JAKARTAYayasan WWF Indonesia menyatakan hasil evaluasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang melatarbelakangi keluarnya surat edaran radiogram dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar kepada kepala daerah seluruh Indonesia, yang intinya melarang adanya kerja sama dengan WWF, tidak menyertakan adanya permasalahan dengan jelas dan transparan.

Kendati demikian, kepada Gresnews.com, Jumat (4/10), Manajer Hubungan Masyarakat dan Relasi Media Yayasan WWF Indonesia Ency Mataniari menyatakan pihaknya menyadari bahwa evaluasi kinerja mitra kerja pemerintah merupakan hal yang lazim dilakukan.

Masih berkaitan dengan surat Menteri LHK itu, Ency mengatakan Yayasan WWF Indonesia selalu tertib melakukan pelaporan kepada KLHK dan menyusun laporan tahunan yayasan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada seluruh pemangku kepentingan. “Laporan terakhir yang telah WWF Indonesia kirimkan kepada KLHK tertanggal 9 Januari 2019,” ujar Ency.

Dalam dokumen surat yang bersifat penting dan segera, yang diperoleh Gresnews.com, Kamis (3/10), tersebut, Menteri LHK menyatakan larangan itu didasarkan pada perkembangan kegiatan kerja sama dengan WWF dalam satu tahun terakhir dan berdasarkan laporan evaluasi yang disampaikan kepada Menteri LHK pada 9 Januari 2019. Surat tertanggal kirim 19 September 2019 itu ditujukan kepada gubernur/bupati/wali kota se-Indonesia. Surat itu juga ditembuskan kepada Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Sekretaris Jenderal Kementerian LHK, dan Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota se-Indonesia.

Ditegaskan pula, dalam orientasi kerja WWF tentang konservasi keanekaragaman hayati menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Kepada gubernur diminta untuk tidak menandatangani dengan WWF tanpa berkonsultasi dengan Menteri LHK untuk menjaga yurisdiksi dan overclaimed keberhasilan. (BACA: Pemerintah Larang Kepala Daerah Kerja Sama dengan WWF, Ini Suratnya). 

Memang, tidak disebutkan secara rinci dalam surat tersebut mengenai evaluasi yang dimaksud, apakah itu terkait dengan terbakarnya kawasan konsesi yang dikelola oleh PT Alam Bukit Tigapuluh (PT ABT) di Jambi. Luas lahan yang terbakar adalah 20 hektare. Perusahaan itu beroperasi berdasarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam (IUPHHK-Restorasi Ekosistem). Perusahaan itu adalah satu-satunya pemegang IUPHHK-RE yang terbakar. Yayasan WWF Indonesia menjadi pemegang saham terbesar di PT Panda Lestari yakni sebanyak 4.598 lembar senilai Rp4.598.000.000. PT Panda Lestari adalah pemegang saham mayoritas (pengendali) PT ABT. (BACA: Diselidiki dalam Kasus Karhutla, PT ABT Akui Mayoritas Saham Dikuasai WWF Indonesia)

Selain itu, PT ABT ternyata juga tengah menghadapi permasalahan konflik sosial dengan masyarakat. Sebuah Laporan Polisi telah dimasukkan pada Minggu, 8 September 2019, berkaitan dengan dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak PT ABT terhadap masyarakat. (BACA: Perusahaan Milik WWF Indonesia Berkonflik dengan Masyarakat Jambi). 

Berkaitan dengan kerja sama antara WWF Indonesia dan pemerintah daerah, Gresnews.com mencatat, Yayasan WWF Indonesia mendapatkan dana Rp2,1 miliar dari Margaret A. Cargill Foundation yang dikonfirmasi oleh pihak Yayasan WWF Indonesia digunakan untuk mengadakan program di Papua dan Papua Barat. (BACA: WWF Indonesia Jelaskan Dana dari Cargill Foundation untuk Program di Papua dan Papua Barat)(G-2)

BACA JUGA: