JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai produk hukum Omnibus Law merugikan kepentingan publik dan hanya akan menguntungkan pebisnis.

Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan sebanyak 1.244 pasal pada 79 undang-undang akan direvisi melalui Omnibus Law.

"Masalahnya, pembahasan paket Omnibus Law sejak awal tidak terbuka dan transparan," kata Wana dalam keterangan tertulis melalui surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Selasa (5/4).

Pembahasan Omnibus Law yang tidak transparan itu dipandang menyalahi mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Apalagi Satuan Tugas Omnibus Law didominasi oleh pengusaha. Ketuanya adalah Rosan Perkasa Roeslani. Ia adalah Chairman Recapital Croup (Private Equity Firm) dan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) 2015-2020. Ia juga pernah menjadi mitra Sandiaga Salahuddin Uno dalam bisnis batu bara.

Dalam UU Minerba, luas wilayah pertambangan mineral dibatasi hingga 25 ribu hektare, sementara pertambangan batu bara 15 ribu hektare. Banyak perusahaan berlisensi Pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang memiliki luas wilayah lebih dari itu. RUU Cipta Kerja menghapus kepastian luas wilayah tersebut.

RUU Cipta Kerja jika disahkan juga memberikan jalan bagi pebisnis batu bara untuk mengeksploitasi batu bara seumur hidup hingga cadangannya habis.

Wana berpendapat warga dan lingkungan hidup akan dirugikan dengan adanya aturan baru ini.

Pemberian insentif dan keleluasaan pebisnis batu bara melalui Omnibus Law akan mendorong ekspansi wilayah pertambangan dan eksploitasi semakin tidak terkendali

Peneliti ICW lainnya, Egi Primayogha, menambahkan RUU Cipta Kerja sebagai bagian dari paket Omnibus Law hanya akan merugikan lingkungan hidup dan memberi jalan bagi aktor swasta untuk menguasai sumber daya publik.

Masalah itu setidaknya dapat terlihat dalam RUU Cipta Kerja bagian Energi dan Sumber Daya Mineral. Jika RUU Cipta Kerja disahkan maka penerimaan negara akan hilang dan semata menguntungkan pebisnis. Karena, negara berpotensi merugi akibat penghapusan kewajiban royalti.

Egi menegaskan padahal royalti adalah iuran yang wajib dibayarkan pengusaha kepada negara setelah mengeruk sumber daya mineral dan batu bara.

Pengusaha yang berinisiatif mengolah batu bara menjadi dimethyl ether (DME) atau gasifikasi batu bara akan mendapat insentif penghapusan kewajiban membayar royalti.

Menurutnya, pada 2018, penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) mencapai Rp180 triliun. Pendapatan dari pertambangan minerba menyumbang sekitar 17% dari jumlah tersebut.

Secara khusus PNBP dari royalti batu bara pada 2018 mencapai Rp21,854 triliun. Jika royalti dihapuskan, triliunan rupiah berpotensi lenyap. Penerimaan negara hilang, pebisnis diuntungkan.

Bahkan, warga dan lingkungan hidup akan dirugikan.

Selaras dengan itu, kerusakan lingkungan dan penggusuran permukiman warga akan semakin marak terjadi. Melalui Omnibus Law pula patut dipertanyakan komitmen pemerintah terhadap krisis iklim.

Egi mengatakan bukannya memberikan dorongan untuk transisi ke energi baru terbarukan (renewable energy), pemerintah justru memberikan insentif bagi pebisnis untuk semakin mengeruk batu bara sebagai sumber energi kotor.

Karena itu, produk hukum Omnibus Law semakin menegaskan komitmen Presiden Joko Widodo yang tidak lagi berpihak pada kepentingan publik. Kepentingan privat yang dominan terlihat jelas dalam produk hukum Omnibus Law.

Menurut Egi, dengan proses pembahasan dan isi yang bermasalah, Omnibus Law terindikasi sebagai jenis korupsi kebijakan dan adanya pembajakan negara oleh kepentingan privat (state capture).

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya menegaskan rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law akan tetap memperhatikan aspek lingkungan.

Salah satu poin terpenting dalam RUU Omnibus Law LHK adalah penerapan standar dalam pengendalian dampak lingkungan pada perizinan berusaha.

Siti mengatakan perizinan berusaha yang mencakup lingkungan dalam Omnibus Law berbasis pendekatan risiko yang akan didekati dengan standar.

Hal ini memudahkan perizinan berusaha dan di sisi lain memaksa pemerintah atau birokrasi bekerja baik dalam pengawasan dengan integritas yang tinggi.

Omnibus Law membagi risiko menjadi risiko tinggi, sedang dan rendah atau risiko kecil. Setiap risiko tersebut akan dibuatkan standar yang dimaksud.

Untuk risiko tinggi wajib dilakukan AMDAL, risiko sedang dikelola melalui Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL dan UPL) yang menjadi standar dan risiko rendah dilakukan dengan sistem registrasi melalui standar sebagai alat kontrol.

"KLHK menyiapkan standar tersebut bersama sektor-sektor yang berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan swasta. Dari sinilah nanti dilakukan enforcement (penegakan). Contohnya dalam penanganan sampah dan limbah B3, disiapkan standar pemerintah," kata Siti dalam Rakernas KLHK dikutip dari ppid.menlhk.go.id, Jumat (28/2) di Yogyakarta.

Semangat Omnibus Law Cipta Kerja, kata Siti, adalah penyederhanaan regulasi dalam bentuk satu perizinan berusaha.

Dengan begitu nantinya tidak perlu lagi mengurus banyak izin untuk memulai suatu usaha, misalnya izin usaha hutan di kawasan hutan produksi.

Kuncinya nanti ada pada standar yang jadi pedoman bersama para pihak. (G-2)

 

BACA JUGA: