JAKARTA, GRESNEWS.COM - Air bagi warga pesisir menjadi persoalan yang pelik sebab masyarakat pesisir, yang didominasi warga berprofesi nelayan, menjadikan air sebagai kebutuhan dasar yang yang utama. Wilayah pesisir biasanya sulit untuk mendapatkan air bersih sehingga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait swastanisasi pengelolaan air menjadi harapan bagi perbaikan pengelolaan air.

Sekretaris Jenderal Kesatuan Nelayan Indonesia DKI Jakarta Muhammad Taher mengatakan penduduk pesisir Jakarta selama ini mengalami kesulitan air. Nelayan yang tinggal di Marunda ini menyatakan, tidak hanya sulit mendapatkan air bersih, harga untuk membeli air bersih juga sangat tinggi.

Tidak hanya di Marunda, wilayah pesisir seperti Muara Baru dan Muara Angke juga mengalami hal serupa. Kalau pun mereka mendapatkan kemudahan air, harga yang mereka bayarkan sangat mahal. Selama ini penduduk pesisir Jakarta mendapatkan pasokan air yang dikelola Aetra.

Namun, menurut Taher, air yang dipasok Aetra itu kotor, keruh dan kadang bau. Ia menduga pengolahan hasil tampungan cucian disalurkan juga ke pipa konsumen. "Makanya kalau malam, air yang dipasok itu berwarna merah," ujar Taher saat dihubungi Gresnews.com, Minggu (29/3).

Harga yang dibayarkan untuk air per 10 kubik sekitar Rp5.500 hingga Rp7.500. Kalau masyarakat tidak mau menggunakan air yang dikelola Aetra maka mereka terpaksa membeli air yang dijual melalui gerobak. Harganya pun bahkan lebih mahal yaitu Rp5.000 untuk 40 liter per pikul. Sementara per rumah tangga  setidaknya membutuhkan 4 pikul setiap harinya. Sehingga mereka menghabiskan uang Rp20.000 untuk keperluan mandi dan bersih-bersih lainnya. Adapun untuk air minum, mereka terpaksa menggunakan galon lantaran air dari Aetra dan pikulan yang dijual kotor.  

Taher menambahkan terkadang penjual air bersih tidak setiap hari berjualan. Contohnya, di daerah Marunda, masyarakat kadang tidak mendapatkan akses air hingga tiga hari. Kadang masyarakat Marunda juga malah mendapatkan akses air dari Jawa Barat karena daerahnya berbatasan langsung. Mereka kesulitan mengakses air dari Jakarta karena daerahnya dipisahkan oleh banjir kanal timur. Sehingga tidak ada saluran pipa yang melewati daerah banjir kanal timur tersebut. Marunda pun bisa dikatakan menjadi daerah yang terisolasi dari akses air bersih.

Masyarakat Marunda yang mendapatkan akses air bersih dari Jawa Barat pun harus membayar lebih mahal lagi. Untuk 100 liter air bersih mereka harus mengeluarkan biaya sebesar Rp20.000. Ada pun satu-satunya perusahaan yang mengelola air bersih di Jakarta bagian timur yaitu Aetra justru, menurutnya, malah menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan air bersih. Misalnya, masyarakat diharuskan memasang pipa dan meteran air untuk menyalurkan air bersih ke rumah masing-masing. Biaya yang dikeluarkan sekitar Rp2 juta.

Taher pun berharap pengelolaan air pascaputusan MK dan PN Jakpus yang membatalkan privatiasi sumber daya air dikembalikan ke negara, sehingga masyarakat pesisir khususnya bisa mendapatkan air dengan murah dan layak. Sebab yang masyarakat pesisir rasakan saat ini adalah air yang kotor, mahal, dan tidak layak untuk diminum.

Terkait hal ini, Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Edo Rakhman menuturkan konteks air untuk masyarakat pesisir dan nelayan tentu akan berdampak ketika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Sebab dalam menjalankan aktivitas sehari-hari air dan menjalankan profesinya nelayan sangat membutuhkan air.

Menurutnya, nelayan tidak akan bisa mandiri kehidupannya jika untuk kebutuhan dasarnya saja tidak terpenuhi. Apalagi daerah pesisir yang menjadi tempat tinggal nelayan merupakan tempat yang jauh dari sumber air. Kalaupun ada di dekatnya, mereka tidak memiliki sumber daya untuk bisa memanfaatkan air untuk digunakan di rumah. Misalnya seperti membangun jaringan pipa untuk saluran air. Ini yang menjadi tanggungjawab pemerintah untuk memfasilitasi air secara komunal.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim menuturkan dengan adanya putusan MK dan PN Jakpus soal dibatalkannya ketentuan privatisasi air bisa membawa dampak perubahan, keputusan yang sejalan dengan perbaikan pelayanan. Apalagi ada 1.666 desa pesisir yang tergolong sentral perikanan tangkap, budidaya, dan pengolahan yang kesulitan untuk memenuhi akses air bersihnya.

"Padahal masyarakat pesisir adalah garda terdepan republik ini. Tapi ketika mereka sulit mendapatkan air, ini menjadi sebuah ironi," ujar Halim pada Gresnews.com.

Menurutnya, momentum putusan MK dan PN Jakpus bisa membuka peluang bagi daerah pesisir lainnya untuk melakukan perbaikan dan pelayanan hak masyarakat atas air bersih. Sehingga akses air bersih tidak hanya terbatas di perkotaan saja. Sehingga pemerintah daerah seharusnya tidak lagi menyerahkan pengelolaan air pada pihak ketiga, tapi pengelolaan air bisa diserahkan pada masyarakat bersama BUMD. Sehingga negara bukan mengambil untung atas pengelolaan tersebut, tapi mencegah agar sumber daya air tidak dikuasai orang per orang.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air yang berisi ketentuan soal privatisasi air. Tak lama setelah putusan tersebut, PN Jakpus juga memutuskan untuk membatalkan kontrak antara PAM Jaya dengan perusahaan swasta asing terkait pengelolaan air di Jakarta.

BACA JUGA: