JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya melibatkan kembali Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke ranah sipil sepertinya belum surut. Yang terbaru adalah wacana melibatkan TNI dalam mengatasi masalah konflik intoleransi terkait Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) yang belakangan kembali memanas. Wacana itu diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI TB Hasanuddin yang notabene adalah pensiunan TNI berpangkat mayor jenderal.

Lewat siaran persnya yang diterima gresnews.com, Senin (8/2), TB Hasanuddin menilai, dalam penanganan konflik terkait intoleransi SARA, pemerintah harus segera merevisi PP Nomor 2 Tahun 2014, khususnya Pasal 40 Ayat (1). Pasal tersebut berbunyi: "Pelaksanaan bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dilaksanakan setelah penetapan status konflik oleh Kepala Daerah".

"Ayat ini harus diubah, karena tidak efektif. Nyatanya pemerintah daerah kebanyakan tidak mampu mencegah konflik. Seharusnya beri kesempatan TNI masuk sebelum konflik, untuk menggalang kelompok yang akan berkonflik," tegas TB Hasanuddin.

Dia menilai, konflik yang terjadi di Timur Tengah, terutama  di Suriah akhir-akhir ini juga sangat berpengaruh terhadap peta konflik di Indonesia. "Teroris misalnya yang terjadi di Indonesia, diprediksi ada hubungannya dengan ISIS," tutur mantan Kepala Staf Garnisun Wilayah DKI Jakarta ini.

TB Hasanuddin menambahkan, pertentangan aliran agama di Timur Tengah, seperti di Irak, Saudi Arabia, atau di Suriah mau tidak mau, suka tidak suka, sangat berpengaruh terhadap gerakan membesarnya intoleransi di Indonesia atau katakanlah intoleransi di Indonesia meningkat akibat pengaruh konflik aliran di Timur Tengah .

Hal ini, tegas TB Hasanuddin, tidak bisa dibiarkan, dan berdasarkan data intelijen, kemungkinan konflik itu berpotensi sangat tinggi bila negara tidak serius hadir menanganinya. "Intoleransi itu akan terus berkembang bila negara abai dan tak hadir disana," katanya.

Dalam konteks kekerasan yang terjadi di daerah, pejabat di daerah-pun, menurut TB Hasanuddin, cenderung diam dan lebih suka mengambil jalan pintas "mengevakuasi" bukan mencari solusi terbaik, mereka mungkin takut karena kepentingan politiknya terganggu saat pilkada nanti. Hal ini misalnya terjadi dalam kasus kekerasan yang dialami eks anggota Gerakan Fajar Nusantara di Kalimantan Barat.

Polisi, kata dia, dalam masalah konflik SARA, khususnya terkait masalah agama, juga seperti ragu bertindak. "Polri harus kita akui sangat sigap menghadapi teroris. Dan kita apresiasi untuk itu. Tapi entah mengapa jadi terkesan lambat bahkan abai terhadap konflik intoleransi," sesal mantan Sekretaris Militer ini.

Karena itulah, kata TB Hasanuddin pelibatan TNI mengatasi konflik SARA, khususnya konflik masalah agama ini, sangat mendesak. Keterlibatan TNI dalam mengatasi konflik, menurut TB Hasanuddin, sudah berlandaskan aturan perundang undangan. Dalam pasal 7 UU No 34 tahun 2004 pun sudah jelas tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah negara dan melindungi segenap bangsa dari ancaman dan gangguan.

"TNI punya kemampuan yang handal dalam bidang teritorial, aparat Babinsa adalah mata dan telinga di desa desa. TNI harus turun dalam upaya mencegah konflik. Dari pada TNI diperintahkan masuk kepasar untuk mengecek harga bawang, minyak dan ayam potong tanpa dasar hukum yang jelas," pungkas TB Hasanuddin.

Oleh karena itu, TB Hasanuddin mengingatkan, pemerintah tak boleh ragu ragu lagi menggunakan kekuatan TNI. "Yang penting terukur, karena kita sudah masuk dalam zona kritis intoleransi yang ujung-ujungnya dapat mengancam keutuhan NKRI," katanya.

Hasanuddin memang menilai, kekerasan bernuansa SARA di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan pengamatan praktis, kata dia, perkembangan peta konflik di Indonesia, dan membaca hasil penelitian PUSAD (Pusat Studi Agama dan Demokrasi) Paramadina, insiden kekerasan di Indonesia sejak 1990 hingga 2008 tercatat sebanyak 274 kasus.

Urutan pertama, masyarakat sebagai pelaku kekerasan agama (47,8%), sementara pelaku kekerasan dari kelompok agama menempati urutan kedua (10,6%), sisanya berupa kasus-kasus lain.
"Mencermati hasil pengamatan dan penelitian tersebut di atas, ternyata sejak 2009 sampai sekarang kasus kekerasan atas nama agama bukan menurun, tapi semakin meningkat," papar TB Hasanuddin.

TB Hasanuddin mencontohkan, insiden di Cikeusik, Banten pada 6 Februari 2011, kemudian Konflik Tolikara di Papua, Konflik Singkil di Aceh, insiden evakuasi pengikut Gafatar di Mempawah Kalbar, dan kemarin insiden di Bangka terhadap jamaah Ahmadiah.

Selain melibatkan TNI, Hasanuddin juga memberikan beberapa saran terkait untuk mengatasi masalah ini. Pemerintah, kata Hasanuddin sudah saatnya menggalang dan mobilisasi seluruh kekuatan, pemuka agama dan tokoh masyarakat anti kekerasan. Kedua, menumbuhkembangkan pendidikan toleransi di setiap lembaga pendidikan formal maupun nonformal di seluruh Indonesia sejak usia dini. Perbedaan suku, agama, adat , aliran dan tradisi adalah kenyataan yang tak dapat dihindari, tapi harus menjadi sumber kekuatan untuk Indonesia, bukan sebaliknya menjadi sumber disintregasi

"Ketiga, dalam menangani konflik, cari  solusi melalui musyawarah mufakat dan saling pengertian melalui dialog, akan lebih terhormat dari pada menggunakan cara cara kekerasan. Tindakan mengevakuasi, mengurung atau mengasingkan anak bangsa bukan sebuah solusi terbaik," kata TB Hasanuddin. Keempat, aparat kepolisian harus tegas menegakkan hukum, jangan pilih bulu atau segan terhadap pelaku kekerasan apapun alasannya

MAKIN KENCANG - Belakangan ini, TNI memang seperti hendak diseret dalam arus pusaran urusan-urusan sipil. Pemerintah misalnya lewat penandatanganan memorandum kesepahaman antara Kementerian Pertanian dengan TNI AD untuk kerjasama penyuluhan pada 7 Januari 2015 silam. Lewat MoU itu, para bintara pembina desa dikerahkan membantu para petani di desa untuk membangun dan meningkatkan kualitas hasil pertanian.

Sekitar 50.000 personel Babinsa di Indonesia digerakkan membantu kelompok tani. Pasca-penandatanganan MoU, Panglima Kodam di seluruh Indonesia akan melanjutkannya dengan kesepakatan bersama Kepala Dinas Pertanian di tingkat provinsi. Pangdam juga menggelar pendidikan dan pelatihan pertanian bagi para Babinsanya. Kemudian, para Babinsa berbaur dengan kelompok tani untuk pendampingan aktivitas pertanian.

Pengerahan babinsa menjadi penyuluh pertanian ini dikritik keras Komisi IV DPR. DPR menilai, selain tak berkompeten menjadi penyuluh pertanian, pengerahan Babinsa sebagai penyuluh pertanian juga menyalahi aturan. Peraturan Kepala Staf TNI AD Nomor 19/IV/2008 tertanggal 8 April 2008, seorang Babinsa wajib melaksanakan pembinaan teritorial sesuai petunjuk atasannya, yaitu komandan Komando Rayon Militer (Koramil).

Tugas pokok babinsa adalah mengumpulkan dan memelihara data aspek geografi, demografi, hingga sosial, dan potensi nasional di wilayah kerjanya. Data yang dikumpulkan meliputi banyak aspek antara lain sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sarana-prasarana, dan infrastruktur di wilayah binaannya.

Tak lama setelah itu muncul wacana memasukkan unsur TNI dalam jajaran pimpinan KPK. Wacana itu sempat menguat ketika mantan Komandan Pusat Polisi Militer Mayjen (Purn) Hendardji Supanji menjadi salah satu calon pimpinan KPK. Wacana ini juga ditentang lantaran rawan menimbulkan konflik khususnya antara TNI-Polri karena TNI dinilai mengintervensi kewenangan Polri dalam menegakkan hukum di kalangan sipil.

Toh, wacana itu tak pernah surut. Belakangan, Presiden Joko Widodo sendiri malah memberikan arahan khusus ke jajaran perwira TNI-Polri untuk mengawal program pemerintah, terutama mengawal proses pembebasan lahan hingga memberantas praktik pungutan liar (pungli).

"Berkaitan dengan program-program pemerintah. Ini agar saya perintahkan di-back up total dari TNI-Polri, contoh yang bekaitan dengan pembebasan lahan ada back up di situ, sehingga cepat pembebasan lahannya, sehingga program itu bisa cepat dijalankan," kata Jokowi usai memberikan arahan di Rapim Polri-TNI di Auditorium PTIK, Jl Tirtayasa, Jaksel, Jumat (29/1) silam.

Presiden juga memerintahkan agar TNI dan Polri memberantas praktik pungli. Sebab praktik pungli inilah yang menyebabkan kegiatan ekonomi menjadi berbiaya tinggi. "Yang berkaitan dengan pungli, juga selesaikan karena menyangkut ekonomi berbiaya tinggi. Yang berkaitan dengan dwelling time, juga ikut masuk ke sana Polri. Sehingga itu juga bisa kita dapatkan dwelling time yang semakin efisien, kalau dulu di atas enam, sekarang sudah 4,7 nantinya bisa tiga koma ini yang kita harapkan," jelasnya.

Selain itu, inflasi harga pangan juga menjadi perhatian tersendiri. Polri harus ikut aktif menelusuri adanya praktik kartel yang menyebabkan adanya permainan harga bahan pangan.

"Tadi juga masalah yang berkaitan dengan inflasi berarti berkaitan dengan harga-harga pangan. Saya perintahkan agar cek di lapangan, apakah ada bias apakah ada yang bermain-main. Saya berikan gambaran misalnya harga daging saya lihat di Malaysia, Singapur hanya Rp 50-60 ribu, kenapa di sini bisa bias seperti itu, karena harga sapi normal-normal saja. Artinya ada sesuatu," tegas presiden.

Permintaan kepada TNI untuk masuk terlalu jauh dalam urusan sipil seperti pembebasan lahan, urusan kartel pangan ini dinilai kebablasan. Direktur Eksekutif Imparsial yang juga dosen Universitas Paramadina, Al Araf mengatakan, sebagai alat pertahanan negara, seharusnya militer tidak ditarik-tarik ke wilayah sipil dan wilayah politik. Berdasarkan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, kata dia, tugas utama militer adalah untuk perang dan alat pertahanan negara.

Sementara untuk penugasan militer selain perang, hanya dapat dilakukan melalui keputusan politik penyelenggara negara. Ranah keamanan dalam negeri, kata Al Araf, tetaplah raahkepolisian dan bukan urusan militer. Membiarkan militer masuk ke dalam urusan keamanan sipil akan mengancam demokrasi. "Harus ada evaluasi terhadap proses yang tidak benar yang ramai muncul belakangan ini," ujar Al Araf beberapa waktu lalu.

Dia mengingatkan, jika militer sering dilibatkan dalam sektor lain selain sektor pertahanan, maka peluang militer untuk berpolitik akan semakin terbuka. "Militer dididik, dilatih, dan dibangun untuk perang. Jangan tarik-tarik militer dalam politik kekuasaan karena ini akan mengganggu profesionalismenya," tegasnya.

BERAKHIR DAMAI - Sementara itu, terkait masalah konfik SARA, khususnya intoleransi agama, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dalam rapat pimpinan Polri beberapa waktu lalu menegaskan, jajaran Polri akan akan menaruh perhatian pada ancaman intoleransi. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti berharap konflik intoleransi tersebut tak terjadi dan menimbulkan kekisruhan seperti yang terjadi di Timur Tengah.

"Ancaman berikutnya adalah intoleransi. Kita seringkali hanya bisa mencegah terjadi kekerasan saja, tapi akar masalah tidak terselesaikan. Hal ini menjadi tantangan ke depan, mudah-mudahan Indonesia tak terpengaruh dengan konflik-konflik seperti di Timur Tengah," ujar Kapolri usai Rapim di Gedung PTIK, Kebayoran Baru, Jaksel, Selasa (26/1).

Kapolri berharap, ke depannya masalah intoleransi dapat diselesaikan secara damai. Salah satunya dengan mengajak para pemuka agama memberikan pencerahan kepada masyarakat, agar permasalahan dapat tuntas tanpa menimbulkan konflik. "Itu persoalan yang cukup pelik. Kita harapkan ini bisa dinetralisir oleh tokoh-tokoh agama," tutup Haiti.

Rapim Polri 2016 ini lebih menekankan kepada penegakan hukum terkait terorisme dan narkoba. Penegakkan hukum untuk dua hal ini diharapkan untuk lebih ditingkatkan lagi, mengingat baru saja Indonesia diuji dengan dua kasus besar yang berhubungan dengan pemberantasan narkoba dan terorisme.

"Dalam menegakkan hukum kita masih menghadapi tantangan yang cukup besar. Yaitu ancaman terorisme dan pengedar narkoba. Kita manfaatkan momentum ini untuk bekerja lebih keras lagi dalam berantas narkoba dan teroris," tutupnya. (dtc)

BACA JUGA: