JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menelisik dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus dugaan suap pengurusan sejumlah perizinan proyek pembangunan Meikarta milik Lippo Group di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dugaan adanya pencucian uang oleh Lippo Group itu disinyalir melibatkan banyak perusahaan, termasuk perusahaan cangkang yang diduga anak perusahaannnya sendiri, sebagai skema manajemen risiko agar lebih aman bila ada permasalahan hukum di kemudian hari.

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dapat dibedakan antara pelaku TPPU aktif dan pelaku pasif. "Tetapi yang pasti keduanya melakukan perbuatan menyamarkan hasil tindak pidana," kata Fickar kepada Gresnews.com, Rabu (21/8).

Ia melanjutkan, artinya, dalam kasus apapun termasuk Meikarta, jika ada indikasi terjadinya penyamaran hasil kejahatan maka penuntutannya dapat dilakukan tanpa harus membuktikan tindak pidana asal (predicate crime). Ia menegaskan untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap TPPU, tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Dengan demikian, menurutnya, penyitaan (perampasan) aset yang tidak jelas perolehannya (asal-usulnya) dapat dilakukan setiap saat meski belum dibuktikan tindak pidana asalnya. "Jadi tidak usah terlalu rumit. Sepanjang ditemukan indikasinya, langsung saja bisa diterapkan TPPU," tandasnya.

Menurut Fickar, soal siapa saja yang dapat dituntut dalam TPPU, UU TPPU sudah jelas mengkualifikasi pelaku aktif dan pelaku pasif. Artinya, prinsip yang digunakan adalah follow the money, ke mana uang mengalir sampai jauh. Termasuk juga terhadap para pihak yang terkait aliran dana hasil kejahatan (baik aktif menyamarkan dan/atau pasif menerima), mencakup juga pihak-pihak yang duduk pada pucuk pimpinan tertinggi korporasi, sepanjang bisa dibuktikan alirannya.

Perkara suap Meikarta tersebut berawal dari kegiatan tangkap tangan pada 14 dan 15 Oktober 2018. KPK menetapkan sembilan orang sebagai tersangka dari unsur kepala daerah, pejabat di Pemkab Bekasi, dan pihak swasta.

Kesembilan orang tersebut sudah divonis yaitu (1) Bekas Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin divonis 6 tahun penjara; (2) Bekas Kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi Jamaludin divonis 4,5 tahun penjara; (3) Bekas Kepala PMPTSP Pemkab Bekasi Dewi Tisnawati divonis 4,5 tahun penjara; (4) Bekas Kepala Dinas Damkar Pemkab Bekasi, Sahat Maju Banjarnahor divonis 4,5 tahun penjara.

Selanjutnya (5) Bekas Kepala Bidang Penataan ruang Dinas PUPR Neneng Rahmi Nurlaili divonis 4,5 tahun penjara; (6) Bekas Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro divonis 3,5 tahun penjara; (7) Henry Jasmen P Sitohan divonis 3 tahun penjara; (8) Fitradjaja Purnama divonis 1,5 tahun penjara dan; (9) Taryudi divonis 1,5 tahun penjara.

Sidang dilakukan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat. (G-2)

BACA JUGA: