Malam 27 Juli 2025. Di asrama Yonif TP 834/Wakanga Mere, Nagekeo, NTT, Prada Lucky Chepril Saputra Namo dan rekan nya, Prada Richard Junimton Bulan, dipanggil ke ruang intel atas tuduhan hubungan sesama jenis — sebuah tuduhan yang akan menuntun mereka ke ruang siksaan.
Tak sekadar interogasi: Lucky dicambuk menggunakan selang biru, bahkan empat kali di pantat dan dua kali di badan. Richard yang menyaksikan — dan ikut menjadi korban penyiksaan — mengatakan: kulit terkupas, cambukan bagai kabel meluncur, dan jeritan: “ibu saya nggak pernah pukul saya kaya gini.
Tak berhenti di sana: Richard menyebut bahwa mereka dipaksa telanjang, alat vital dan anus diolesi cabai halus sebagai “hukuman”. Lucky terus meringis dalam malam panjang – panggilan: “ampun… ampun!” bergema saat senior-nya tak berhenti.
Keesokan hari, keluarga dibuat resah oleh banyaknya versi cerita kematian. Ada yang bilang jatuh dari gunung, ada yang bilang kecelakaan motor — namun hasil pemeriksaan menunjukkan luka bakar, sayatan, memar di tubuh Lucky. Kini, setidaknya 22 anggota satuan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Barak seharusnya tempat lahirnya prajurit tangguh — bukan panggung kekerasan. Dan nama Prada Lucky menjadi simbol: ketika senior yang seharusnya membimbing, malah menjadi algojo. Sampai di mana disiplin, bila darah dan jeritan menjadi “bagian dari pembinaan”? Gimana tanggapan netizen?
