JAKARTA - Sidang perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Rabu (8/7/2020), menghadirkan saksi-saksi antara lain mantan auditor internal Jiwasraya Fadian Dwiantara dan Kepala Divisi Investasi Jiwasraya tahun 2009 Donny S Karyadi.

Mereka bersaksi untuk enam terdakwa: Direktur Utama PT Hanson International Tbk. (MYRX) Benny Tjokrosaputro, mantan Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk. (TRAM) Heru Hidayat, Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto, mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo, mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan.

Fadian mengatakan hasil audit internal 2014-2018 yang dilaporkan pada 2019 mendeteksi adanya kecurangan (fraud) yang dilakukan manajemen Jiwasraya.

"Pertama, kepemilikan saham melebihi 2,5% dari total beredar. Ini tidak sesuai aturan pedoman investasi Jiwasraya," kata Fadian.

Modus fraud dilakukan dengan menempatkan investasi pada instrumen reksa dana pendapatan tetap lebih dari 15% dari total nilai investasi. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, hanya diperbolehkan penempatan investasi maksimal 15%.

Hasil audit juga menemukan tim investasi Jiwasraya melakukan pembelian saham di perusahaan yang tidak likuid dan tidak didukung dengan analisis fundamental. Jiwasraya melakukan investasi yang cukup besar pada saham-saham seperti PT Inti Agri Resources Tbk. (IIKP), PT Pool Advista Indonesia Tbk. (POOL), PT Semen Baturaja (Persero) Tbk. (SMBR), PT Alfa Energi Investama Tbk. (FIRE), dan PT SMR Utama Tbk. (SMRU).

"Inilah yang kemudian menjadi penyebab Jiwasraya mengalami kerugian karena berinvestasi di saham-saham yang tidak likuid," kata Fadian.

Penasihat hukum para terdakwa pun menanyakan beberapa hal pada Fadian, misalnya, dasar pertimbangan auditor hanya mengaudit Jiwasraya pada periode 2014 sampai 2018 sedangkan dakwaan korupsi dalam kerugian Jiwasraya dimulai dari 2008.

Fadian mengaku tidak mengetahui hal tersebut lantaran hanya menerima perintah untuk melakukan investigasi tersebut.

Penasihat hukum terus mencecar pertanyaan. "Siapa yang perintahkan Anda?"

Fadian menjawab, "Melalui surat tugas Direktur Utama, Pak."

Kemudian penasihat hukum menanyakan pada waktu itu siapa Direktur Utama Jiwasraya.

"Bapak Hexana Tri Sasongko, Pak," jawab Fadian dengan tegas. (Baca: keterangan Hexana Tri Sasongko dalam persidangan).

"Kapan kerugian terjadi?"

"Kita kan cut off-nya periode per 31 Desember 2018, Pak," tutur Fadian.

Penasihat hukum terdakwa juga mempertanyakan mengenai harga saham yang fluktuatif, yang satu hari saja bisa berubah berapa kali. "Jadi ketika cut off-nya pada 31 Desember 2018 apakah itu bisa mewakili harga-harga saham sebelumnya?"

"Kalau kita kan berdasarkan data yang disampaikan oleh divisi investasi," jawab Fadian dengan tenang.

Penasihat hukum menegaskan kembali, kapan kerugian saham itu terjadi. "Jadi kita bisa tahu kepastiannya di sini tegasnya. Itu datangnya per satu hari atau apa?"

"Saya tidak tahu karena itu divisi investasi memberikan ke kami," jawab Fadian.

"Dalam laporan audit ada berapa emiten dan ada berapa transaksi saham dengan Jiwasraya?"

"Kalau untuk saham per 31 Desember itu ada 30 saham, Pak," ungkap Fadian.

"Apakah yang menyebabkan kerugian itu cuma delapan saham atau ada yang lain yang menyebabkan kerugian ini?"

"Itu yang kita catat, Pak. Ada 30 saham," jawab Fadian.

"Apakah Anda dikhususkan supaya ini saja yang diperiksa, yang lain dibiarkan?"

"Tidak seperti itu, Pak," jawab Fadian.

"Semua transaksi?"

"Iya, semua transaksi," kata Fadian.

"Saudara mengaudit, berarti menghitung angka?"

"Ya," jawab Fadian.

"Apa yang saudara temukan ketika menghitung transaksi saham MYRX, berapa jumlah sahamnya yang dibeli, berapa harga jualnya secara akumulasi?

"Kita tidak sampai sedetail itu, Pak, sampai berapa transaksi," jawab Fadian.

"Bagaimana saudara bisa menghitung kerugian kalau tidak tahu berapa banyak saham yang dibeli, berapa harga jualnya?"

"Kita tidak pernah menghitung kerugian," balas Fadian.

"Jadi apa saja yang saudara hitung?"

"Kami melihat proses transaksinya, Pak," jawab Fadian. "Prosesnya. Maksudnya perusahaan-perusahaan itu kondisinya seperti apa pada saat dibeli."

"Bagaimana proses pembelian dan penjualan-saham MYRX?"

"Kalau proses saya tidak tahu karena itu teknisnya divisi investasi, Pak," kata Fadian.

"Coba jelaskan bagaimana prosesnya?"

"Kalau prosesnya audit kami mengumpulkan data-data. Itu berupa seperti laporan keuangan, laporan keuangan dari perusahaan emiten. Itu kita lihat, kita sesuaikan dengan pedoman investasi. Kalau pedoman investasi itu menyebutkan bahwa perusahaan itu harus, misalnya, harus memperoleh keuntungan dua tahun berturut-turut. Nah, itu yang kita lihat di laporan keuangan perusahaan emiten apakah perusahaan itu dalam periode dua tahun itu pendapatannya seperti apa, labanya seperti apa, growth-nya seperti apa, itu yang kita kumpulkan datanya, Pak," jelas Fadian.

"Bisakah saudara menjelaskan bagaimana prosesnya pembelian saham MYRX?"

"Bukan kapasitas saya, Pak. Yang tahu itu orang-orang divisi investasi," jawab Fadian.

Ketua Majelis Hakim Rosmina pun meluruskan perdebatan tersebut. Saksi adalah auditor yang mendapatkan perintah untuk mengaudit dari 2014 sampai 2018. Yang dilakukannya hanya proses mengaudit bukan proses jual belinya.

"Jual belinya saksi ini tidak ikut. Tapi proses mengauditnya dia melihat dari data, oh ini dari tahun 2014, perusahaan ini bentuknya seperti ini, kondisinya seperti ini. Ini kenapa dibeli, berarti di dalamnya ada ketidakhati-hatian. Itu loh yang dia lakukan," kata Rosmina kepada penasihat hukum.

"Ada nggak saham MYRX yang saudara teliti?" tanya Rosmina kepada Fadian.

"Kalau untuk saham memang tidak ada, tapi ada di dalam underlying reksa dana. Kalau untuk jual beli saham tidak ada di 2014 tapi di underlying reksa dana ada, masih ada MYRX reksa dana," jawab Fadian.

Sementara, mantan Kepala Divisi Investasi Jiwasraya tahun 2009 Donny S Karyadi mengungkapan kondisi Jiwasraya sudah insolvensi alias tak mampu membayar kewajiban sejak 2008.

"Kondisi Asuransi Jiwasraya di tahun 2008 tidak sehat dari cadangan premi yang minus. Seandainya pada saat itu Jiwasraya ditutup maka pada saat itu perusahaan tidak mampu membayar kewajiban kepada seluruh pemegang polis," kata Donny.

Berdasarkan catatan, permasalahan keuangan Jiwasraya sudah terjadi pada 2004. Kala itu insolvensi mencapai Rp2,769 triliun. Pada tahun-tahun berikutnya kondisi Jiwasraya makin parah. Bahkan pada 2006 laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban.

Oleh karena itu BPK memberikan opini disclaimer untuk laporan keuangan 2006 dan 2007 karena penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya. 

Pada 2008 defisit Jiwasraya semakin lebar hingga Rp5,7 triliun dan Rp6,3 triliun pada 2009.

Penasihat hukum bertanya kepada Donny adakah pembelian langsung saham oleh Jiwasraya. "Jadi selain memberikan kuasa kepada manajer investasi (MI), Jiwasraya juga membeli langsung saham?"

"Masih, masih," jawab Donny.

"Apa kategori yang diberikan kepada manajer investasi dan apa yang dibeli langsung, apakah ada perbedaan?"

"Tidak ada perbedaan," jawab Donny.

"Tidak dibatasi Anda hanya beli saham ini saja?"

"Tidak," jawab Donny.

"Adakah saham-saham yang dibeli oleh manajer investasi atau termasuk yang dijual mengakibatkan kerugian bagi asuransi?"

"Saya tidak ingat," jawab Donny.

"Jadi semua untung, semua menguntungkan?"

"Ya," jawab Donny.

"Yang transaksi melalui manajer investasi?"

"Ya," jawab Donny.

"Pada waktu saudara menjabat manajer investasi, adakah saham MYRX yang dijualbelikan pada waktu itu?"

"Tidak ada," jawab Doni tegas.

Sekadar mengingatkan, mantan Menteri BUMN Rini Soemarno pernah bersurat kepada Kejaksaan Agung mengenai dugaan fraud ini dalam surat bernomor SR-789/MBU/10/2019 yang kemudian ditindaklanjuti Kejagung.

Dari hasil penyidikan Kejagung disebutkan Jiwasraya diduga melakukan penyalahgunaan investasi yang melibatkan 13 perusahaan manajer investasi yang melanggar tata kelola perusahaan yang baik yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp12,157 triliun.

Ke-13 perusahaan MI tersebut adalah PT Danawibawa Manajemen Investasi atau Pan Arkadia Capital, PT OSO Manajemen Investasi, PT Pinnacle Persada Investasi, PT Milenium Danatama, PT Prospera Aset Manajemen, PT MNC Aset Manajemen, PT Maybank Aset Manajemen, PT GAP Capital, PT Jasa Capital Aset Manajemen, PT Pool Advista, PT Corina Capital, PT Trizervan Investama Indonesia, dan PT Sinarmas Aset Manajemen. 

Beberapa hari lalu Sinarmas Aset Manajemen mengembalikan Rp77 miliar ke Kejagung.

(G-2)

 

BACA JUGA: