Kemenkes Belajar Penerapan Asuransi Kesehatan ke Jepang
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah melakukan kajian pelayanan kesehatan melalui asuransi dari negara Jepang. Selain melakukan perbandingan sistem pelayanan kesehatan melalui asuransi, Kementerian Kesehatan juga melakukan perbandingan sistem penggajian bagi dokter.
Aturan pengobatan pertama pasien dalam sistem asuransi kesehatan di Jepang memang merekomendasikan agar pasien berobat di klinik lokal dan health center. Namun, tetap memungkinkan pasien berobat langsung ke RS Umum atau RS Universitas. Dengan catatan sebagian RS menerapkan "hospital selection fee" apabila pasien datang tanpa rujukan dari health center atau klinik.
"Aturan ini berbeda dengan di Indonesia yang menerapkan rujukan berjenjang," ujar Tjandra Yoga Aditama, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) kepada Gresnews.com, Minggu (1/2).
Dalam pertemuan dengan Prof Moriyama dari Universitas Osaka juga dikaji soal pendapatan dokter di Rumah Sakit (RS) Universitas Osaka yang juga sama dengan pendapatan profesor dari Fakultas lain di Universitas yang sama. Pendapatan dokter di RS Universitas tidak bergantung dari jumlah pasien yang diperiksa.
"Sistem pendapatan dokter ini juga berbeda dengan yang dilakukan di Indonesia," katanya.
Di Indonesia, terdapat dua sistem pembayaran, yakni Fee for Service (Out of pocket) dan sistem pembayaran kapitasi. Dengan sistem Fee for Service setiap dokter mendapatkan gaji berdasarkan pelayanan yang diberikan kepada pasiennya.
Sebaliknya, sistem pembayaran kapitasi dilakukan prospektif, dimana dokter yang memegang sejumlah besar penduduk akan mendapatkan bayaran dari penduduk yang dipegangnya dalam jangka waktu tertentu, dan biasanya dibayar per bulan. Sistem pembayaran inilah yang sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia sekarang dan dipakai biasanya dalam sistem asuransi.
“Sistem ini memungkinkan pasien terdistribusi merata pada seluruh dokter, banyaknya paket bisa menyesuaikan dengan jumlah dokter serupa di layanan kesehatan tersebut,” kata Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fadjriadinur.
Sistem asuransi kesehatan di Jepang sebagian besar mengikuti asuransi dari tempat kerja masing-masing yakni sebesar 68 juta orang, dengan medical cost sebesar 15 triliun Yen. Sedang Government insurance, diikuti 38 juta orang, dengan medical cost sebesar 10 triliun Yen. Dan Others insurance, diikuti 15 juta orang, dengan medical cost sebesar 14 triliun Yen.
"Healthcare expenditure di Jepang juga dikeluarkan lebih besar untuk yang berusia lanjut," jelas Tjandra.
Dimana dalam setahun pada kelompok umur di atas 65 tahun ke atas dikeluarkan healthcare expenditure sekitar 22 triliun Yen, atau sebesar 57% dari total healthcare expenditure nasional Jepang. Sisanya untuk 45-64 tahun dikeluarkan healthcare expenditure 9,4 triliun Yen, 24% dari total healthcare expenditure nasional di Jepang dalam setahun. Dan untuk 44 tahun ke bawah dikeluarkan healthcare expenditure 7,7 triliun Yen, 19% dari total healthcare expenditure nasional di Jepang dalam setahun.
Pada asuransi kesehatan di Jepang, rata-rata hampir sama peraturannya dengan di Indonesia. Yakni, tidak menanggung vaksinasi, medical check up, orthodontics, aborsi bukan dengan alasan medik, pembedahan kosmetik. "Beda prinsipiilnya Jepang tidak menanggung biaya persalinan normal," katanya.
Nantinya, semua hasil dari kunjungan Jepang ini akan didata oleh Balitbangkes. "Kami akan kompilasi dan gabung dengan data informasi lain, lalu dikaji mana yang baik untuk diterapkan," katanya.
- BPJS Defisit Pelayanan Peserta Kena Imbas
- ICW Ungkap Pola Kecurangan Terkait Jaminan Kesehatan
- Ombudsman: Rumah Sakit Jangan Terlalu Komersil
- Peneliti UGM Ingatkan Pemerintah Tingkatkan Kesehatan Mental Masyarakat
- Terkuaknya Korupsi Pengadaan Alat HIV/AIDS di Kementerian Kesehatan
- Kejaksaan Bongkar Korupsi Lain di Kemenkes
- Rapor Merah Kerja Kementerian Kesehatan