Hukum Tanah Adat, yakni aturan yang diterapkan dalam mengelola tanah yang dimiliki masyarakat Adat saat ini masih banyak terdapat di seluruh wilayah Indonesia, walaupun dari satu masyarakat hukum adat yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan berdasarkan pada adat dan kebiasaan yang diyakni.

Hukum Tanah Adat mencakup penyelesaiaan sengketanya yang berdasarkan hukum adat, sampai saat ini masih dikenal pada masyarakat hukum ada yang tersebar di seluruh Indonesia.

Misalnya saja pada Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, merupakan salah satu kesatuan masyarakat hukum adat yang masih ada dan hidup di Kampar Kiri Kabupaten Kampar, Riau. Di sana wilayah daratan dikuasai dan dikontrol oleh 10 orang ninik mamak yang disebut datuk nansepuluh dan dipimpin oleh Datuk Mudo. Kemudian bagian sungai dan dikontrol oleh enam orang ninik mamak yang disebut datuk nanberanam dan dipimpin oleh Datuk Sutan Jalelo.

Di Kalimantan Barat, kawasan/wilayah Masyarakat Adat Kampung Silat Hulu di Ketapang dikelola dengan baik oleh masyarakat adat Silat Hulu, baik secara perorangan maupun secara komunitas, dengan wilayah tofografinya berupa dataran dan perbukitan serta sedikit rawa. Kampung yang sudah berusia ratusan tahun ini memiliki luas wilayah sekitar 15 km. Sebagai masyarakat adat yang hidup dan berkembang dalam wilayah adat, jaminan keberlangsungan Masyarakat Adat Silat Hulu sangat tergantung pada keberlangsungan hutan, tanah, arai yang ada dalam kawasan adat Silat Hulu. Dalam kawasan adat inilah kabun-prasasaq, lakau humaq, pandam-pasaran (sebutan kebun dan ladang dalam bahasa Adatnya) dan lain-lainnya berada.

Begitu juga di Ternate, pada masyarakat hukum adat Ternate masih berlaku hukum adat yang mengatur tentang tanah, seperti yang dikenal hak bersifat tetap aha kolano (tanah sultan), aha soa (tanah kampung) dan aha cocatu (tanah individu), maupun hak bersifat sementara seperti hak tolagami (hak buka lahan), hak safa (hak penandah tanah), hak rububanga (bongkar hutan) dan hak jurame (kebun yang telah ditinggalkan), yang sampai saat ini masih dipraktikkan dalam pengelolaan sumberdaya tanah.

Proses penyelesaian sengketa tanah Adat biasanya dilakukan secara musyawarah yang dipimpin ketua Adat di masing-masing wilayah. Selain itu, demi kebutuhannya, masyarakat Adat tidak ingin menjualbelikan tanahnya tersebut kepada siapapun.

Meski masih lemah secara Nasional, adanya eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya merupakan bentuk pengakuan yang dijamin Konstitusi, yakni Pasal 18B UUD 1945, serta wujud pemberlakuan Pasal 5 UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

HARIANDI LAW OFFICE

BACA JUGA: