JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang keempat Asyani alias Bu Muaris, nenek 63 tahun yang didakwa mencuri kayu jati milik Perhutani, kali ini tak seperti biasanya. Entah mengapa, sidang pada Senin (16/3) ini yang mengagendakan pembacaan putusan sela mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian. Mungkin lantaran menguatnya desakan dari masyarakat dan LSM yang meminta nenek Asyani dibebaskan.

"Ada 185 personel yang diterjunkan. 100 Personel dari Polres, dan 85 dari Brimob. Hanya mengamankan jalannya sidang saja," kata Kasubbag Humas Polres Situbondo, Ipda H Nanang Priambodo.

Menurut Nanang polisi tidak mau menghalangi pengunjung sehingga sidang tetap dibuka untuk umum. Namun sebagai antisipasi masuknya barang terlarang seperti senjata tajam maka pemeriksaan diperketat.

Desakan pembebasan nenek Asyani memang semakin menguat. Menjelang sidang keempat Asyani, sejumlah pejabat berdatangan ke Pengadilan Negeri (PN) Situbondo. Mereka ramai-ramai menjadi penjamin penangguhan penahanan nenek asal Desa/Kecamatan Jatibanteng. Bahkan, pihak Perhutani KPH Bondowoso juga berencana menyerahkan surat jaminan penagguhan penahanan Asyani ke PN Situbondo.

"Ini surat jaminan saya. Akan saya serahkan sekarang ke pihak oengadilan," kata Wakil Bupati Situbondo, Rahmad.

Rahmad juga menunjukkan surat jaminan penangguhan penahanan Asyani dari sejumlah anggota legislatif. Di antaranya, surat jaminan dari Sekretaris FPKS DPRD Jatim Irwan Setiawan, Ketua Fraksi Gerindra DPRD Situbondo Jainur Ridho, serta Ketua Fraksi Golkar DPRD Situbondo Zuhri SH.

Menurut Rahmad, surat jaminan itu akan diserahkan secara bersamaan ke PN Situbondo. "Ini juga ada surat jaminan dari dua kepala desa di Situbondo. Semua ini semata-mata atas nama kemanusiaan," papar Rahmad didampingi Irwan Setiawan.

Rahmad mengaku sudah berkoodinasi dengan kuasa hukum nenek Asyani, yakni Supriyono, terkait jaminan penangguhan penahanan kliennya. Dalam koordinasinya, papar Rahmad, si kuasa hukum dipastikan juga akan mengajukan penangguhan penahanan. Sehingga, beberapa surat jaminan yang dibawanya itu bisa dijadikan jaminan.

"Saya harus menghormati keputusan pengacara terdakwa, yang akan mengajukan penangguhan penahanan kliennya. Jadi surat jaminan ini bisa dijadikan lampiran," kata Wabup Rahmad.

Tak Menyentuh Akar Masalah

Sikap dari pejabat maupun DPRD Situbondo memang layak mendapat apresiasi. Namun hal itu belum cukup dan tak menjamin peristiwa serupa tidak akan terulang kembali. Maret 2015, Asyani dituduh mencuri 38 papan kayu Perhutani di Dusun Kristal, Desa Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur. Bahkan, Asyani sudah ditahan sejak 15 Desember 2014. Pasal yang didakwakan kepadanya adalah Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), dengan ancaman hukuman paling singkat 1 tahun dan maksimal 5 tahun.

Kejadian itu bisa menimpa siapa pun bila akar permasalahannya tidak diurai. Menurut Koalisi Anti Mafia Hutan salam siaran pers yang diterima Gresnews.com Minggu (15/3), perkara yang menjerat Nenek Asyani merupakan bukti bahwasanya UU P3H secara substantif bermasalah. Isi dari UU P3H bertentangan dengan semangat menjerat korporasi besar yang melakukan perusakan hutan.

Padahal dalam konsiderans menimbang dari UU P3H disebutkan: bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum;

Sebaliknya, Undang-Undang ini justru menghukum (mengkriminalkan) masyarakat lokal yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional, yakni masyarakat lokal yang tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan. Tengok saja  Pasal 12 huruf d UU P3H yang berbunyi : memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin; dan Pasal 83 ayat (1) huruf a Orang perseorangan yang dengan sengaja: memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d; dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
 
Nenek Asyani adalah korban dari keberlanjutan kesewenang-wenangan dari UU P3H. Sejak disahkan 6 Agustus 2013, UU P3H telah memenjarakan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Bahkan Koalisi Anti Mafia Hutan mencatat setidaknya terdapat 22 orang yang sudah dihukum dengan dasar UU P3H tersebut.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selalu mengatakan bahwasanya Pasal 11 ayat (3) UU P3H yang mengecualikan masyarakat sekitar hutan -yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri- dari kejahatan terorganisir. Namun faktanya, Nenek Asyani serta 22 orang lain menjadi korban represifnya UU P3H.

Dari kasus-kasus yang dicatat Koalisi tersebut, tak satupun korporasi yang menjadi pelaku-nya, melainkan individu-individu yang hampir semua adalah warga yang tinggal di dalam/sekitar kawasan hutan. Hal yang sebenarnya bukan tujuan mengapa UU P3H dibentuk.

Nenek Asyani sekali lagi menjadi bukti bahwa Negara, telah sewenang-wenang terhadap warga melalui UU P3H, karena kewajiban negara untuk memperjelas tata batas kawasan hutan tidak dilakukan. Akibatnya, UU P3H gagal menindak korporasi besar perusak hutan yang melakukan kejahtaan terorganisir, melainkan menyasar dan mengkriminalkan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan. Koalisi Anti Mafia Hutan kini tengah melakukan Pengujian UU P3H ke Mahkamah Konstitusi dan meminta MK untuk membatalkan seluruh isi UU P3H. (dtc)

 

BACA JUGA: