JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya menjegal pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 sebagai tindak lanjut peraturan pelaksanaan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) terus berlangsung. Setidaknya ada dua isu utama yang diangkat untuk menggoyang kebijakan pemerintah di bidang minerba ini, yakni isu pembangunan smelter dan pemutusan hubungan kerja (PHK) para pekerja tambang.  

Padahal pembentukan UU Nomor 4 Tahun 2009 merupakan upaya meluruskan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan yang dinilai sangat sarat kepentingan asing, khususnya Amerika Serikat. Pembentukan aturan tersebut juga dimaksudkan agar kekayaan sumber daya alam Indonesia bisa dimanfaatkan seluas-luasnya untuk kemakmuran masyarakat. Sebab dengan dilarangnya ekspor bahan mentah ke luar negeri, akan menciptakan nilai tambah bagi pemilik sumber daya alam. Sebab akan ada efek penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dengan dibukanya pabrik-pabrik pengolahan bahan baku atau smelter.

Soal smelter dipermasalahkan para pengusaha tambang dengan alasan biaya yang mahal dan waktu pembangunan yang lama. Mereka menggunakan persoalan smelter untuk meminta penundaan waktu pemberlakuan larangan ekspor bahan mentah. Dengan alasan ini sejumlah perusahaan tambang raksasa ini bisa mengulur waktu pemberlakuan larangan ekspor bahan mentah hingga beberapa tahun mendatang. Hasilnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengizinkan pemberian tenggat waktu sejumlah perusahaan tambang  untuk membangun smelter.

Sedangkan isu ancaman PHK para karyawan tambang juga gencar mereka usung untuk mempengaruhi kebijakan tersebut. Mereka berdalih dengan kebijakan ini akan ada 800.000 pekerja tambang akan terancam.  
   
Solidaritas Para Pekerja Tambang Nasional (Spartan) bahkan mengklaim saat ini di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, ditemukan 8.000 pekerja tambang yang di-PHK pascaterbitnya PP Nomor 1 Tahun 2014. Pihaknya mengaku bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) telah mengunjungi lokasi PHK masal pekerja tambang tersebut.

Dalam kunjungan tersebut Koordinator Spartan Juan Porti Silalahi mengaku rombongan Komnasham dan Spartan diterima langsung Bupati Konawe Utara (Konut) Aswat Sulaeman pada Senin (24/2). Pada kesempatan berbincang itu bupati Konut menyatakan terdapat 156 izin usaha pertambangan (IUP) di Konut. Namun, pasca terbitnya PP No.01 tahun 2014 telah menyebabkan PHK massal terhadap 8000 pekerja tambang. "Pak bupati berharap pemerintah pusat dapat menjadikannya sebagai pertimbangan untuk meninjau ulang regulasi tersebut," kata Juan Porti Silalahi kepada Gresnews.com (25/2).

Selain menemui bupati, Komnasham dan Spartan juga mengunjungi Dinas Pertambangan dan Disnakertrans Konawe Utara untuk mengetahui lebih detail kondisi pertambangan di Konut pascaterbitnya PP yang menyebabkan PHK Massal terhadap ratusan ribu pekerja tambang di seluruh Indonesia itu. Menurut Juan, hingga saat ini Spartan  terus melakukan konsolidasi dan akan tetap menuntut pemerintah agar segera meninjau ulang PP NO.01 Tahun 2014.

Menurut Juan, dampak PHK akan terus berlanjut akibat pemberlakuan PP itu. Dari catatan Solidaritas Para Pekerja Tambang Nasional, menurut dia, sedikitnya akan ada 2.878.415 pekerja yang terancam di-PHK dengan terbitnya regulasi larangan ekspor enam bijih mineral sejak 12 Januari 2014. Akibat itu, menurut dia, ribuan perusahaan pertambangan akan tutup lantaran tidak berproduksi lagi. Sementara berdasarkan data ESDM, hingga tahun 2013 terdapat 10.600 Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Hanya saja Juan tak menunjukan data dari perusahaan mana saja jumlah 8.000 pekerja tambang yang di-PHK tersebut. Ia juga tak menjelaskan mengapa perusahaan tambang tersebut harus tutup, sebab tidak ada larangan sepenuhnya untuk mengekspor barang tambang. Pemerintah sendiri hanya melarang ekspor tambang dalam bentuk bahan baku dan harus  diolah lebih dulu di dalam negeri.

Namun demikian Juan menuntut pemerintah harus meninjau ulang regulasi pelarangan ekspor mineral mentah agar tidak mengorbankan para pekerja tambang nasional. Kedua,  mengimbau seluruh pekerja tambang nasional di seluruh Indonesia agar bersatu dan menghimpun seluruh kekuatan untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Terakhir, mendesak pemerintah agar segera melakukan nasionaliasi aset tambang dan migas di seluruh Indonesia.

Menurut Komisioner pemantauan Komnasham Natalius Pigai, hasil peninjauan lapangan terhadap PHK massal ini akan dijadikan dasar untuk menggelar pertemuan dalam waktu dekat dengan sejumlah kementerian. Seperti Kementerian Energi Sumber daya mineral (ESDM), Kementerian Tenga Kerja dan Transimigrasi (Kemenakertrans), Kementerian Perindustrian dan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian untuk meminta penjelasan serta memberikan solusi terbaik menanggulangi dampak dari terbitnya PP Nomor 01 Tahun 2014 terhadap pekerja dan masyarakat lingkar tambang.

Komnas HAM, menurutnya, akan terus mendorong proses mediasi yang nantinya dapat bermuara pada perubahan kebijakan secara nasional yang tidak mengabaikan nasib para pekerja tambang. "Secara khusus kami juga akan segera mengundang pihak Kemenakertrans untuk menguji dampak regulasi serta meminta pertanggungjawaban pemerintah terkait dampak PHK massal akibat lahirnya PP Nomor 01 Tahun 2014," ujarnya kepada Gresnews.com, Selasa (25/2).

Pengamat pertambangan Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan munculnya PHK tidak bisa dihindari, tapi yang menjadi persoalan adalah sebutan PHK massal itu tidak tepat. Menurutnya, PHK yang disebut-sebut jumlahnya sangat besar sangat tidak relevan dan beralasan. "Kalau jumlah itu disuarakan asosiasi tambang atau melalui pihak lain, suaranya (PHK massal) pasti seperti itu," tegasnya.

Menurutnya, isu PHK itu bisa saja dikembangkan para pengusaha tambang agar mereka tetap bisa ekspor dan menghindari pembangunan smelter. Namun, ia mendorong agar pemerintah mengatasai dampak PHK tersebut, meski ia meyakini jumlahnya tidak akan sebesar yang disebut oleh Spartan.  Ia mencontohkan para pekerja yang kena PHK bisa dilibatkan dalam pembangunan smelter atau pembangunan infrastruktur terkait smelter. "Mereka harus diberikan kesempatan pertama, terutama bagi  pekerja yang di PHK dan memiliki bidang kemampuan dalam proses pembangunan smelter," kata Marwan kepada Gresnews.com, Selasa (25/2).

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 01 tahun 2014 sebagai tindak lanjut dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Selain dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Beleid ini menyebutkan bahwa semua perusahaan tambang tak boleh lagi melakukan ekspor mineral mentah per 2014. Perusahaan-perusahaan itu harus lebih dulu membangun smelter untuk pemurnian mineral hasil tambangnya sebelum diekspor.

UU tentang Pertambangan Minerba ini melarang ekspor produk minerba mentah mulai diberlakukan sejak 12 Januari 2014. Berdasarkan PP ini terdapat enam bijih mineral yang dilarang diekspor, yaitu emas, tembaga, bauksit, nikel, bijih besi dan batubara.

BACA JUGA: