2 Petani Lahat Tewas, Wilmar International Dkk Didesak Putus Rantai Pasok Bukit Barisan Indah Prima
JAKARTA - Para aktivis lembaga swadaya masyarakat meminta PT Artha Prigel (anak perusahaan PT Bukit Barisan Indah Prima) bertanggung jawab secara hukum atas terjadinya aksi kekerasan pada Minggu (22/3) yang mengakibatkan dua petani di Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, tewas, yaitu Suryadi (40) dan Putra Bakti (35), serta dua lainnya luka parah akibat bacokan senjata tajam, yaitu Sumarlin (38) dan Lion Agustin (35).
Para aktivis juga meminta Mondelez International, Wilmar International Limited, Musim Mas Holdings dan Louis Dreyfus Company B.V—yang semuanya tercatat sebagai anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)—untuk memutus PT Bukit Barisan Indah Prima dari rantai pasok produksinya.
“Negara dalam mengusut kasus ini harus meminta pertanggungjawaban hukum bagi korporasi, sebab keberadaan preman, security perusahaan, dan aparat, dalam konflik ini pasti diakibatkan oleh pengaruh dari korporasi, dalam konteks ini PT Artha Prigel yang merupakan anak perusahaan PT Bukit Barisan Indah Prima,” demikian pernyataan bersama yang diterima oleh Gresnews.com, Senin (23/3), atas nama ELSAM, Forest Watch Indonesia, Greenpeace Indonesia, ICEL, Lingkar Hijau, JPIK, Kaoem Telapak, Sawit Watch, WALHI Sumatera Selatan, Yayasan Madani Berkelanjutan, dan Yayasan PUSAKA.
Konflik antara petani Lahat dan PT Artha Prigel telah terjadi cukup lama. Menurut warga, sejak 1993, beroperasinya PT Arta Prigel di beberapa desa, khususnya di Desa Talang Sawah, dan Talang Sejemput, ternyata tidak didasarkan atas izin resmi. Belakangan diketahui perusahaan yang bergerak dalam bidang buah sawit itu baru mengusulkan surat Hak Guna Usaha (HGU) tahun 2003, dan dikeluarkan HGU oleh BPN Lahat baru pada 2006.
Dalam konteks itu, kata pernyataan bersama itu, seharusnya kebijakan RSPO tentang pembela hak asasi manusia dapat diterapkan, mengingat kebijakan tersebut juga mengikat rantai pasok anggotanya. Secara resmi kebijakan yang berjudul Protecting Human Rights Defenders, Whistleblowers, Complainants And Community Spokespersons itu telah diadopsi pada 2018 dan seketika harus diterapkan pada seluruh rantai pasok anggota RSPO.
“Presiden Jokowi memastikan Inpres 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit dilaksanakan dengan baik dan tidak ada perluasan lahan dan fokus terhadap evaluasi perkebunan sawit,” demikian pernyataan bersama itu.
Para aktivis juga meminta Kepala Polri, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Komisi Nasional HAM, semua turun tangan untuk menuntaskan kasus tersebut.
Sementara itu Satreskrim Polres Lahat menangkap satu tersangka terkait kasus tewasnya petani Lahat itu. Tersangka adalah Ujang Boy (38), warga Base Camp Artha Prigel. Informasinya tersangka adalah warga Kecamatan Saling, Kabupaten Empat Lawang. Ujang Boy sendiri merupakan petugas keamanan perusahaan tersebut.
Kapolres Lahat AKBP Irwansyah menjelaskan Ujang Boy dijadikan tersangka atas kasus penganiayaan hingga meninggal terhadap korban, dengan cara menusuk perut korban hingga tewas.
“Tersangka dijerat Pasal 351 ayat (2) dan ayat (3) KUHP, yang menyebabkan korban tewas,” ungkap Irwansyah di Mapolres Lahat, Minggu (22/3).
(G-1)
- Kekayaan Alam Dikuasai Asing, Rakyat Tak Sejahtera
- Petani Jambi Longmarch Tagih Penyelesaian Konflik Tanah
- Korupsi Korporasi di Balik Tambang Ilegal Lumajang
- Bau Pencucian Uang di Kasus Pembunuhan Salim Kancil
- Konflik Agraria dan Terbunuhnya Salim Kancil
- RUU Pertanahan Untuk Siapa?