Tersangka proyek pengadaan helikopter Agusta Westland 101 (AW-101), Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh melayangkan gugatan praperadilan soal peradilan koneksitas. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan POM TNI telah bersepakat tak menggelar peradilan koneksitas dengan alasan tertentu .

"Jadi perlu dicermati juga secara hati-hati bahwa ada risiko dari praperadilan ini nantinya. Bukan hanya terkait dengan proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK, tetapi juga berisiko atau berimbas kepada penyidikan yang dilakukan oleh POM TNI terhadap sejumlah tersangka di sana," ungkap Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (19/10).

Menurut Febri untuk itu perlu juga melakukan koordinasi dengan POM TNI. Terlebih pada saat pengumuman penetapan tersangka POM TNI sampai datang ke KPK, melakukan koordinasi dengan pimpinan KPK hingga menyampaikan hasil penyelidikannya pada publik.

Dalam penanganan perkara ini, sejak awal KPK dan POM TNI tidak menggunakan peradilan koneksitas seperti yang diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHAP. Sebab sudah ada landasan hukum khusus (lex specialis) yang mengatur dalam Pasal 42 UU No 30 Tahun 2002, yang isinya:

Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

"Pengendalian penanganan perkara tentu harus dilihat sesuai dengan kewenangan masing-masing. Kalau pelakunya dari militer, maka itu ditangani oleh POM TNI. Kalau pelakunya dari sipil sesuai dengan kewenangan KPK, itu ditangani oleh KPK," tegas Juru Bicara KPK ini.

Kata kunci dalam Pasal 42, menurut Febri adalah jika pelaku berasal dari militer dan sipil. Sehingga KPK mantap menggunakan landasan hukum itu.

Terlebih, ini bukan kasus korupsi pertama dengan keterlibatan oknum TNI yang ditangani KPK. Contohnya saja kasus pengadaan satellite monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang prosesnya ada yang sudah inkrah, ada pula yang di penyidikan.

"Dan kita berkoordinasi. Dan kita tahu di proses pengadilan tipikor (tindak pidana korupsi) sudah diproses, dan ada yang sudah divonis bersalah. Jadi sebenarnya hakim, terutama di tipikor saya kira sudah tidak mempermasalahkan kewenangan itu," pungkas Febri.

Untuk menghadapi praperadilan ini Febri mengatakan tim Biro Hukum KPK sudah mempelajari dokumen-dokumen terkait dan berkoordinasi dengan tim penyidik. Sidang sendiri akan mulai dilaksanakan besok (20/10) oleh Hakim Kusno yang juga Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Dalam kasus tersebut, KPK bekerja sama dengan POM TNI. Ada lima tersangka yang ditetapkan POM TNI, tiga orang di antaranya terlebih dulu ditetapkan, yakni Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas; dan Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.

Menyusul kemudian Kolonel Kal FTS, berperan sebagai WLP; dan Marsda SB, sebagai asisten perencana Kepala Staf Angkatan Udara.

Sementara itu, KPK menetapkan Irfan sebagai tersangka pertama dari swasta pada Jumat (16/6). Irfan diduga meneken kontrak dengan Augusta Westland, perusahaan joint ventureWestland Helicopters di Inggris dengan Agusta di Italia, yang nilainya Rp 514 miliar. Namun, dalam kontrak pengadaan helikopter dengan TNI AU, nilai kontraknya Rp 738 miliar sehingga terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar. (dtc/mfb)

BACA JUGA: