JAKARTA, GRESNEWS.COM - Persiapan Partai Golkar dalam menghadapi masa kampanye pemilihan umum legislatif yang dimulai besok, terganggu oleh manuver yang dilakukan oleh mantan ketua umumnya, Akbar Tandjung, yang kini duduk sebagai ketua dewan penasihat. Akbar mendadak menyatakan diri siap untuk menjadi calon wakil presiden jika dilamar oleh partai lain.

Partai yang cocok dengan dirinya, kata Akbar, adalah partai berplatform nasionalis. "Kalau ditanya siap, ya saya nyatakan siap menjadi cawapres. Bukan capres, karena Golkar sudah punya capres yaitu Aburizal Bakrie," kata Akbar, Rabu (12/3), di kediamannya Jalan Purnawarman No 18 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Lantas capres dari partai mana yang diincar Akbar untuk dijadikan pasangannya? Dalam pertemuan itu ada sinyal Akbar tengah "menggoda" PDIP yang kini sudah dipastikan akan mencalonkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai presiden.

Dalam acara blusukan ke Marunda siang ini, kabarnya Jokowi sudah mendapatkan restu dari Megawati. "Saya telah mendapatkan mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk jadi capres. Dengan mengucap bismillah, saya siap melaksanakan," kata Jokowi di Rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara, Jumat (14/3).

Akbar bilang, PDIP adalah partai nasionalis yang platform-nya sama dengan Golkar. Kesiapan Akbar mencalonkan diri sebagai capres sendiri bukannya tanpa modal politik. Dari hasil survei yang dilakukan Freedom Foundation, Akbar ternyata masih menjadi figur yang lumayan "laku" untuk menjadi cawapres dengan dukungan suara 6 persen. Melihat latar belakang politiknya yang mencorong sebagai mantan Menpora, Mensesneg, dan Ketua DPR-RI, angka dukungan sebesar itu memang tak mengherankan.

Boleh jadi fakta ini yang membuat Akbar mendadak bergairah lagi untuk meluncurkan manuver baru. Apalagi, menurut Akbar, di Golkar tak ada aturan atau mekanisme yang mengatur detail soal pencalonan dirinya sebagai cawapres. Karena itu kata dia, jika ada lamaran dipastikan akan dipikirkan untuk diterima. "Maka saya akan lapor ke partai Golkar. Itu etikanya. Namun tidak ada larangan dari partai," kata Akbar.
 
Hanya saja manuver baru Akbar menjelang kampanye pemilihan umum legislatif ini berpotensi bikin elit-elit partai yang lain pada "meriang". Maklum Akbar bukan tokoh sembarangan di Golkar. Pengikut Akbar diperkirakan masih sangat kuat sehingga jika Akbar "menyeberang" ke partai lain dengan posisi sebagai cawapres suara Golkar bisa pecah dan pencapresan Aburizal Bakrie bisa terancam berantakan.

Tak heran jika beberapa elite Golkar yang menjadi loyalis Ical mulai meradang dengan pernyataan Akbar itu. "Kita menyesalkan di tengah konsolidasi yang kita bangun dalam memenangkan pileg," ujar Wasekjen Golkar Tantowi Yahya, (14/3).

Padahal, menurut Tantowi, selama ini Akbar Tandjung selalu menegaskan kepada para kader Golkar agar fokus konsentrasi pada pemenangan pileg dan pilpres untuk Aburizal Bakrie. "Namun demikian Golkar tidak bisa menahan hak dan kehendak politik kadernya," terangnya.

"Silakan saja. Siapa pun yang ingin maju ke pilpres silakan saja namun Golkar hanya mengusung Pak Aburizal Bakrie. Jika ada parpol yang meminang kader Golkar tentu saja kita tidak bisa menahan, bahkan bangga kadernya diminati," tambahnya.

Namun ada peraturan dalam Golkar yang mewajibkan kadernya untuk meninggalkan jabatan struktural dalam kepartaian jika maju dari partai lain, dan itu berlaku juga bagi Akbar Tandjung yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina. "Kalau di DPR misalnya akan harus mundur atau PAW," kata Tantowi.

Memang bukan sekali ini saja Akbar bikin manuver yang membuat internal partai berlambang beringin itu panas-dingin. Pada November tahun lalu misalnya, Akbar mendadak menyerukan agar pencapresan Ical dievaluasi. Alasannya elektabilitas ICal dan Partai Golkar tidak mengalami kemajuan alias mandek.

Sampai Februari lalu, elektabilitas Ical memang masih jeblok di kisaran 6 persen. Kalah jauh dengan Jokowi yang mencapai 31 persen dan Prabowo Subianto (14 persen). Sementara Partai Golkar sendiri hanya ada di kisaran 16-19%, kalah dari PDIP yang mencapai 30-an persen.

Macetnya elektabilitas partai berlambang pohon beringin ini dinilai karena tak solidnya kerja politik kader-kadernya sebagai akibat adanya praktik nepotisme dalam menjalankan roda organisasi. "Elektabilitas Golkar hanya berkutat pada angka 16-19% saja jika merujuk pada hasil survei, termasuk lembaga lain. Sementara elektabilitas PDIP cenderung mengalami kenaikan secara terus menerus menjelang Pemilu 2014," kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Independen Nusantara (LSIN) Yasin Mohammad, pada Februari lalu.

Yasin mengatakan, berdasarkan hasil analisis lembaga surveinya, macetnya elektabilitas Golkar disebabkan oleh tidak maksimalnya kerja politik kader-kader Golkar di tingkat pusat dan daerah. Sehingga mesin politik Golkar berjalan secara tidak maksimal sebagaimana mestinya.

"Mesin politik Golkar hari ini mestinya sudah harus masuk gigi 4 dengan kecepatan mendekati 100 km/jam, tapi faktanya Golkar hari ini masih di gigi 1 dengan kecepatan 20 km/jam. Sehingga laju Golkar tertinggal jauh oleh rival-rival politiknya," ujar Yasin.

Solusinya, tambah Yasin, Golkar harus segera melakukan perbaikan yang menyeluruh dengan kembali menjalankan sistem keorganisasian yang telah digariskan, kaderisasi harus dievaluasi total dan kembali menjalankan sistem kaderisasi Golkar yang baik, benar dan terukur. Sehingga sistem politik Golkar kembali berjalan dan mampu meraih kemenangan pada Pemilu 2014.

"Tidak mudah memang menjalankan hal tersebut, maka dibutuhkan terobosan yang luar biasa dari internal Golkar tingkat pusat. Golkar hari ini punya kebutuhan yang sangat mendesak terhadap sosok kader yang bertangan dingin, yang mampu meredam isu-isu korupsi kader-kadernya, dan mampu memberikan pendidikan politik," pungkasnya.

Boleh jadi Akbar melihat kinerja partai yang tak jalan seperti ini dan mulai bermanuver menganggu pencapresan Ical. Hanya saja manuver itu bisa jadi pedang bermata dua. Di satu sisi jika manuver itu berhasil "membangunkan" mesin politik Golkar dan memacunya bekerja lebih baik, hasilnya tentu positif buat Golkar. Di sisi lain jika manuver Akbar malah memecah belah faksi-faksi di Golkar, eksistensi partai warisan Orde Baru itu justru malah terancam.

Partai Golkar sendiri bukan tak berusaha untuk "menjinakkan" Akbar. Beberapa waktu lalu, Golkar pernah mewacanakan akan memasangkan Akbar sebagai cawapres bagi Ical. Wacana itu dilontarkan oleh Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono. "Kemungkinan setelah pemilu akan ada evaluasi lagi. Sudah muncul nama-nama. Ada Akbar Tanjung sebagai cawapres," kata Agung beberapa waktu lalu.

Hanya saja Akbar sepertinya tak memakan umpan yang dilemparkan Agung itu. Dia malah menampik tawaran itu dengan mengatakan Partai Golkar masih fokus pada pemenangan pemilu legislatif. April mendatang. Akbar juga bilang sebaiknya cawapres Golkar berasal dari luar. "Sebaiknya berasal dari luar dan memiliki kesamaan atau kedekatan platform dengan Partai Golkar. Hal itu secara politik akan menghasilkan dukungan yang lebih baik," ujar Akbar.

Kini Partai Golkar hanya bisa berharap-harap cemas tak ada partai lain yang mau memakan umpan yang dilemparkan Akbar. Jika saja ada partai lain yang tiba-tiba meminang Akbar, bisa jadi persiapan Golkar akan berantakan dan soliditas internal partai akan terganggu.

Kalau sudah begini sejarah akan berulang. Dulu Yusuf Kalla yang menyeberang berpasangan dengan SBY dari Demokrat malah berhasil mempecundangi capres dari Golkar, pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid. Menarik untuk melihat apakah PDIP tertarik menggaet Akbar Tandjung untuk dipasangkan dengan Jokowi.

Jika saja duet ini terjadi maka dipastikan faksi Akbar di Golkar akan mendukung sepenuhnya duet ini. Lantas Golkar? Bisa jadi cuma bisa mengurut dada melihat calon yang diusungnya terancam dipecundangi sekali lagi. (dtc)

BACA JUGA: