JAKARTA,GRESNEWS.COM - Nenek Asyani, wanita tua didakwa mencuri kayu milik Perhutani hingga harus merasakan dinginnya lantai penjara. Padahal dalam menyelesaikan kasus ini, ada pendekatan lebih baik yang bisa dilakukan oleh penegak hukum di Situbondo, Jawa Timur.

"Sekarang banyak perkembangan teori hukum baru, ada restorative justice. Artinya hal tersebut (kasus Nenek Asyani) tidak usah ditahan atau diteruskan," ujar Pengamat Hukum Pidana Hibnu Nugroho, Sabtu (14/3).

Restorative justice sendiri merupakan pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan. Baik untuk pelaku tindak pidana maupun korbannya sendiri.

"Kalau melihat dampak, kerugian, biaya penyelesaian perkara lebih besar daripada hasil pencurian itu, harus lihat restorative. Itu terobosan baru kalau pengadilan lihat seperti itu. Sekarang kan banyak karena faktor ekonomi," kata Hibnu.

Guru Besar Unsoed Purwokerto ini mengingatkan pihak-pihak yang terkait pada kasus Nenek Asyani. Bahwa ada alternatif penyelesaian selain menggunakan cara formal dalam penegakan hukum.

"Sekarang perkembangan hukum lebih humanis terhadap kasus ringan. Lebih pada pemulihan keadaan masyarakat setempat. Harus berpikir seperti itu. Kerugiaan kecil, pelaku orang tua, apa yang mau dicari?" jelasnya.

Menurutnya ada banyak alternatif penyelesaian kasus nenek Asyani ini yakni tidak melalui jalur formal. Lebih pada pembelajaran ke masyarakat setempat. Suatu saat kalau ada seperti itu lagi, baru dikenakan.

Pendapat serupa juga disampaikan anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto. Menurutnya penegak hukum seharusnya menggunakan hati nurani dalam menangani kasus ini.

"Memang sebetulnya hukum itu ditegakkan untuk mencari keadilan. Tapi dalam menegakkan keadilan juga harus melihat segala kondisinya," ujar Didik.

Para penegak hukum diminta Didik untuk proporsional dalam proses hukum nenek 63 tahun itu. Menurutnya, perlu dilihat kevalidannya apakah kasus Nenek Asyani ini perlu diperkarakan.

"Harusnya aparat penegak hukum mempertimbangkan apa yang dialami masyarakat. Apakah itu pencurian, apakah proporsional untuk dijadikan perkara. Harusnya dilihat validitasnya, kita harap aparat penegak hukum melihat dengan mata hati," kata politisi Demokrat itu.

Apa yang dimaksud proporsional oleh Didik ini adalah bagaimana penegak hukum juga mempertimbangkan aspek pengetahuan Nenek Asyani mengenai keberadaan dari kayu jati yang diambilnya dari tanah milik Perhutani. Sebab bisa jadi Nenek Asyani memang tidak mengetahui bahwa ia tidak diperbolehkan mengambil kayu tersebut.

Terkait penebangan lahan yang dilakukan Nenek Asyani memang menimbulkan perdebatan. Kades Dwi Kurniadi menyatakan bahwa berdasarkan catatan tanah desa, tanah itu merupakan milik Asyani yang merupakan warisan dari suaminya. Namun ada juga yang mengatakan tanah itu sudah dijual keponakannya.

"Kami harap hakim bisa melihat dengan mata hati. Dalam proses penegakan hukum ini, hakim harus mempertimbangkan dengan hati nurani. Harus melihat dengan clear. apakah itu rasional. Jangan sampai tajam ke bawah tumpul ke atas," tutur Didik.

Nenek Asyani didakwa dengan Pasal 12 juncto Pasal 83 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan. Ia dituduh mencuri kayu jati milik Perhutani yang ia tebang sekitar 5 tahun lalu.

Warga Kecamatan Jatibanteng ini menangis sambil berlutut di ruang pengadilan agar ia bisa dibebaskan. Sejumlah tokoh, seperti Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, meminta agar permohonan penangguhan penahanan yang diajukan Asyani dikabulkan. Bahkan pihak Perhutani sendiri mengaku siap menjadi penjaminnya. (dtc)

BACA JUGA: