JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pakar Hukum Tata Negara yang menjadi ahli kubu Aburizal Bakrie (Ical), Margarito Kamis, berpendapat, ketentuan Pasal 32 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) yang menyatakan putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan kepengurusan tidak berlaku dalam perkara sengketa dualisme Partai Golkar.

Alasannya, putusan MPG jelas tidak menyatakan mengakui, menerima atau memenangkan kubu Ical atau hasil Munas Ancol pimpinan Agung Laksono. Itu artinya, sengketa eksis atau tidak terselesaikan dan tidak diputuskan. Sehingga pejabat Tata Usaha Negara (TUN) tidak dapat menjadikan putusan itu sebagai dasar melakukan tindakan hukum baik untuk mensahkan salah satu kubu atau mengenyampingkan salah satu kubu yang bersengketa.

Berdasarkan pendapat tersebut maka putusan MPG tidak dapat dijadikan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly sebagai acuan mengeluarkan Surat Keputusan pengesahan kepengurusan hasil Munas Ancol pimpinan Agung Laksono.

"Amar Putusan MPG dua-dua, ini artinya tidak ada putusan. Putusannya harusnya mufakat atau suara terbanyak memutuskan menerima seluruhnya, menerima sebagian atau menolak. Ini kan tidak ada dalam amar MPG," tutur Margarito saat menyampaikan keahliannya di sidang lanjutan perkara sengketa dualisme kepengurusan Golkar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Pulogebang, Jakarta Timur, Senin (20/4).

Dalam hal pejabat TUN tetap mengeluarkan atau menerbitkan putusan untuk mengakui salah satu kubu, menurut penilaian Margarito maka SK Menkumham itu tidak kokoh, parsial dan tidak utuh maka bisa jadi objek perkara di PTUN. Seharusnya, kata dia, Menkumham bisa memahami, menggunakan logika dan melakukan penelusuran hukum untuk memastikan apa hasil MPG untuk dasar menerbitkan surat keputusan terkait konflik Golkar.

"Putusan final dan mengikat itu harus dibaca ketika MPG mengeluarkan putusan. Ini kan MPG tidak mengeluarkan putusan," tegas Margarito.

Sementara menurut kuasa hukum kubu Agung, Viktor Nadapdap, menegaskan putusan itu tetap sah karena sudah diambil oleh Mahkamah Partai secara institusi. Kepengurusan Agung  juga dianggap sah karena sudah memenuhi putusan mahkamah untuk mengakomodasi para peserta Munas Bali.

"Mahkamah Partai memutuskan mengabulkan permohonan Kubu Golkar Munas Ancol yang dipimpin Agung Laksono untuk mengakomodir Kubu Ical. Ada ini, bukan putusan main contek yang salah," ujar Viktor membaca putusan Mahkamah Partai Golkar.

"Secara fungsional, putusan Mahkamah Partai itu sah, karena juga sudah tercantum dalam UU Parpol bahwa Mahkamah Partai yang menyelesaikan sengketa kepengurusan, sehingga tidak bisa diselesaikan di PTUN" tegasnya.

Seperti diketahui, kedua kubu yang berseteru di Golkar punya penafsiran berbeda soal putusan Mahkamah Partai Golkar. Kubu Ical menganggap Mahkamah Partai tak bisa mengambil keputusan, sehingga sengketa kepengurusan Golkar dibawa ke pengadilan. Sedangkan Kubu Agung merasa dimenangkan oleh Mahkamah Partai, karena ada pendapat dari dua arbitrase, yaitu Andi Mattalatta dan Djasri Marin yang mengakui Munas Ancol.

Sementara Kemenkumham menyatakan menerima dan mengesahkan kepengurusan Golkar versi Agung Laksono. Keputusan itu menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, sejalan dengan keputusan Majelis Mahkamah Partai Golkar yang diketuk pada (3/3) lalu. Dan keputusan Mahkamah merupakan dasar bagi pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM untuk mengakui dan mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar di bawah kepemimpinan Agung Laksono dengan Sekretaris Jenderal Zainuddin Amali.

Pengakuan kepengurusan Agung itu dituangkan dalam Keputusan Menteri Nomor M.HH.AH.11.03-26 tertanggal 10 Maret 2015. "Menkum HAM merujuk pada keputusan Mahkamah Partai Golkar yang menerima hasil Munas Ancol yang menghasilkan Agung Laksono sebagai ketum," kata Yasonna di Gedung DPR/MPR, Jakarta, beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: