PRO KONTRA Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7/2012 dan regulasi revisinya di Permen ESDM Nomor 11/2012 terus bergulir. Regulasi itu dinilai membatasi pengusaha mineral mengekspor bijih (raw material atau ore) mineral akan mengurangi nilai tambah bagi pengusaha. Akibatnya, perusahaan tambang yang sebagian besar dimiliki pengusaha nasional akan kolaps dan terpaksa mem-PHK pekerja.

Fokus sengkarut di pasal 21 Permen Nomor 7/2012 yang menyatakan: Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, pemegang IUP Operasi Produksi dan IPR yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.

IUP Eksplorasi yang dimaksud adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan. Sementara IUP Operasi Produksi, izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahap kegiatan operasi produksi.

Temu Aktivis Lintas Generasi (Tali Geni) mensinyalir Permen ESDM berikut revisinya merupakan muara dari perseteruan industri Barat versus Timur. Dalam 10 tahun terakhir, produksi China, Jepang dan India telah menyerbu pasar dunia dengan barang yang jauh lebih murah dari produksi Barat. Namun industri Barat kesulitan membatasi arus barang tersebut karena tidak lagi dapat terapkan Bea Masuk, karena bertentangan dengan aturan perdagangan bebas yang diatur AFTA dan NAFTA.

"Industri Barat menempuh langkah melobi negara-negara penghasil mineral termasuk Indonesia, untuk mengurangi ekspor bahan baku mineralnya pada ketiga raksasa industri baru Asia tersebut. Di Indonesia, lobi Barat sangat sukses dengan keluarnya Permen 07/2012 dan Bea Ekspor 20% tetapi di Filipina dan Thailand, lobi Barat gagal," kata Koordinator Tali Geni, Jeppri F Silalahi melalui pernyataan tertulisnya, Minggu (1/7).

Bertujuan positif
Sinyalemen tersebut disanggah Anggota Komisi Energi DPR H Agus Sulistiyono, karena Permen ESDM Nomor 07 dan revisinya Nomor 11/2012 bertujuan positif, untuk menambah nilai tambah bagi produk pertambangan sebelum diekspor.

"Permen tersebut bertujuan positif untuk meningkatkan posisi tawar perusahaan tambang terhadap pasar ekspor," kata Agus Sulistiyono, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ketika dihubungi gresnews.com.

Agus menambahkan, pemerintah dan pelaku usaha di sektor pertambangan mesti duduk bersama guna menyamakan persepsi, termasuk membahas keluhan dan protes atas waktu penerapan larangan ekspor mineral mentah.

Politisi Partai Golkar, Satya W Yudha berpendapat senada. Permen ESDM ini justru menyelamatkan negara dari para pengusaha tambang nakal dan tentunya meminimalisir kerugian negara.

"Bagaimana bisa dibilang melanggar konstitusi? Pembahasan bersama penting dilakukan agar amanat UU Minerba bisa dijalankan dengan baik. Keberatan dari pihak-pihak terkait perlu direspons positif," kata Satya W Yudha dari Komisi VII DPR yang menangani energi dan mineral.

Agus Sulistiyono mengingatkan perlunya solusi soal penambahan kapasitas pengolahan atau smelter yang kini masih terbatas di dalam negeri. "Smelter-smelter baru harus dibangun secepatnya. Tidak bisa menunggu lagi. Kita tidak ingin memanjakan para pengusaha tambang, tapi harus mendorong mereka maju dan mandiri."

PHK ribuan pekerja
Sebelumnya, Solidaritas Para Pekerja Tambang Nasional (Spartan) melansir adanya PEMUTUSAN Hubungan Kerja (PHK) terus dialami oleh para pekerja tambang di enam provinsi, meliputi, Aceh, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Saat ini tercatat sebanyak 499 perusahaan tambang telah melakukan PHK terhadap 235.823 orang karyawan.

"Hal ini belum seberapa, karena kami juga terus menghimpun data dari sekitar 5.500 perusahaan tambang di berbagai provinsi lainnya. Diperkirakan akan ada sekitar total tiga juta pekerja lagi yang akan dan sudah di-PHK akibat tiga peraturan tersebut," kata Juanforti Silalahi, Koordinator Spartan, melalui pernyataan tertulisnya kepada gresnews.com, Senin (25/6).

Juanforti menambahkan, berdasarkan data yang dihimpun, memperlihatkan bahwa banyak sektor yang mengalami kerugian berantai akibat kebijakan pemerintah tersebut, antara lain, kerugian investasi yang bernilai total mencapai Rp4,7 triliun.

"Ini baru sebagian yang terdata, dan kami juga telah memperkirakan setidaknya ada sekitar ratusan triliun kerugian investasi yang akan dialami oleh ribuan perusahaan tambang dalam negeri di seluruh Indonesia," ungkap Juanforti.

Tidak hanya itu, katanya lagi, dampak beruntun ini selain menimpa perusahaan tambang dan pekerja yang terkena PHK juga harus dialami oleh beberapa sektor usaha masyarakat lainnya.

Spartan, kata Juanforti, menghimpun setidaknya ada sekitar 30 ribu lebih kamar kos milik masyarakat yang tutup dan ada sekitar lebih dari 20 ribu warung makanan dan minuman yang usahanya harus terhenti akibat tidak adanya perputaran ekonomi di lokasi pertambangan.

Politisi PKB Agus Sulistiyono mengingatkan, PHK seharusnya tidak perlu terjadi. "Kalau pun sudah terjadi PHK, perusahaan harus merekrut karyawan yang di-PHK ketika perusahaan tambang mulai pulih,"

BACA JUGA: