JAKARTA, GRESNEWS.COM - Merujuk pada visi-misi calon presiden-calon wakil presiden, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin  menilai tidak ada alasan bagi petani untuk tidak mendatangi tempat pemilihan suara (TPS) dan memilih pada 9 Juli lalu. Pasalnya, kedua kandidat presiden menawarkan program reforma agraria melalui redistribusi tanah atau land reform.

Meski belum secara detail dijelaskan bagaimana kelak presiden terpilih menjalankan agenda ini, kata Iwan, setidaknya di atas kertas, redistribusi tanah untuk rakyat telah menjadi komitmen politik resmi.

Menurutnya, dalam pemilihan presiden langsung, dokumen visi-misi menjadi ukuran penting. Sebab inilah yang akan dituangkan kedalam rancangan pembangunan jangka menengah (RPJM) dalam kurun waktu lima tahun kedepan. Namun, petani harus terus mencari presidennya karena suaranya seolah air yang terserap kedalam pasir usai penghitungan suara.

"Memang janji reforma agraria sendiri bukanlah hal baru,” ujar Iwan Nurdin  kepada Gresnews.com, Minggu (27/7).

Ia mencontohkan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berkuasa selama dua periode pernah menjanjikan pelaksanaan reforma agraria. Namun, hasilnya tidak pernah bergerak dari level wacana kepada tataran aksi dan implementasi. "Di atas kertas visi-misi, mencari presiden pro-petani relatif mudah. Dengan begitu, nampaknya petani harus tetap terus menerus mencari presidennya setelah pemilihan presiden usai," sindirnya.

Kata Iwan, pengalaman membuktikan bahwa kepentingan petani banyak tereduksi oleh pengambil kebijakan yang terbiasa memandang persoalan pertanian, pedesaan, dalam kacamata orang kota yang industri (urban bias dan industrial bias).

Karena itu, petani harus tetap mencari presidennya, sebab tanah pertanian, perkebunan dan kehutanan seharusnya diprioritas kepada mereka. "Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat ini terdapat 26.366.788 bidang tanah yang bersertifikat di Indonesia dengan luas 72.954.190 hektar," ungkapnya.

Di dalamnya hanya 10.368 sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan. Namun, luasnya mencapai 46 persen (33,5 juta hektar) dari tanah bersertifikat tersebut. Ia beranggapan, prioritas tanah untuk rakyat adalah syarat pokok transformasi agraria dari susunan lama yang subsisten, gurem, dan rendah teknologi kepada koperasi pertanian yang maju.

Anggapan bahwa prioritas tanah kepada petani sulit dilakukan dan jikapun dijalankan petani harus menjadi plasma dari raksasa korporasi pertanian atau perkebunan harus ditinggalkan. Kedepan, petani, pemuda, sarjana dengan didukung oleh kredit pemerintah harus menjadi pemilik koperasi pertanian, perkebunan dan kehutanan yang modern. Sebab bercocok tanam dalam wadah modern bukanlah teknologi luar angkasa yang susah diterapkan kepada rakyat.

Petani harus mencari presidennya, sebab konflik dan perampasan tanah terus saja mengancam kehidupan mereka. Pada tahun lalu, KPA mencatat 369 kejadian konflik agrarian struktural yang mengakibatkan 21 orang tewas dan telah merampas 1.281.660.09 hektar, dan korban mencapai 139.874 kepala keluarga (KK).

"Dalam menangani konflik tersebut belum ada usaha pemerintah untuk membangun kelembagaan penyelesaian konflik agrarian," terangnya.
 
Petani, menurutnya, harus tetap mencari presiden. Sebab masalah upah buruh murah di perkotaan, merebaknya sektor informal, lemahnya industrialisasi nasional, hingga membludaknya pekerja migrant dengan skil rendah dan minim perlindungan berakar dari keterbelakangan petani, pertanian dan pedesaan.

Kata Iwan, dengan mudah ditemukan benang merah bahwa “tentara cadangan” buruh murah bagi industriawan di dalam dan luar negeri tersebut berasal dari mereka yang terlempar secara tragis dari pedesaan.

"Akhirnya, kita butuh khalayak luas yang memahami bahwa membenahi persoalan petani ini adalah memperkuat akar kedaulatan bangsa. Kita harus menemukan kandidat presiden yang mau terus menerus melihat dan mendengar, dan meyakini bahwa kelak terus berbuat demikian setelah terpilih kelak. Sebab, jawaban persoalan rakyat ditemukan bersama-sama rakyat," tegasnya.

 

 

BACA JUGA: