Ketua Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Anggawira menilai pemerintah kurang berupaya dalam mengentaskan kemiskinan yang menyebabkan ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi yang terus melebar ini akan memicu keresahan sosial karena menimbulkan berbagai dampak negatif seperti meningkatnya pengangguran, angka kriminalitas, kemiskinan, dan lain sebagainya.

Menurut Anggawira, berdasarkan data-data yang dihimpun HIPMI, angka indikator kesenjangan Indonesia meningkat secara tajam selama periode 2003-2014 dari 0,3 menjadi 0,41.

"Negara bisa mengalami kemunduran karena masalah tersebut. Dalam hal ini, kami menilai pemerintah kurang serius mengatasi ketimpangan ekonomi, harus ada Gerakan Keadilan Ekonomi ke depannya," ujar Anggawira di Jakarta, melalui pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, kemarin.

Tahun ini, ungkap Anggawira, jumlah penduduk miskin di Jakarta mendekati 385.000 orang atau 3,75%. Artinya, terjadi peningkatan sebanyak 0,14 poin.

"Kenaikan angka rasio tersebut disebabkan karena kenaikan pendapatan penduduk level ke atas tumbuh terlalu cepat, sementara kenaikan pendapatan masyarakat menengah ke bawah mengalami perlambatan. Penduduk menengah ke bawah tidak mampu setara dengan pendapatan penduduk menengah ke atas. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan," ungkapnya.

Terlepas dari masalah ketimpangan pendapatan, ada pula faktor lain yang memicu terjadinya ketimpangan sosial di dalam negeri yakni, sebesar 1% penduduk Indonesia menguasai hampir 70% aset negara. Merujuk dari laporan terbaru yang dimiliki HIPMI, menunjukan sebesar 1% orang terkaya di dalam negeri yang berjumlah 164 juta menguasai sendiri kekayaan negara yang bernilai US$1,8 triliun pada tahun ini. Meskipun telah terjadi pelemahan global yang mengakibatkan kerugian kepada para penduduk kaya tersebut, namun pangsa kekayaan dari 1% penduduk tersebut masih memiliki trend naik, pasalnya mereka masih menyimpat aset kekayaan dalam warisan, atau berinvestasi.

"Angka-angka tersebut menunjukan bahwa keadilan sosial di negara ini masih jauh dari harapan. Sekaligus, memperlihatkan kesenjangan ekonomi yang sangat dalam, yang tidak mungkin akan menjadi lebih baik bila pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas seperti melakukan redistribusi aset, agar hak guna usaha (HGU) atas tanah, maupun aset lain yang selama ini hanya dikuasai oleh segelintir penduduk dapat pula dimaanfatkan oleh masyarakat yang berhak merasakannya," ucap dosen di Universitas Islam As- Syafi’iyah itu.

Redistribusi aset, lanjut Anggawira, akan menghasilkan stabilitas internal dan demokratis. Keadaan demikian akan mendorong investasi yang diperlukan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Adapun cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi ketimpangan sosial antara lain dengan menerapkan pajak progresif kepada pengusaha yang sudah lama menikmati lahan untuk bisnis, menekan penghindaran pajak oleh pengusaha besar, atau individu tergolong kaya, menggeser beban pajak dari tenaga kerja konsumsi menjadi ke pajak modal dan kekayaan.

Lebih lanjut, Anggawira meminta kepada pemerintah agar jangan hanya konsen di bidang politik dan mengabaikan masalah ekonomi di Indonesia. Ia merasa pemerintah perlu melakukan ‘dobrakan’ baru pada tahun depan sebagai upaya memperkecil angka kesenjangan ekonomi dalam negeri.

"Pemerintah, jangan hanya konsen pada masalah politik namun mengabaikan masalah ekonomi di Indonesia yang saat ini paling krusial yakni, soal kesenjangan yang semakin curam. Memasuki 2017, kami berharap pemerintah melakukan ‘dobrakan’ ekonomi yang lebih progresif, dan menyejahterakan rakyat bukan hanya dari kalangan menengah ke atas, namun masyarakat kelas bawah sekalipun," pungkasnya. (Red)

 

BACA JUGA: