JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus pemidanaan terhadap Nenek Asyani, 63 tahun, adalah adanya masalah dalam penerapan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). UU ini dianggap bermasalah karena tidak berfokus pada masalah besar perusakan hutan oleh korporat, namun justru menyasar pada pemidanaan rakyat jelata.    

Tercatat telah 22 orang sudah menjadi korban represifnya UU Nomor 18 Tahun 2013 tersebut. Termasuk nenek Asyani yang dipaksa menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Situbondo akibat dituduh mencuri 38 papan kayu Perhutani di Dusun Kristal, Desa Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur. Ia dijerat dengan Pasal 12 huruf d UU P3H dengan ancaman hukuman paling singkat 1 tahun dan maksimal 5 tahun.

"Isi dari UU P3H bertentangan dengan semangat menjerat korporasi besar yang melakukan perusakan hutan," kata Edo Rakhman, Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), kepada Gresnews.com, Selasa (17/3).

Padahal dalam konsiderans UU P3H disebutkan perusakan hutan oleh korporasi sudah menjadi kejahatan berdampak luar biasa, terorganisasi dan dilakukan lintas negara. Modus operandi canggih ini terbukti telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat. Sehingga sudah selayaknya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan haruslah memberi efek jera dengan landasan hukum yang kuat dan mampu menjamin efektivitas penegakan hukum.

"Namun, sebaliknya, undang-undang ini justru mengkriminalkan masyarakat lokal sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional," katanya.

Kegiatan masyarakat ini dapat dikriminalkan apabila memenuhi kriteria sebagaimana tertera dalam Pasal 12 huruf d. Yakni memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin.

Pemahaman pada Pasal 83 ayat (1) huruf a yakni orang perseorangan yang dengan sengaja memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp2,5 miliar.
 
Sejak disahkan 6 Agustus 2013, UU P3H ini telah memenjarakan banyak masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Padahal pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selalu mengatakan Pasal 11 ayat (3) UU P3H mengecualikannya untuk masyarakat sekitar hutan. Dimana aktivitas yang dilakukan merupakan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri.

Namun faktanya berbeda, menurut catatan Koalisi Anti Mafia Hutan setidaknya terdapat 22 orang yang sudah dihukum dengan dasar UU P3H tersebut. "Nenek Asyani merupakan salah satu korban dari keberlanjutan kesewenang-wenangan dari UU P3H ini," jelas Edo.

Dari kasus-kasus yang tercatat, tak satupun korporasi yang menjadi pelaku, ke-22 kasus merupakan individu-individu yang hampir semua warga di sekitar kawasan hutan. Padahal kewajiban negara untuk memperjelas tata batas kawasan hutan bahkan tidak dilakukan.

Akibatnya, UU P3H gagal menindak korporasi besar perusak hutan yang melakukan kejahtaan terorganisir. Justru menyasar dan mengkriminalkan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan. "Ini bukanlah hasil tujuan awal UU P3H dibentuk," katanya.

Contoh proses hukum terhadap Nenek Asyani menunjukkan Pemerintahan Jokowi melalui jajarannya tidak mempunyai komitmen untuk melindungi dan menghormati masyarakat lokal yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan. Sehingga beberapa organisasi lingkungan yang tergabung menjadi Koalisi Anti Mafia Hutan kini tengah melakukan Pengujian UU P3H ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan meminta MK membatalkan seluruh isi UU P3H.

Mereka juga meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Situbondo memutus bebas dan memulihkan nama baik Nenek Asyani. Di samping harus adanya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat yang berada di dalam atau sekitar hutan untuk dapat mengambil sumber kehidupannya dari hutan oleh Perhutani. KLHK juga diminta segera menuntaskan pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan hak-hak masyarakat atas hutan.

Komnas HAM dituntut segera melakukan audit Hak Asasi Manusia terhadap Perhutani dengan mengedepankan independensi dan kepentingan korban kriminalisasi. "Perhutani dan aparat terkait harus mengedepankan musyawarah dalam penyelesaian permasalahan dan fokus pada kejahatan kehutanan terorganisir yang dilakukan korporasi," katanya.

Di sisi lain, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berharap jaksa dapat menuntut Asyani dengan hukuman yang sangat ringan. Hal ini dengan pertimbangan umur Asyani yang sudah tua renta dan belum pernah dihukum. "Tuntutan adil yang dimaksud kalau dari saya, akan minta dengan pertimbangan unsur-unsur pemaaf," katanya beberapa waktu lalu.

Ia juga mengatakan akan berkoordinasi terus dengan Jaksa Agung terkait setiap perkembangan di lapangan. "Kami akan diskusikan perkembangannya untuk rancangan tuntutan yang adil bagi nenek Asyani," katanya.

BACA JUGA: