uang di daerah.

Menurutnya paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan Jokowi saat ini dampaknya baru terasa dalam beberapa bulan ke depan. Sehingga sebaiknya pemerintah membuat proyek-proyek padat karya dari APBN yang belum banyak terserap.

"Saat krisis 1998 ada program padat karya musiman. Kayak sekarang lagi musim kemarau panjang, coba pakai APBN untuk proyek yang riil yang bisa menyerap tenaga kerja, seperti proyek pembangunan infrastruktur pertanian atau desa," jelas Teguh.

"Kalau yang infrastruktur besar, memang bagus dari sisi serapan anggaran. Tapi penelitian kami, justru benefit untuk masyarakat sekitar proyek infrastruktur sangat sedikit karena yang kerja di situ siapa?" tuturnya. (dtc)

BACA JUGA: