JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung dan PT Victoria Securities Indonesia (VSI) dipastikan bakal kembali bertarung dalam sidang praperadilan. Pasalnya, penyidik Kejaksaan Agung kembali melakukan penyitaan dokumen sebagai bagian dari upaya penyidikan kasus pembelian hak tagih (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sementara, Kejagung telah kalah dalam sidang praperadilan terkait penyitaan dokumen itu di PN Jakarta Selatan.

Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Achmad Rifai memutuskan tindakan penggeledahan dan penyitaan di kantor VSI tidak sah, sehingga semua barang sitaan harus dikembalikan. Penyidik Kejaksaan Agung pada Jumat (9/10) memang telah mengembalikan dokumen dan barang yang disita tersebut.

Namun setelah semua dokumen dikembalikan, penyidik langsung menyita kembali dokumen tersebut. Tim jaksa yang dipimpin oleh jaksa Adityawarman dan Firdaus Delwimar juga menyisir sejumlah dokumen lain. Sekitar pukul 19.30 WIB penyidik pun menyudahi penggeledahan dan membawa dua boks berisi dokumen hasil sitaan tersebut.

Tindakan penyidik Kejaksaan Agung yang kembali melakukan penyitaan ini dinilai semena-semena oleh pihak VSI. Kuasa hukum VSI Peter Kurniawan saat itu melakukan protes atas tindakan jaksa. Namun protes itu tak digubris.

Saat terjadi penyitaan kembali dokumen yang dinilai Kejagung terkait dengan kasus cessie BPPN, VSI memang melakukan perlawanan. Peter mengatakan tim Kejaksaan Agung telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan kembali menyita dokumen di Panin Tower, Senayan City, lantai 8, Jakarta Pusat.

"Kejaksaan datang dan memaksa kembali menyita barang yang harusnya dikembalikan berdasarkan putusan praperadilan PN Jaksel," kata Peter kepada gresnews.com.

Menurutnya, tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum seperti Kejaksaaan tak elok dengan menyita dokumen tanpa membawa surat perintah penetapan dari pengadilan. "Harusnya bawa penetapan. Tapi Kejaksaaan cuma bawa surat yang kurang lebih atas perintah dari pimpinan Kejagung untuk kembali menyita," jelas Peter.

Terkait tudingan itu, tim jaksa membantah telah melakukan penyitaan tanpa ada surat penetapan. Firdaus Dewilmar yang ikut dalam penggeledahan dan penyitaan tersebut mengatakan tim jaksa telah memiliki surat sah untuk menyita kembali dokumen.

Firdaus menyatakan penyidikan terkait perkara dugaan korupsi surat hak tagih utang (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang menyeret PT Victoria Securities International Corporation (VSIC) bukan VSI.

FORMALITAS BUKAN SUBSTANSI - Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Achyar Salmi menyarankan VSI melakukan gugatan praperadilan kembali jika menemukan tindakan penegak hukum tidak sesuai prosedur. Itu, kata dia, untuk mengoreksi formalitas penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan penyidik Kejaksaan Agung.

"Itu soal formalitas, bisa jadi Kejaksaan sudah mempelajari kesalahan yang lalu sehingga dilakukan penyitaan kembali. Jika yang disita keberatan, ajukan kembali praperadilan," kata Achyar kepada gresnews.com, Minggu (11/10).

Namun, Achyar mengingatkan, meskipun Kejaksaan Agung nantinya terbukti menyalahi prosedur penggeledahan seperti terjadi sebelumnya, itu tak akan menghilangkan substansi pidana korupsinya. Bisa saja setelah meneliti putusan Pengadilan Jakarta Selatan itu, penyidik akan memperbaiki dan menyita ulang dokumen untuk penyidikan.

"Saya yakin Kejaksaan Agung telah meneliti sebelum melakukan penyitaan kembali," kata Achyar.

Dalam putusan sidang praperadilan pada Selasa (29/9) hakim tunggal Achmad Rifai menyatakan penggeledahan di kantor PT VSI di Panin Tower Jl. Asia Afrika dan kantor Victoria Securities di Panin Tower Senayan City yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan Agung  tidak sah. Hakim menilai izin penggeledahan diberikan hanya di dua tempat yaitu di kantor PT VSIC di Senayan City lantai 9 dan kantor Victoria Securities Jl. Asia Afrika.

Kenyataannya, Kejaksaan Agung juga melakukan penggeledahan di tempat lain yakni PT VSI. PT VSI sendiri membantah terkait dengan PT VSIC. Namun dari penggeledahan jaksa ditemukan adanya dokumen soal cessie di kantor VSI yang menurut jaksa merupakan bukti adanya keterkaitan antara VSI dan VSIC.

Lewat putusan praperadilan itu, PN Jaksel memerintahkan Kejaksaan Agung mengembalikan semua barang bukti yang telah disita oleh Kejagung kepada PT VSI karena dianggap tidak dapat dijadikan barang bukti untuk pemeriksaan. Namun, hakim menolak permohonan ganti rugi yang diajukan PT VSI sebesar Rp 2 triliun kepada Kejaksaan Agung karena PT VSI tidak secara gamblang dan rinci menjelaskan letak kerugian yang dialami saat penggeledahan.

BANYAK KEPENTINGAN BERMAIN - Kasus dugaan korupsi pembelian cessie oleh PT VSIC ini memang terkesan rumit dan penuh dengan perlawanan hukum yang dilakukan pihak Victoria. Hal ini ditengarai karena dalam kasus ini terselip banyak banyak kepentingan bisnis menyangkut aset berupa tanah seluas 1.200 hektare di Karawang, Jawa Barat.

Ditengarai, banyak pihak yang ingin menguasai aset tersebut sehingga proses penyidikan kasus ini di Kejaksaan banyak mengalami kendala akibat adanya intervansi pihak tertentu. Sejak kasus ini naik ke penyidikan pada April 2015, diduga kuat ada kepentingan terselubung kasus ini. Apalagi ketika beredar kabar Kejaksaan Agung menerima surat permohonan dari oknum yang mengaku sebagai anggota dewan kehormatan Partai Nasdem untuk menjual tanah seluas 1.065,6 hektare yang terbagi menjadi empat S-HGB di Kabupaten Karawang. Tanah itu merupakan bagian dari aset yang diperkarakan Adyaesta dan VSIC.

Yang menarik adalah dalam permohonan tersebut semua tanah tersebut sebelumnya telah dibeli Victoria Securities International Corporation melalui perjanjian pengalihan piutang dengan BPPN. Sayangnya, meski permohonan tersebut sulit terealisasi, namun Jaksa Agung HM Prasetyo mengeluarkan instruksi khusus.

Instruksi khusus itu dikeluarkan pada 28 Agustus lalu yang berbunyi: "Koordinasikan dan dapatkan informasi dari Jampidsus, tanah dimaksud saat ini menjadi bagian dari objek berkaitan dengan perkara dugaan korupsi di lingkungan BPPN dan PT VISC, tidak mustahil pada saatnya berstatus sebagai BB (barang bukti)".

Namun pihak Kejaksaan Agung membantah kabar adanya nota dinas untuk kepentingan tertentu itu. Nota dinas lazim dibuat sebagai perintah untuk dilaksanakan. Namun nota dinas untuk melelang aset yang masih dalam proses penyidikan tidak akan dilakukan. Biasanya nota dinas hanya untuk memverikasi aset-aset tersebut.

"Saya belum dengar, tapi saya kira itu tidak ada yang seperti itu," jelas Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Amir Yanto ketika dikonfirmasi gresnews.com beberapa waktu lalu.

Dugaan motif kepentingan tertentu di balik kasus ini sangat kuat. Sejak dilakukan penggeledahan pada 12 Agustus 2015, VSI langsung mengadu ke DPR. Laporan langsung direspons oleh Ketua DPR Setya Novanto.

Setya Novanto sendiri pernah terlibat kasus cessie Bank Bali. Selain itu, VSIC juga langsung berkirim surat ke Presiden Joko Widodo meminta untuk tidak dikriminalisi dalam kasus pembelian cessie ini.

Munculnya persoalan cessie ini bermula saat PT Adyaesta meminjam kredit ke Bank BTN, untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare. Bank pelat merah itu kemudian mengucurkan pinjaman senilai Rp469 miliar dimana PT Adyaesta harus menyerahkan sertifikat tanahnya seluas 1.200 hektare tersebut sebagai agunan.

Sayangnya saat itu terjadi krisis dan banyak kredit macet, Bank BTN pun harus masuk ke penyehatan BPPN dan sejumlah hak tagih kredit macet itu harus diserahkan ke BPPN. Lalu BPPN pun melelang sejumlah aset dan hak tagih tersebut.

Hak tagih atas PT Adyaesta juga termasuk yang dilelang. Dari lelang itu PT First Capital memenangkan lelang hak tagih atas lahan milik PT Adyaesta senilai Rp69 miliar. Namun karena alasan kurang lengkapnya dokumen maka First Capital mundur.

BPPN lalu melakukan program penjualan aset kredit IV (PPAK IV) pada 8 Juli 2003 hingga 6 Agustus 2003. Lelang tersebut dimenangkan Victoria Securities Internasional dengan harga yang lebih murah lagi, yakni Rp 26 miliar.

PT Adyaesta telah mencoba melakukan penawaran pelunasan kepada Victoria dengan harga di atas penawaran BPPN, yakni Rp266 miliar. Namun Victoria justru menaikkan harga secara tidak rasional yakni Rp 1,9 triliun.

PT Adyaesta kemudian melakukan penawaran ulang sebesar Rp 300 miliar yang direspons Victoria dengan makin melambungkan harga pelunasan sebesar Rp2 triliun. Belakangan Direktur Utama PT Adyaesta Ciptatama Johnny Widjaja yang gagal menebus kembali aset yang pernah diagunkan di Bank Tabungan Negara (BTN) melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada 2013.

Ia menuding ada ketidakwajaran dalam penjualan hak tagih aset oleh BPPN, sebab hak tagih dengan nilai pinjaman sebesar Rp266 miliar hanya dijual kepada PT VSIC seharga Rp26 miliar namun  mau dijual kembali oleh VSIC hingga Rp2 triliun.

BACA JUGA: