Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, akhirnya PT Freeport Indonesia (PTFI) sepakat mendivestasikan 51% saham ke pemerintah Indonesia. PT Inalum (Persero), sebagai perpanjangan tangan pemerintah akan menjadi pemegang saham mayoritas di PTFI. Kesepakatan itu dituangkan dalam penandatanganan head of agreements Kamis (12/7/2018) antara Indonesia dan Freeport McMoran. 

Kubu pemerintah tentu boleh menepuk dada, berbangga seolah dapat menundukkan ‘raksasa’ tambang asal Amerika itu. Namun kubu oposisi menyebut hal itu langkah mubazir terlebih pemerintah harus membayar divestasi 40% saham Freeport mencapai US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp 55 triliun. Bagaimanakah duduk persoalannya?

Pokok-pokok perjanjian yang disepakati adalah:

Pertama, landasan hukum PT Freeport Indonesia (PTFI) akan berupa izin usaha pertambangan khusus dan bukan kontrak karya (KK);

Kedua, pengalihan 51% saham PTFI untuk kepemilikan nasional Indonesia;

Ketiga, Freeport membangun smelter di dalam negeri;

Keempat, penerimaan negara secara agregat akan lebih besar dibanding penerimaan dengan skema kontrak karya selama ini;

Kelima, perpanjangan operasi 2 x 10 tahun diberikan ke PTFI jika memenuhi kewajiban IUPK. PTFI mendapat perpanjangan operasi sampai 2041.

Pokok-pokok perjanjian ini selaras dengan kesepakatan pada tanggal 12 Januari 2018 antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Papua, dan Pemerintah Kabupaten Mimika, dimana pemerintah daerah akan mendapatkan saham sebesar 10% dari kepemilikan saham PTFI.

Dalam perjanjian tersebut, Inalum akan mengeluarkan dana sebesar US$3,85 miliar (Rp53,9 triliun) untuk membeli hak partisipasi Rio Tinto di PTFI dan 100% saham FCX di PT Indocopper Investama, yang memiliki 9,36% saham di PTFI. Para pihak akan menyelesaikan perjanjian jual beli ini sebelum akhir tahun 2018.

Salah satu kesepakatan yang pembahasannya cukup alot dalam soal divestasi ini adalah terkait hak partisipasi (participating interest) sebesar 40% yang dimiliki Rio Tinto. Hak ini akan dikonversi menjadi saham sebagai upaya pemerintah mengendalikan saham mayoritas sebesar 51% hingga pemerintah harus mengeluarkan dana sampai US$ US$ 3,85 miliar. 

Tentu saja bagi oposisi langkah pemerintah ini dianggap janggal lantaran pada 2021 kontrak dengan Freeport akan berakhir. Masalah ini pun seharusnya baru bisa dirundingkan dan diputuskan dua tahun sebelum berakhirnya kontrak atau tahun 2019. Mengapa pula harus mengeluarkan uang miliaran dollar untuk menebus tambang milik sendiri pada tahun ini?

Hal janggal lain dalam HoA adalah diaturnya perubahan dari kontrak karya (KK) ke izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dan persoalan kewajiban pembangunan pemurnian logam alias smelter. Seharusnya masalah ini sudah tidak ada lagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. 

Dalam PP tersebut, jika Freeport tetap ingin melakukan ekspor, mereka harus mengubah KK menjadi IUPK. Bila tidak, pemerintah sudah seharusnya melarang ekspor. Hasil tambang Freeport pun harus dimurnikan di Indonesia. Dari berbagai kejanggalan tersebut, negosiasi pemerintah dan Inalum dengan Freeport tidak didampingi oleh penasihat hukum yang ahli dalam dua masalah sekaligus, yaitu perdata dan publik.

Disepakatinya perjanjian itu bolehlah kita syukuri namun tak perlu berlebihan. Dan yang harus diingat bila menggunakan kacamata hukum HoA bukanlah perjanjian jual beli saham. HoA merupakan perjanjian payung sehingga mengatur hal-hal prinsip saja yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan sejumlah perjanjian. 

Hal yang perlu dicermati: 

1. Soal kelayakan harga yang disepakati untuk membeli Participating Rights di Rio Tinto dan saham yang dimiliki Freeport McMoran. Bila konsesi tidak diperpanjang hingga 2021, tentu harga menjadi lebih murah dibanding bila konsesi mendapat perpanjangan hingga 2041. Pemerintah sendiri belum memiliki kejelasan sikap terkait perpanjangan konsesi PT FI;

2. Masalah pengaturan pengambil keputusan di RUPS tetap gunakan ketentuan untuk sahnya kehadiran dan pengambilan keputusan harus dilakukan minimal 51%+1, bahkan lebih atau tidak. Bila demikian meski pemerintah mayoritas namun pengendalian perusahaan masih ada di tangan Freeport McMoran. Terlebih lagi bila saham yang dimiliki oleh Freeport McMoran adalah saham istimewa yang tanpa kehadirannya, maka RUPS tidak akan kuorum;

3. Perlu diperjelas terkait penunjukan Direksi dan Komisaris harus tanpa keberatan dari Freeport McMoran atau tidak;

4. Hal lain yang perlu diperjelas apabila pemerintah telah menjadi pemegang saham di PT FI dan ada keputusan RUPS untuk meningkatkan modal. Sementara pemerintah tidak dapat melakukan penyetoran, apakah kepemilikan saham pemerintah akan terdelusi atau tidak? 

Perjanjian-perjanjian di atas harus benar-benar dicermati karena ada adagium yang mengatakan the devil is on the detail. Bahwa setannya ada di masalah detail, kerap kali bagi negosiator Indonesia cukup puas dengan hal-hal yang umum saja, padahal terdapat jebakan batman dalam hal detail yang dapat saja merugikan negara kelak kemudian hari.

Di sisi lain, kita juga harus menengok pertimbangan kerugian lingkungan akibat penambangan Freeport seperti tercantum dalam audit BPK 2017.

“Divestasi ini jangan dijadikan sebagai langkah “pemutihan” atas kerusakan lingkungan yang diakibatkan PT. FI. Bahkan, divestasi ini harus menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk menghentikan pembuangan limbah tailing ke Danau Wanagon. Penandatangan HoA harus ditindaklanjuti dengan menyertakan langkah-langkah pemulihan lingkungan hidup dan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang diakibatkan operasi PT. FI. Salah satunya misalnya agar PT FI bertanggung jawab dalam dugaan pelanggaran berkaitan dengan penyalahgunaan izin penggunaan kawasan hutan lindung dan perubahan ekosistem akibat limbah hasil operasional tambang yang kerugian negaranya mencapai Rp 185 triliun.”

 

 

BACA JUGA: