JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menuding Qanun No. 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh menjadi alat pembunuh bagi satwa-satwa endemik liar yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Walhi juga menuding penerapan Qonun tersebut akan mendorong terjadinya bencana alam seperti banjir bandang dan kebakaran hutan, seperti yang mulai dirasakan warga sekitar Aceh Gayo dan Aceh Selatan.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muh Nur situasi di lapangan menggambarkan praktek deforestasi telah terjadi di area KEL. Perkebunan sawit yang mengatasnamakan masyarakat maupun perusahaan kini berkembang luas. Tambang-tambang emas yang merusak sumber air karena penggunaan mercuri dalam jumlah besar mengancam lingkungan. Apalagi penggunaan pemanfaatan pengawasan tersebut tanpa pengaturan yang jelas.

Padahal dalam peraturan yang lebih tinggi yakni Peraturan Khusus Pemerintah Aceh pada UU No 11 Tahun 2006 dan Undang-Undang Tata Ruang Nasional dimana keduanya memandatkan perlindungan kawasan KEL. Namun pemerintah Aceh justru mengeluarkan Perda No 5 tahun 2014 tentang Tata Cara Ijin Budidaya di dalam KEL mengatur mekanisme pemberian ijin di atas kawasan KEL.

"Dampaknya cukup jelas, KEL rusak, kekeringan. Air pun menjadi salah satu aspek kerugian terbesar. Spesies langka seperti Harimau Sumatra, orang utan, spesies burung, gajah, badak dan lainnya yang perlu dilestarikan tidak diakomodir," kata Muh Nur kepada Gresnews.com, Minggu (26/10).

Sehingga menurutnya,  Indonesia kini tidak perlu lagi membanggakan diri sebagai negara yang kaya keanekaragaman hayati,  karena kekayaan tersebut tidak berstatus terlindungi aspek hukum. Aceh juga akan menjadi kontributor baru pemasok asap, seperti Riau, sebab kawasan KEL juga merupakan kawasan ekosistem gambut yang mudah terbakar. Namun alih fungsi ini terkesan dibiarkan dan semakin parah.

Teguh menilai pengelolaan KEL tidak jelas dalam Perda yang ada apakah terlindungi semua, terdapat pemukiman atau tidak, jangankan diatur, tertuang bagaimana fisik KEL secara nyata saja tidak. Nantinya jika ketidakjelasan ini berlanjut, sudah barang tentu bencana seperti banjir bandang beberapa waktu lalu di Gayo akan lebih sering menyambangi. "Seharusnya ada pengaturan bencana, konservasi, dan tata ruangnya dalam RTRW, dengan disinkronkan dengan keadaan faktual," ujarnya lagi.

Sementara, Muhammad Teguh Surya, dari Forest Political Campaigner Greenpeace mengatakan tidak menemukan nomenklatur KEL dalam peraturan tersebut. Penamaan yang hilang disinyalir akan menjadikan KEL tidak lagi menjadi kawasan spesial dari kawasan lainnya. "Kami yakini kwasan yang jadi sabuk hijau sudah terancam, lihat sudah  ada banjir, izin tambang sudah banyak yang antri di Aceh. Dikhawatirkan 700 ribu hektar luasan KEL  akan habis."

Masyarakat juga tidak mengetahui arah pembangunan 15 tahun ke depan terhadap kawasan tersebut. Apakah akan mengusik pemukiman yang ada, sehingga menyebabkan konflik adat dan pemerintah. Ia justru menduga ada praktek mencurigakan dalam penerbitan peraturan yang sudah jelas keganjilannya tersebut. Sehingga tanpa diminta, sudah seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak menyelidiki,  karena efek yang diberikan akan berdampak panjang dan luas.

"Harusnya qanun itu tidak direkonstrusi. Pemerintah Aceh bisa kok dapat pemasukan kalau KEL dibetulkan. Ini peraturan yang salah," kata Teguh. Teguh mencontohkan Bupati Aceh Tamia yang berani mengambil langkah dan melawan pemerintah daerah dengan merestorasi kawasan KEL di fungsi lindung. Menurutnya KEL harus diselamatkan. Namun ia menyadari memang perbaikan  ini akan sulit, karena terdapat deal bisnis-politik yang tidak diketahui publik secara luas.

BACA JUGA: