JAKARTA - Panitia Kerja (Panja) Pemerintah dan DPR telah rampung membahas 938 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Perubahan UU 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) pada 28 Februari 2020 dan akan segera menuntaskan pembentukan UU Minerba yang baru. Kuat diduga, langkah itu sangat memihak kepentingan segelintir pengusaha/konglomerat, termasuk negara/perusahaan asing, terutama para pemegang kontrak Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dibandingkan dengan kepentingan negara dan rakyat.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menjelaskan total produksi ketujuh kontraktor PKP2B diperkirakan sekitar 210 juta ton/tahun. Jika diasumsikan laba kontraktor sekitar US$10 per ton maka keuntungan yang dapat diraih setiap tahun adalah sekitar US$2,1 miliar atau sekitar Rp28 triliun.

"Dengan keuntungan yang demikian besar, jelas mereka berupaya sekuat tenaga untuk memperoleh perpanjangan kontrak dalam bentuk izin, baik melalui perubahan UU Minerba, revisi keenam PP (Peraturan Pemerintah) 23/2010 atau pun melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja, sehingga tetap dominan menguasai aset negara tersebut," ujar Marwan kepada Gresnews.com, Kamis (26/3).

Menurut Marwan, kebijakan kontra rakyat menunjukkan siapa sebenarnya pemegang saham kontraktor PKP2B yang ternyata umumnya adalah konglomerat-konglomerat kaya dan negara/perusahaan asing. Para pemegang saham tersebut sebagian masuk daftar 150 orang terkaya di Indonesia. Sebagian dari mereka menjadi kaya dan terkaya karena menguasai kekayaan tambang batu bara milik negara yang menurut konstitusi harus dikelola oleh perusahaan milik negara (BUMN).
 
Pemerintah dan DPR saat ini begitu proaktif, bekerja cepat dan sekaligus tertutup untuk segera menuntaskan perubahan UU Minerba. Tujuannya agar para kontraktor segera memperoleh jaminan perpanjangan operasi tambang sebelum kontrak PKP2B berakhir.

Marwan menegaskan semestinya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR tidak mengubah ketentuan konstitusional dalam UU Minerba demi memberi jalan kepada para kontraktor memperoleh perpanjangan kontrak. Demi rasa keadilan dan kebersamaan sesama anak bangsa dan umat manusia, kita ingin mengetuk hati para konglomerat dan kontraktor untuk berempati kepada rakyat yang sebagian besar hidup miskin di negara ini.

"Selama ini Anda telah memperoleh kekayaan dan kenikmatan sangat besar dari aset negara yang dengan gampang diakuisisi sebagai aset korporasi dan sebagai kolateral, untuk memupuk modal dan mengeruk keuntungan. Berhentilah terlibat mengangkangi aset rakyat dengan mengakali kebijakan dan peraturan dengan cara bernuansa moral hazard," ungkapnya.

Ia mengatakan sekarang saatnya bagi rakyat untuk memperoleh hak dan pembagian yang lebih berkeadilan dari aset-aset tersebut. Kebijakan dan peraturan yang memberi jalan mudah dan membiarkan aset negara dimanfaatkan oleh perorangan atau swasta, apalagi oleh perusahaan/negara asing seperti India, China, Inggris, dan lain-lain, untuk memperoleh keuntungan dan memperkaya diri merupakan pelanggaran hukum yang serius dan pengkhianatan terhadap konstitusi, serta mengusik rasa keadilan.

Marwan menegaskan walaupun hampir tidak memiliki kekuatan berarti, rakyat harus tetap melawan. Kelompok yang berkepentingan di balik gencarnya upaya revisi UU Minerba adalah para kontraktror PKP2B, berikut investor dan pihak terkait. Kontraktor-kontraktor dimaksud adalah PT Tanito Harum (kontrak berakhir: 1/2019), PT Arutmin Indonesia (11/2020), PT Kaltim Prima Coal (12/2021), PT Multi Harapan Utama (4/2022), PT Adaro Indonesia (10/2022), PT Kideco Jaya Agung (3/2022) dan PT Berau Coal (9/2025). Mereka ingin kembali mengangkangi aset rakyat tersebut 20 hingga 30 tahun ke depan.
 
Mari kita telusuri siapa saja pemilik atau pemegang saham ketujuh perusahaan PKP2B tersebut.

Pertama,  pemegang 100% saham Tanito Harum (luas lahan tambang versi Ditjen Minerba sekitar 1.869 hektare. Versi lain: 36.000 hektare) adalah Kiki Barki dan Anita Barki. Kontrak PKP2B Tanito harum berakhir 14 Januari 2019 dan telah diperpanjang dalam bentuk izin selama 20 tahun dari Kementerian ESDM pada Januari 2019.
 
Perpanjangan tersebut jelas melanggar ketentuan dalam UU Minerba. Atas dasar pelanggaran tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menulis surat kepada Presiden Jokowi berisi permintaan pembatalan izin.  Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Menteri ESDM  Ignatius Jonan memang mengakui telah menerbitkan izin dengan melanggar ketentuan UU Minerba. Setelah mendapat salinan surat KPK kepada Presiden Jokowi tersebut, Jonan pun mengakui telah membatalkan izin tersebut (20/6/2019).

Pada Juni 2019 Dirjen Minerba Bambang Gatot Aryoto mengatakan belum mengetahui bagaimana nasib Tanito Harum ke depan, tergantung kepada aksi Tanito Harum dan keputusan pemerintah. Lahan tambang yang dioperasikan dapat berubah menjadi WPN (Wilayah Pencadangan Negara) atau WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus). "Namun, sesuai aturan yang berlaku, kalau kontrak diterminasi maka lahan tambang tersebut dikembalikan kepada negara," kata Bambang di Gedung DPR/MPR (10/7/2019).

Kedua, pemegang saham Arutmin Indonesia (luas lahan 57.107 hektare) diperoleh dari publikasi Laporan Tahunan Bumi Resources 2018 dan presentasi Ditjen Minerba Februari 2020. Saham Arutmin 70% dikuasai oleh Bumi Resources dan 30% dipegang oleh Bhira Investment Limited, India. Sedangkan pemegang saham Bumi Resources antara lain adalah: HSBC, Inggris (22,67%), The NT TST Co. S/A Pathfinder Stratgic Credit LP (3,98%), Damar Reka Energi (3,5%), UBS AG, Swiss (2,65%), Credit Suisse, Swiss (2,49%), Credit Suisse Singapore (2,31%), Raiffeisen Bank Singapore (1,93%), Citibank London (1,23%), Credit Suisse USA (1,23%), dll, serta Pemegang Saham Publik (64,7%).

Ketiga, sumber informasi tentang pemegang saham Kaltim Prima Coal (84.938 hektare) juga sama seperti Arutmin Indonesia, yakni berasal dari Laporan Tahunan Bumi Resources dan Ditjen Minerba. Saham Kaltim Prima Coal 51% dipegang oleh Bumi Resources, 30% oleh Bhira Investment Limited, India dan sisanya 19% dipegang China Investment Corporation (CIC). Sedangkan pemegang saham Bumi Resources sendiri adalah seperti disebutkan pada butir kedua di atas.

Keempat, pemegang saham Multi Harapan Utama (MHU) yang memiliki lahan tambang 39.972 hektare adalah PT Pakarti Putra Sang Fajar (60%) Private Resources Limited, Australia (40%). Sedangkan saham PT Pakarti dimiliki oleh dua perusahaan lain, yakni PT Bhaskara Alam dan PT Riznor Rezwara. PT MHU dihubungkan oleh satu nama yaitu Reza Pribadi, di mana Reza tercatat sebagai komisaris di PT MHU dan di PT Pakarti. Di PT Riznor, Reza tertulis sebagai pemilik saham bersama Rizal Risjad. Pada PT MHU Reza menjabat direktur.
 
Ternyata posisi serupa sebagai direktur/komisaris juga dijabat Reza di Private Resources Pty Ltd, perusahaan yang berkantor di Perth, Australia. Artinya, meskipun PT Prakarti terdaftar di Indonesia dan Private Resources terdaftar di Australia, Reza merupakan pengurus pada kedua perusahaan tersebut. Berarti pemilik kedua perusahaan tersebut, dan juga PT MHU, dapat saja mayoritas dikuasai oleh orang yang sama. Reza adalah putra pengusaha Henry Pribadi (Liem Oen Hauw), pemilik Napan Group.

Kelima, pemegang saham Adaro Indonesia (31.380 hektare) adalah PT Adaro Strategic Investments (43,91%), Garibaldi Thohir (6,18%), Edwin Soeryadjaya (3,29%), Theodore Permadi Rachmat (2,54%), Arini Saraswaty Subianto (0,25%) dan Publik (43,69%). Adaro Strategic Investment sendiri dimiliki oleh lima orang pengusaha yaitu Theodore Permadi Rachmat melalui PT Triputra Investindo Arya, Benny Subianto melalui PT Persada Capital Investama, Garibaldi Thohir melalui PT Trinugraha Thohir, serta Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Salahuddin Uno melalui PT Saratoga Capital. 

Keenam, pemegang saham Kideco Jaya Agung (47.500 hektare) adalah Indika Energy (91%) dan Samtan Limited, Korea Selatan (9%). Indika Energy sendiri dimiliki oleh Arsjad Rasjid, Wishnu Wardhana, dan Agus Lasmono. Pemegang saham Indika Energy terdiri atas PT Indika Inti Investindo (37,79%), PT Teladan Resources (30,65%), dan Publik (31,56%). Pemilik mayoritas PT Indika Inti Investindo sebagai salah satu pemegang saham pengendali Indika Energy adalah Agus Lasmono yang merupakan pendiri Indika Group.

Ketujuh, pemegang saham atau pemilik Berau Coal (luas lahan 108.009 hektare) adalah Grup Sinar Mas melalui Asia Coal Energy Ventures Limited (ACE). ACE menyatakan telah menjadi pengendali di Berau Coal secara tidak langsung karena memiliki 94,19% saham di Asia Resources Minerals Plc (ARM) yang semula menjadi pemilik Berau (23/7/2015).
 
ACE menguasai 84,7% saham di Berau Coal melalui Vallar Investment UK Limited. ACE, yang merupakan perusahaan terikat hukum Pulau Virgin, menyelesaikan akuisisi ARM pada 15 Juli 2015 pukul 13.00 waktu London. Pada 16 November 2017, Berau Coal resmi keluar dari Bursa Efek Indonesia (BEI).

(G-2) 

 

BACA JUGA: