JAKARTA, GRESNEWS.COM - Terpilihnya Oesman Sapta Odang sebagai ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2017-2019 menggantikan Mohammad Saleh masih dipersoalkan. Beberapa anggota DPD masih mempertanyakan langkah MA yang tetap mengambil sumpah dalam pelantikan Oesman Sapta Odang. Padahal, terpilihnya OSO--demikian Oesman biasa disapa-- kontroversial karena justru melanggar putusan MA yang membatalkan Tata Tertib DPD tahun 2016 dan mengembalikan masa kepemimpinan DPD selama 5 tahun.

Sementara, pemilihan OSO dilakukan atas dasar Tatib Nomor 1 tahun 2017 yang keabsahannya belum jelas usai dibatalkan MA. MA sebelumnya juga membatalkan Tatib DPD tahun 2016. Kedua Tatib itu mengatur pimpinan DPD diganti tiap 2, 5 tahun.

Anggota DPD Provinsi Maluku Anna Latucosina menganggap MA melanggar UUD 1945 karena ikut mengesahkan pembatasa masa jabatan pimpinan DPD menjadi 2,5 tahun. Oleh karena itu, dia akan mempertanyakan terkait landasan apa yang menjadi dasar hukum bagi MA melantik pimpinan DPD yang baru.

"Untuk sementara kita akan mempertanyakan ke Mahkamah Agung apa dasar hukumnya melantik pimpinan yang baru," ujar Anna melalui sambungan teleponnya kepada gresnews.com, Rabu (5/3).

Anna menuturkan, dasar hukum yang dipakai MA melantik pimpinan DPD yang dipilih dengan mengacu kepada Tatib Nomor 3 tahun 2017 yang disahkan mendadak untuk menggantikan Tatib Nomor 1 2017 yang dibatalkan MA. Terkait Tatib itu, Anna mempertanyakan bagaimana Tatib yang dipakai itu tidak ditelisik oleh MA untuk menjadi dasar hukum melantik Oesman Sapta. "Tatib Nomor 3 2017 yang baru dibuat oleh itu tidak sesuai prosedur. Karena hanya dibuat selama 2 jam dengan pimpinan sidang sementara," ujar Anna.

Untuk diketahui, pimpinan sidang sementara dalam sidang paripurna juga mengesahkan Tatib DPD Nomor 3 tahun 2017. Pengesahan itu dibuat untuk mengakomodir putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/Hum 2017 yang membatalkan masa jabatan Ketua DPD 2,5 tahun yang diatur baik dalam Tatib Nomor 1 tahun 2017 dan Tatib Nomor 1 tahun 2016.

Dalam Tatib Nomor 3 tahun 2017 yang menjadi dasar pelantikan pimpinan DPD RI. Dengan pemberlakuan Tatib baru maka Tatib 1 tahun 2017 dinyatakan tidak berlaku. Dalam Tatib itu mengalami beberapa perubahan diantaranya ada penambahan pasal 47 Ayat (3) soal masa jabatan ketua DPD sama dengan masa jabatan keanggotaan DPD.

Terkait itu, Anna menilai masa jabatan ketua DPD harus mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yakni masa jabatan sama seperti DPR, DPRD. "Dengan begitu, masa jabatan tidak boleh menyalahi aturan yang lebih tinggi (undang-undang)," ujarnya.

TAK ADA MASALAH - Melihat perdebatan itu, pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai, pelantikan DPD RI atas dasar Tatib Nomor 3 tahun 2017 oleh Mahkamah Agung tak ada unsur pelanggaran hukum. Dia menganggap MA tak dapat dipersoalkan meskipun ada putusan MA sebelumnya yang membatalkan Tatib 2017 dan 2016.

Soal pelantikan yang dilakukan Wakil Ketua MA Suwardi, menurut dia juga tidak masalah. "Tidak ada masalah. Karena ketua MA itu nama jabatan bukan nama orang yang dipangku oleh Pak Hatta Ali tapi dia sedang umroh oleh karena itu tidak ada asal Pak Hatta Ali menugaskan orang yang bertindak atas nama MA," kata Margarito Kamis di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (5/3).

Margarito menuturkan, putusan MA nomor 20 P/Hum 2017 sama sekali tidak membatalkan Tatib DPD yang dijadikan dasar untuk pelantikan DPD. Dia melihat putusan tersebut salah. Justru yang dibatalkan ada Peraturan DPD Nomor 1 tahun 2016 yang bukan mengatur soal Tatib DPD semata.

Dengan begitu, tidak bisa mengatakan bahwa Tatib 2017 telah dibatalkan karena pada putusan sendiri tidak pernah membatalkan Tatib 2017. Atas dasar itu pelantikan ketua DPD tidak cacat dan tidak ada pelanggaran hukum. "Yang dibatalkan itu Peraturan DPD Nomor 1 tahun 2016 itu bukan tentang Tatib DPD. Jadi apa yang dibatalkan?," tukas Margarito.

Meskipun tak menemukan pelanggaran hukum dalam pelantikan pimpinan DPD, Margarito malah melihat posisi Oesman Sapta Odang yang merangkap jabatan sebagai wakil ketua MPR menjadi masalah dalam hukum tata negara. Orang yang sama, tentu tidak bisa menjabat pada dua lembaga negara yakni MPR dan DPD yang fungsinya berbeda. Menurut Margarito, posisi rangkap jabatannya akan bermasalah dalam memutuskan kebijakan.

"Secara tata negara rangkap jabatan itu bermasalah. Ini MPR organ tersendiri, DPD organ tersendiri, DPR organ tersendiri. Ketiganya memiliki fungsi tersendiri karena itu tidak bisa dilakukan oleh orang yang sama," ujarnya.

Oleh karena itu, dia menyarankan Oesma Sapta Odang segera mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pimpinan MPR. Jika tidak, maka pimpinan MPR lainnya harus mengambil langkah agar tidak ada pimpinan yang merangkap jabatan sebagai ketua DPD.

PERINTAH UU - Sementara itu, Kabiro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Ridwan Mansyur menyatakan pengambilan sumpah jabatan Ketua DPD adalah perintah undang-undang. Pihaknya juga menampik ikut campur urusan internal DPD. "MA berkewajiban melantik karena itu perintah undang-undang. Justru kalau tidak dilantik, kan nantinya ada masalah," ujar Ridwan saat dihubungi wartawan, Rabu (5/4).

Ridwan mengatakan pelantikan dilakukan oleh Wakil Ketua MA Suwardi karena Ketua MA Hatta Ali sedang menunaikan umrah, sehingga Wakil Ketua MA menjabat sebagai pelaksana tugas. "Wakil ketua itu juga kan sekaligus Plt Ketua, jadi tidak ada masalah," paparnya.

Ridwan mengatakan pembatalan tatib DPD itu merupakan hal yang berbeda. Sebab, pelantikan Ketua DPD merupakan urusan internal DPD. "DPD tentu sudah memiliki aturan sendiri untuk memilih pemimpin dan MA tinggal melantik. Ini memang persoalan politik," pungkasnya.

Pernyataan ini sepertinya bertentangan dengan pernyataan Ketua Muda MA bidang Tata Usaha Negara (TUN) Supandi. Dia mengingatkan bahwa Mahkamah Agung telah membatalkan Peraturan DPD No 1 tahun 2017 tentang tata tertib DPD. Ketua majelis judicial review yang membatalkan Peraturan DPD Nomor 1/2017 itu mengimbau agar DPD mematuhi putusan tersebut.

"Saya dan Pak Ketua MA sedang umroh. Kami baru membatalkan peraturan DPD No 1 tahun 2017 tentang tata tertib DPD karena bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi hakikatnya (UU)," kata Supandi melalui pesan singkat kepada wartawan, Rabu (5/4). (dtc)

 

BACA JUGA: