Yayasan Sharia Law Aqonuni menggugat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas. Mereka berpendapat tak ada perihal kegentingan yang memaksa hingga pemerintah berhak mengeluarkan perppu tersebut.

Hakim konstitusi Suhartoyo menyatakan tafsir ´keadaan yang memaksa´ lahirnya sebuah Perppu, harus dipahami secara kekinian. Tafsir ´kegentingan´ diminta jangan menggunakan tafsir kuno.

"Mesti dipahamkan mengenai keadaan yang memaksa di konsederan. Kegentingan memaksa di era dulu, dengan konteks kekinian. Artinya kita dituntut untuk melihat persoalan secara jernih," ujar Suhartoyo dalam persidangan dalam agenda pemeriksaan pendahuluan, di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (2/8).

Dalam nasihatnya, Suhartoyo meminta pemohon menghadapkan konteks kegentingan memaksa dengan kondisi saat ini. Terutama di era majunya globalisasi teknologi dan informasi yang sudah sedemikian kuat.

"Mahkamah ingin pandangan itu. Kalau secara kovensional memang iya, bahwa ini tidak ada kegentingan memaksa," papar hakim karier dari Mahkamah Agung (MA) itu.

Menurut Suhartoyo, dasar penetapan terbitnya Perppu Ormas,karena UU yang dahulu tidak mengatur secara komprehensif ormas yang anti-Pancasila. Sedangkan kalau menunggu pembentukan UU baru, maka akan memakan waktu yang lama.

"Sementara di konsideran huruf B terdapat ormas tertentu yang dalam kegiatannya tidak sejalan. Ini saling berkorelasi untuk mengcover keadaan itu. Kalau kita pahami dalam konteks kekinian secara eksisting sudah ada. Ini boleh berdebat, tapi kalau anda mau memahami kegentingan memaksa dalam kontek konvensional seperti dulu, enggak bakal ketemu," tuturnya.

Suhartoyo mengatakan di dalam Perppu Ormas juga tidak menghilangkan peran badan peradilan. Perppu itu hanya menukar proses peradilan ke bagian akhir pembubaran ormas.

"Apakah serta merta hilang? kan tidak. Hanya menempatkan pengadilan ke belakang, ya kan? Organisasi anda diberi sanksi, kemudian kalau anda tidak suka lakukan tuntutan, mungkin dilakukan pemulihan atau tindakan karena memang beralasan. Kalau pun toh anda anda memahami hilang (peradilan), ya tidak. Ini ada cuma penempatannya ketika anda sudah babak belur, baru pengadilan, itu maksudnya," pungkasnya.

Oleh sebab itu, Yayasan Sharia Law Aqonuni diminta Suhartoyo meyakinkan majelis apa yang dimaksud ´keadaan yang memaksa´ tersebut. Apakah dalam tafsir kuno, atau tafsir modern. (dtc/mfb)

BACA JUGA: