JAKARTA - Kondensat bagian negara pada Badan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang dijual kepada PT Trans-Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) selama 2009-2011 digunakan tidak sesuai dengan tujuannya. Alih-alih diolah sebagai bensin (Motor Gasoline/MOGAS), kondensat itu justru dibuat untuk aromaterapi.

"Jadi (digunakan) tidak sesuai dengan tujuannya. Begitu saja intinya dari kami," kata Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara korupsi penjualan kondensat bagian negara di BP Migas, Bima Suprayoga, kepada Gresnews.com di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (16/3). 

Terdakwa dalam perkara itu adalah mantan Kepala BP Migas Raden Priyono, serta mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono. Dalam surat dakwaan, keduanya dinilai merugikan negara lebih dari US$2,7 miliar (sekitar Rp35 triliun). Persidangan Senin lalu menghadirkan lima saksi: Direktur Operasional TPPI pada 2007-2011 Syamsirwan Ganie, Wakil Direktur Utama dan Direktur Keuangan TPPI (2008-2012) Bambang Luksiono, Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina (Persero) pada 2006-2010 Ahmad Faisal, Analis Bisnis dan Keuangan PT Pertamina (Persero) pada 2011 Pramono Agung Nugroho, dan mantan Kepala BPH Migas pada 2007-2011 Tubagus Haryono.

Menurut Yoga, perjanjian penjualan itu juga dibuat belakangan, tidak sesuai dengan aturan yang sebagaimana mestinya. Salary Recruitment Agreement (SAA) juga dibuat sesudah proses berjalan. "Mestinya kan dibuat di depan, dong. Namanya perjanjian, kok," kata dia.

Namun, penasihat hukum Raden Priyono, Tumpal H. Hutabarat, menyatakan pengiriman kondensat yang dilakukan oleh BP Migas kepada TPPI merupakan kebijakan pemerintah. "Di TPPI itu adalah bagian hilir. Tidak (ada) sangkut pautnya ke dua terdakwa ini. Karena kedua terdakwa ini urusannya di hulu," kata Tumpal kepada Gresnews.com.

Ia menjelaskan, dalam persidangan, saksi Syamsirwan dan Bambang menyatakan mayoritas saham TPPI sebesar 70% adalah milik negara sehingga ada keinginan untuk turut serta melakukan Public Service Obligation (PSO), tetapi TPPI tidak memiliki bahan baku kondensat untuk memproduksi MOGAS 88 atau premium, padahal kilang TPPI dapat memproduksinya.

Lebih lanjut Tumpal menyatakan dalam rapat yang dipimpin oleh Wapres Jusuf Kalla pada 21 Mei 2008, dihadiri oleh Menteri ESDM, Dirjen Anggaran, Dirjen Kekayaan Negara mewakili Menteri Keuangan, Dirut Pertamina dan Kepala BPH Migas, dibahas tentang permasalahan mengenai sektor migas, khususnya industri hilir. Tujuan awal TPPI meminta kondensat bagian negara adalah dalam rangka melakukan PSO untuk pemenuhan bahan bakar bersubsidi yakni premium. Pertamina yang diminta untuk mengirimkan kondensat bagian negara untuk diolah di kilang TPPI.

Namun, Pertamina tidak mengirimkannya. Berdasarkan kesaksian Ahmad Faisal, Pertamina tidak mengirimkan kondensat itu karena TPPI tidak bersedia melakukan pembayaran hasil produksi TPPI berupa MOGAS 88 yang dijual ke Pertamina sebagai pembayaran utang. "Kalau dipotong utang ke Pertamina, TPPI gak bisa jalan," ujarnya.

Lantaran Pertamina tak bersedia mengirimkan kondensat maka Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo meminta BP Migas untuk mengirimkan kondensat ke TPPI. Tujuannya agar kebijakan pemerintah melalui rapat di Istana Wapres dapat dilaksanakan, yakni untuk mengoptimalkan atau menyelamatkan kilang TPPI yang mayoritas sahamnya milik negara, serta untuk mengatasi kelangkaan BBM, khususnya di Jawa Timur dan mengurangi BBM impor.

"Kalau Pertamina beli, dia harus di-offset dengan utang TPPI. Jadi mereka nggak bisa. Tetapi ada di rapat-rapat itu, boleh dijual di tempat lain," katanya.

Selain itu, menurut Tumpal, kilang minyak milik pemerintah selain Pertamina itu satu-satunya hanya TPPI. Namun di lapangan ternyata ditemukan kilang minyak di area TPPI milik Honggo Wendratno (kini buronan) secara pribadi.

"Apakah itu menjadi urusan BP Migas? Tidak, karena BP Migas itu tidak sampai urusannya di hilir. Dia hanya mengeksploitasi, memproduksi minyak mentah, dikirim. Itu aja tugasnya, kalau sudah di bawah bukan lagi urusan dia," terang Tumpal.

Mengenai utang atau kekurangan pembayaran sebesar US$2,7 miliar, Tumpal mengatakan kliennya sudah membayar sekitar US$2,5 miliar. Namun masih ada sisa kekurangan pembayarannya sekitar US$139 juta. Berdasarkan hal itu, jelas sudah bahwa perkara ini bukan tindak pidana korupsi melainkan utang-piutang negara dari BP Migas kepada TPPI.

"Piutang tersebut hingga saat ini masih diakui dan tercatat di BP Migas. Piutang tersebut merupakan hubungan keperdataan antara BP Migas dengan TPPI. Bukan tindak pidana korupsi seperti yang didakwakan JPU," ungkapnya.

Selain itu, menurut Tumpal, utang tersebut juga sudah dicatatkan dalam akta notaris Hasbullah Abdul Rasyid yang dituangkan dalam Akta Notaris Nomor: 100 tanggal 15 Juni 2011, beserta akta Jaminan Fidusia Nomor W7-1084.AH.05.02.TH.2011/P tanggal 28 Juni 2011, serta diperkuat dengan Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 47/PKPU/2012/PN.Niaga.JKT.PST Jo 60/PAILIT/2012 PN.Niaga.JKT.PST tanggal 26 Desember 2012.

(G-2)

BACA JUGA: