JAKARTA, GRESNEWS.COM — Kisruh internal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mengemuka dalam sepekan terakhir dinilai Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda sebagai salah satu indikasi bahwa lembaga yang dibentuk untuk mengimbangi kekuatan partai politik di parlemen itu kian terdegradasi. Alih-alih dapat menunjukkan peranannya, citra DPD dari hari ke hari malah memburuk.

Dalam diskusi "DPD Kok Gitu Sih?" yang digelar di Warung Daun, Cikini, Sabtu (8/4), Hanta menerangkan, pengetahuan publik akan keberadaan DPD setidaknya ditengarai oleh 4 isu terkait lembaga tersebut. Isu pertama, orang ramai membicarakan DPD saat DPD minta kewenangan lebih. "Okelah itu semua kita setuju, kita perjuangkan," kata Hanta.

Namun, sambung Hanta, selepas isu itu diperbincangkan, hal berikutnya yang membuat DPD menjadi buah bibir masyarakat justru bertolak belakang dengan keinginan memiliki kewenangan lebih tersebut. DPD kembali dibicarakan publik karena kebermanfaatan lembaga tersebut menjadi pertanyaan besar banyak orang. "Orang bertanya tentang eksistensi, orang bertanya soal kinerja, orang tanya tentang prestasi DPD. Tidak ada," kata Hanta.

Hal demikian kemudian diperparah dengan fakta bahwa DPD—-yang sedianya digadang-gadang menjadi lembaga aspirasi daerah—-malah disusupi kepentingan partai politik alias dipolitisasi. Diketahui, 70 dari 132 anggota DPD merupakan kader parpol. Hal demikian yang membuat publik kian kecewa dengan DPD.

"Dan sekarang, isunya lebih parah lagi yakni perebutan kepemimpinan. Publik hanya mengetahui DPD karena masalah-masalahnya. Dan masalah itu semakin ke sini semakin buruk, terdegradasi. DPD tidak ada peningkatan (kualitas-red)," tegas Hanta.

Lantaran itulah Hanta menyarankan, agar DPD ke depannya lebih baik, paling tidak ada 3 aspek yang perlu dikuatkan oleh para senator di lembaga tersebut. Pertama, aspek legitimasi hukum. Kedua, aspek legitimasi politik. Terakhir, aspek legitimasi publik.

"Soal legitimasi hukum, baik kubu Oesman Sapta Odang (OSO) maupun kubu Kanjeng Ratu Hemas bersikeras bahwa masing-masing patuh hukum. Karena itulah dibutuhkan legitimasi politik, kekuasaan pimpinan harus didukung anggotanya. Kalau pemimpin rapat hanya memimpin 30 orang atau 40 orang, maka legitimasi politiknya dipertanyakan," kata Hanta.

Jika persoalan politik itu bisa segera diatasi, terakhir, Hanta menyarankan, agar DPD juga memperhatikan legitimasi publik. "Kinerjanya dulu ditingkatkan, eksistensinya juga. Kisruh-kisruh internal diselesaikan, baru setelah itu minta kewenangan dikuatkan. Jangan terbalik," katanya.

WACANA DIBUBARKAN — Peneliti Forum Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyatakan, nihilnya prestasi DPD dan kisruh internal yang paling tidak tampak dalam waktu seminggu belakangan, lebih dari cukup dijadikan alasan untuk menyatakan lembaga tersebut tidak perlu dipertahankan. "Dengan kata lain, cukup dibubarkan," kata Lucius, Sabtu (8/4).

Namun demikian, lantaran membubarkan DPD hanya bisa dilakukan lewat jalur mengubah amandemen UUD 45, Lucius menyebut hal yang paling mungkin dilakukan saat ini tak lain adalah mengupayakan DPD pada fungsi dan peranannya semula. DPD harus fokus lagi menyoal masalah-masalah daerah, bukan masalah politik. Lantaran itulah Lucius menegaskan, saat ini, cukup orang-orang yang ada di DPD saja yang dibubarkan.

Sedang DPD sebagai sebuah lembaga justru harus diperbaiki dan diselamatkan. "Ini yang harus kita upayakan ke depan, bagaimana mendesain DPD agar lebih punya power. Sebagai perwakilan NKRI, DPD harus bicara lagi dari daerah ke daerah," kata Lucius, Sabtu (8/4).

Sementara itu, Hanta menyebut, keinginan membubarkan DPD merupakan bentuk kekecewaan publik. Hanta menilai hal itu wajar terjadi karena semangat awal dibentuknya DPD memang murni untuk mengimbangi DPR—bukan larut dalam kepentingan DPR. Menurutnya, dalam sistem dua kamar (bikameral) tugas parlemen adalah saling menguatkan.

"Semangat DPD adalah memperbaiki sistem ketatanegaraan kita, mengimbangi DPR biar tidak terlalu dominan, tidak dimonopoli. Parlemen berupaya mengimbangi presiden. Agar hal itu terwujud, internal parlemen—dalam hal ini DPD—juga harus diperkuat," kata Hanta.

Lepas dari wacana pembubaran dan perbaikan DPD, disinggung soal keutungan apa yang didapat pimpinan DPD—sehingga gontok-gontokan antara kubu OSO dengan kubu Kanjeng Ratu Hemas malah menimbulkan kesan miris di mata publik—Lucius menerangkan, satu-satunya posisi yang memiliki gema di DPD tak lain adalah posisi pimpinan.

"Jabatan pimpinan itu satu-satunya yang punya gema, punya tenaga, bahkan ada protokoler dan fasilitas lainnya. Itu yang kemudian oleh anggota DPD dianggap sebagai posisi yang bisa membuat mereka merasa benar-benar ada dan berkuasa. Selama jadi anggota, mereka kan sama saja dengan rakyat biasa. Bedanya, uang mereka lebih banyak," kata Lucius kepada gresnews.com.

Namun demikian, Lucius menegaskan, pandangan di atas biasanya timbul dilatari nafsu personal anggota DPD—ambisi pribadi. Sedang yang dipertontonkan saat ini adalah ambisi bersama partai politik. Menurut Lucius, dageln perebutan kekuasaan yang dipertontonkan DPD saat ini merupakan sinyalemen bahwa pimpinan DPD sudah menyasar Pemilu 2019—alih-alih fokus menyuarakan aspirasi daerah.

"Aset-aset suara yang dimiliki pimpinan DPD itu sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai modal Pemilu 2019. Jadi saya kira ini yang paling mendorong OSO dan kawan-kawan untuk berusaha mengambilalih DPD. Adanya aset suara di daerah membuat mereka tidak perlu bekerja keras di 2019, begitu teorinya. Jadi, ini nafsu besar untuk 2019," pungkasnya.

DIPERKERUH MA — Diketahui, pada Selasa (4/4) lalu DPD melantik ketua baru setelah Osman Sapta Odang terpilih secara aklamasi. Namun hal itu ditentang oleh Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Farouk Muhammad yang menganggap kepemimpinan OSO tidak sah lantaran melanggar putusan Mahkamah Agung (MA). Itulah yang membuat konflik internal DPD masih berlangsung hingga saat ini.

Menanggapi itu, Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Khairul Fahmi menyebut kisruh DPD jadi kian keruh lantaran peran MA juga. Menurutnya, MA seharusnya bersikap konsisten terhadap putusannya sendiri. Hal itu bisa dilakukan paling tidak dengan mengambil langkah bijak menawarkan penundaan atas permintaan DPD untuk menuntun sumpah jabatan OSO dkk.

"Walaupun OSO sudah terpilih katakanlah lewat mekanisme aklamasi di DPD, tapi karena masih ada masalah internal maka semestinya MA bilang tidak bisa memandu pengambilan sumpah. Selesaikan dulu masalah di DPD, baru oke," kata Khairul kepada gresnews.com, Sabtu (8/4).

Disinggung bahwa MA berdalih datang ke DPD demi menjalankan amanat UU MD3, Khairul tidak sependapat. "Salah itu. Dia tahu proses ini melanggar putusannya sendiri tapi dia tetap saja hadir. Menjalankan amanat UU MD3 saya kira hanya alasan untuk lepas dari tuntutan orang," pungkasnya.

Sebelumnya, Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi menjelaskan, MA tidak melanggar putusannya sendiri sebab dasar pelantikan OSO dan pimpinan lainnya adalah Tatib No 3 tahun 2017 sedang yang dibatalkan MA adalah tatib No 1 Tahun 2017. Suhadi juga menyebut yang dilakukan MA adalah menjalankan amanat UU MD3. Diketahui, di dalam UU MD3 diatur bahwa pembacaan sumpah jabatan pimpinan DPD harus dituntun pimpinan MA.

"Justru jika kami tidak menuntun sumpah, kami melanggar UU. Kisruh DPD adalah urusan politik internal di sana. Kedatangan MA adalah urusan lain, MA menjalankan perintah UU," kata Suhadi, Kamis (6/4). (gresnews.com/zulkifli songyanan)

BACA JUGA: