JAKARTA, GRESNEWS.COM - Drama politik bertema "perpecahan" tengah dilakoni Partai Golkar akibat ketetapan yang diambil ketua umum partai beringin itu Aburizal Bakrie yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta yang diusung koalisi di bawah pimpinan Partai Gerindra. Sebagian elit Golkar pun terutama kalangan muda kemudian menyatakan "perlawanannya" dan tetap mendukung Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Tokoh sepuh Golkar Suhardiman bahkan menganggap pilihan Ical mendukung Prabowo sebagai langkah yang salah. "ARB (Ical) salah langkah. Sudah sejak lama sebenarnya dia salah langkah dengan mencapreskan diri sebagai presiden," ujar Suhardiman, Selasa malam (20/5).

Politikus Golkar yang sudah malang melintang di panggung politik sejak zaman Orde Lama dan dikenal luas sebagai futuris politik Indonesia ini kembali mengingatkan secara historis dan sosilogis orang yang bisa menjadi presiden adalah yang berasal dari Jawa. "Mayoritas pemilih juga orang Jawa dan ada di Jawa," kata Suhardiman yang pernah memegang sederet jabatan penting di pemerintahan dan dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra serta lebih dari 17 bintang penghargaan lainnya ini.

Karena itu, penyandang gelar profesor doktor yang juga lulusan Akademi Militer Yogjakarta 1948 ini tak menyalahkan bila ada sekelompok elite Golkar yang membelot dengan tidak mendukung pilihan Ical itu. "Tidak apa-apa kalau tidak mendukung Prabowo meskipun ARB sebagai ketua umum memilih Prabowo."

Lebih lanjut mantan Wakil Ketua DPA yang menyabet titel sarjana ekonominya di Universitas Indonesia pada 1962 ini mencermati Ical sebagai seorang yang pada waktu sekarang tidak ada perannya dan bukan merupakan decision maker dalam Golkar. "ARB tidak bisa menentukan masa depan meskipun ARB itu ketum Golkar. Dia sudah memilih Prabowo yang sebenarnya tidak mungkin menjadi presiden," tutur Suhardiman menekankan.

Sebenarnya tak ada yang aneh dari langkah kalangan muda Golkar yang membelot ke Jokowi-JK ini karena toh, JK juga sebenarnya masih kader Golkar juga. Tetapi sepertinya elit Golkar pendukung langkah Ical sendiri mengambil sikap "tak mau kalah" dalam soal ini. Mereka tetap mengancam kader yang mbalelo dengan berbagai sanksi.

Sekjen Golkar Idrus Marham mengingatkan soal konsekuensi yang harus siap ditanggung oleh para kader yang ´mbalelo´. "Semua kader Golkar harus mematuhi keputusan rapimnas," kicau Idrus melalui akun twitternya, @IdrusMarham5, yang diposting Rabu (21/5) hari ini.

Idrus mengingatkan ada konsekuensi yang harus ditanggung jika menentang keputusan partai. Konsekuensi itu diatur dalam aturan partai. "Kader yang menentang keputusan rapimnas harus siap menanggung konsekuensi organisasi sesuai dengan aturan partai," ujarnya.

Soal pemberhentian kader Golkar ini memang diatur dalam AD ART Golkar. Dalam Pasal 15 Anggaran Dasar (AD) Golkar, diatur soal kewajiban anggota partai. Poin nomor tiga menegaskan anggota Golkar wajib kebijakan Partai Golkar. Poin itu menyebutkan: "Aktif melaksanakan kebijakan dan program Partai Golkar."

Lalu dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Golkar, diatur soal pemberhentian anggota Golkar. Pasal 4 sub poin 3 ART Golkar mengatur anggota bisa diberhentikan jika melanggar keputusan Rapimnas Golkar. "Melanggar Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan atau Keputusan Musyawarah Nasional, dan atau Rapat Pimpinan Nasional," demikian bunyi poin tersebut.

Bahkan Ketua Dewan Pembina Golkar Akbar Tandjung yang mulanya getol menggoyang Ical, juga terlihat membela Ical. "Dalam konteks Golkar, ada PDLT: prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela. Apabila organisasi telah menetapkan keputusan, maka semua yang terkait seharusnya mengikuti keputusan tersebut," kata Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung.

Sikap keras kalangan tua ini langsung dibalas kader muda Partai Golkar Poempida Hidayatullah bereaksi keras atas pernyataan Akbar Tandjung tersebut. "Apa yang kemudian disebut oleh Bang Akbar mengenai loyalitas pun akan menjadi sumir apakah yang dimaksud itu loyalitas pada kewibawaan Partai atau kebijakan seorang Ketua Umum," kata Poempida melalui keterangan tertulisnya, Rabu (21/5).

Menurut dia dalam AD/ART Partai, Golkar tidak dapat dipersonifikasi oleh seorang Ketua Umum. Namun Poempida bisa memahami, bahwa pernyataan Akbar tersebut disampaikan untuk melegitimasi kebijakan pemecatan yang dikeluarkannya di tahun 2004.

Pada tahun 2004 lalu Akbar memecat Fahmi Idris dan sejumlah pengurus pusat Partai Golkar karena mendukung duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Padahal waktu itu keputusan partai memberikan dukungan kepada pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi.

Hanya saja tak semua orang percaya Golkar benar-benar pecah. Golkar selama ini memang lihai bermain di banyak kaki untuk meraih kekuasaan. Pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, tidak ada yang spesial dari fenomena Golkar saat ini. Karena setiap kali pemilu, partai beringin ini selalu melakukan politik dua kaki dengan memainkan drama perpecahan.

Hendri lalu mengilustrasikan kondisi Golkar saat pemilu 2004. Pada putaran pertama, Golkar resmi mengusung duet Wiranto-Gus Sholah, tapi kalah. Padahal Jusuf Kalla (JK) saat itu sudah berduet dengan SBY. Sementara pada putaran kedua, Golkar resmi memberikan dukungan kepada duet PDIP, yaitu Mega-Hasyim. Namun tetap suara akar rumput Golkar lari ke duet SBY-JK yang diusung Demokrat.

Pada 2009, drama perpecahan Golkar kembali terjadi. Meski secara resmi Golkar mengusung sang ketua umumnya, Jusuf Kalla (JK) berduet dengan Wiranto, namun sebagian elitenya loncat mendukung SBY-Boediono.

Hendri memberi catatan, Partai Golkar disebutnya sebagai partai yang sudah milik rakyat. Artinya menurut dia, berbeda dengan parpol lain seperti PDIP dan Demokrat di mana suara akar rumput sangat dipengaruhi ketokohan, namun di Golkar loyalitas akar rumput ke partai lebih kuat daripada ke tokoh. Karena kekuatan popularitas tokoh Golkar merata, tidak tersentralisasi pada satu orang. Hal itu terbukti pada pemilu 2004 dan 2009.

Catatan lain, kata Hendri, suara akar rumput Golkar tidak pernah diberikan kepada PDIP. Akar rumput Golkar akan lari ke capres resminya atau partai lain non PDIP. Ini yang terjadi pada pemilu 2004 dan 2009.

Pada pemilu 2004, suara arus bawah Golkar terpecah ke SBY-JK dan Wiranto-Gus Sholah. Begitu putaran kedua, semua suara arus bawah Golkar lari ke SBY-JK, tidak ke Mega-Hasyim. Begitupun pada pemilu 2009, suara arus bawah Golkar lari SBY-Boediono dan JK-Wiranto. Duet resmi Golkar JK-Wiranto hanya mendapat suara sekitar 12 persen.

"Secara garis politik, grassroot Golkar belum pernah dukung PDIP. Itu yang terjadi di 2004 dan 2009. Kalaupun sekarang ada Luhut cs yang ke Jokowi, itu bersifat personal. Hanya masalah like and dislike. Akar rumput tetap ke non PDIP," tegasnya.

Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Gun Gun Heriyanto juga mengatakan hal senada. "Saya melihat dari dua sisi, pertama dari sisi positif. Partai memanfaatkan JK sebagai representatif jika Jokowi-JK menang sehingga partai ini tengah bermain dua kaki," ujarnya, Rabu (21/5). Jika demikian, boleh jadi nantinya siapapun yang menang Golkar akan tetap berkuasa lantaran saat ini kaki Golkar memang sudah menancap di kedua kubu yang bertarung. (dtc)

BACA JUGA: