JAKARTA, GRESNEWS.COM – Sejumlah kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali menjadi sorotan, diantaranya adalah kewenangan Polri dalam menerbitkan administrasi kendaraan bermotor seperti Surat Izin Mengemudi (SIM), penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan lainnya. Kewenangan tersebut selama ini menjadi sumber pendapatan Polri diluar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2010 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) yang berlaku untuk Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) mengatur tentang pendapatan kepolisian yang dihasilkan dari sekitar sebelas sumber administratif. Dari sebelas sumber tersebut mayoritas terkait dengan kendaraan bermotor dan lalu lintas, diantaranya penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM), penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), penerbitan Surat Tanda Coba Kendaraan (STCK), penerbitan Surat Mutasi Kendaraan ke Luar Daerah, pelayanan ujian keterampilan mengemudi kendaraan melalui simulator, dan denda pelanggaran lalu lintas.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kepolisian RI dengan Komisi III DPR RI bulan Juni lalu, Kakorlantas Mabes Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Pol. Condro Kirono mengatakan bahwa target PNPB tahun 2015 dari sektor lantas sebesar Rp5,08 triliun, sementara realisasi sudah mencapai Rp1,75 triliun (per Juni 2015).

Ia juga menyatakan salah satu upaya untuk optimalisasi pendapatan PNPB itu, kepolisian akan melakukan optimalisasi fungsi lalu lintas yang terdiri dari pendataan dan registrasi kendaraan bermotor terpusat dan sistem pendataan kecelakaan lalu lintas.

Transparansi pendapatan Polri dari PNBP itu pun juga sempat dipertanyakan oleh Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Demokrat, Benny K. Harman. Ia menyadari pendapatan PNBP Polri dari pengurusan SIM, STNK, dan BPKB cukup besar, yakni sekitar 13,6 persen dari PNBP tiap tahunnya. Hanya saja ia meminta Polri untuk menjelaskan skema pendapatannya dengan serinci mungkin, sebab Benny mengaku pernah dipanggil KPK terkait dengan pengesahan PNBP Polri pada tahun lalu.

"Ini jangan sampai masalah lagi dikemudian hari. Karena, saya dipanggil KPK karena mengesahkan PNBP karena tidak merinci pengesahan PNBP di periode sebelumnya," kata Benny K. Harman dalam raker bersama Polri di DPR RI, Kamis (17/9) lalu.

MENIKMATI TAMBAHAN PENDAPATAN - Pada kesempatan terpisah, Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane membenarkan peningkatan pendapatan PNBP yang didapatkan Polri dari sektor lantas tiap tahunnya. Ia pun menegaskan bahwa Polri telah menjadikan pendapatan PNBP-nya itu sebagai anggaran tambahan diluar anggaran yang didapat dari APBN.

Dari PNBP inilah jajaran lalulintas mendapat tambahan signifikan untuk anggarannya. Disamping tentunya ada anggaran APBN," kata Neta S Pane kepada gresnews.com, Minggu (25/10).

Ketika disinggung soal transparansi pendapatan PNBP Polri, menurut Neta selama ini laporan pendapatan PNBP Polri dari penerbitan SIM, STNK, dan TNKB tergolong transparan. Sebab, penghitungan PNBP itu dihitung berdasarkan pajak yang masuk dan melibatkan petugas pajak dan aparatur kas Negara. Selain itu tambah Neta, distribusi PNBP pun dilakukan kepada Pemerintah dan diketahui oleh DPR RI.

Hanya saja ia mengakui pendapatan PNBP Polri dari sektor lantas itu kerap kali digunakan untuk proyek-proyek dilingkungan kepolisian yang menurutnya kurang tepat guna. Ia mencontohkan, salah satu proyek pengadaan yang menggunakan dana pendapatan PNBP Polri adalah proyek pengadaan simulator SIM yang diwarnai dengan praktek korupsi.  

Selain itu, pungli dipengurusan SIM, STNK, dan BPKB masih kerap terjadi, sehingga Neta menilai dua hal itu sangat membutuhkan pengawasan dari berbagai pihak agar tidak terus menerus terjadi penyimpangan.

"Kedua hal inilah yang perlu diawasi agar tidak terus menerus terjadi penyimpangan," ujarnya menegaskan.

JEGAL PENDAPATAN POLRI – Salah satu sumber pendapatan Polri yang cukup signifikan itu pun kini tengah dipersoalkan oleh sejumlah kalangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu sejumlah warga Negara Indonesia dan perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Reformasi untuk Polri mempersoalkan kewenangan Polri dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB ke MK.

Gugatan judicial review itu pun telah mendapatkan perhatian khusus dari Korps Bhayangkara itu, bak khawatir pendapatan yang mencapai triliunan rupiah pertahun itu lenyap dilalap pihak lain. Berbagai cara pun tampak digunakan sebagai strategi jitu untuk tetap mempertahankan kewenangan serta pendapatannya dari sektor lantas tersebut.

Hal itu dapat dilihat dari sejumlah ahli dihadirkan untuk memenangkan uji materi kewenangannya tersebut, diantaranya Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, Pakar Transportasi Publik, Tri Tjahyono, Ahli Hukum Pidana UGM, Marcus Priyo Gunarto, hingga seorang penyandang disabilitas, Kastanya.

Pada persidangan Kamis (22/10) lalu, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, kewenangan penerbitan SIM, STNK, dan BPKB lebih cocok jika tetap menjadi kewenangan Polri.  Ia menilai dari segi efisiensi dan networking yang dimiliki oleh Polri di seluruh daerah akan memudahkan Polri melakukan identifikasi kendaraan bermotor secara nasional.

Menurutnya, jika kewenangan ini dilimpahkan ke Kementerian Perhubungan seperti yang diinginkan para pemohon, hal itu tidak mungkin dilakukan. Sebab, menurut Yusril, Kementerian Perhubungan antara satu daerah dan daerah lain tidak memiliki konektivitas secara nasional, sehingga ia menilai Kementerian Perhubungan tidak akan dapat melakukan identifikasi forensic kendaraan bermotor secara nasional seperti yang sudah dilakukan oleh Polri selama ini.

"Negara akan mengalami kesulitan memiliki data base kendaraan bermotor, apalagi melakukan identifikasi kendaraan bermotor yang tidak jarang terkait dengan kemampuan forensik yang sama sekali bukan keahlian dan kemampuan Dinas LLAJ," kata Yusril di ruang persidangan Pleno MK, Kamis (22/10).

Melihat upaya Polri mempertahankan kewenangannya, lebih jauh lagi, Neta mengatakan, upaya judicial review kewenangan Polri dalam menerbitkan SIM, STNK dan BPKB itu sama halnya dengan upaya merebut sumber rezeki Polri dari kewenangannya.

Ia menegaskan, sumber pendapatan PNBP pengurusan administrasi kendaraan bermotor ini merupakan dana segar yang kerap digunakan untuk sejumlah proyek dilingkungan kepolisian. Menurutnya Korps Bhayangkara ini pun akan membentengi sumber pendapatannya dengan berbagai macam cara.

"Masalah utamanya adalah rebut rezeki, baik rezeki PNBP, proyek pengadaan maupun pungli,"ujarnya menegaskan.

TUDINGAN KRIMINALISASI – Pantauan gresnews.com di lapangan, suasana persidangan di ruang persidangan MK Kamis (22/10) siang hari itu tampak berbeda dari biasanya, Gedung Mahkamah Konstitusi yang berlokasi di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat siang itu dipenuhi aparat kepolisian berpakaian seragam.  Mulai lobby MK yang terletak di lantai satu terdapat sekitar 10 kursi khusus yang sengaja disediakan MK untuk anggota kepolisian menyaksikan jalannya persidangan melalui TV layar datar, di lantai dua tepatnya di ruang persidangan pleno berlangsung, kursi yang disediakan untuk para pengunjung sidang pun ikut penuh dengan petugas kepolisian, bahkan di balkon lantai tiga ruang persidangan pun ikut dipadati aparat Korps Bhayangkara berpakaian seragam yang ingin menyaksikan jalannya persidangan secara langsung.  

Jalannya persidangan pun sempat diwarnai aksi perdebatan antara kuasa hukum pemohon dan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon dan kuasa hukum para pemohon tidak terima lantaran sejumlah kuasa hukum para pemohon yang sempat dipanggil oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri atas kasus dugaan pemalsuan tandatangan dalam perbaikan berkas permohonan uji materi UU Polri dan UU LLAJ ini.

Kuasa hukum para pemohon, Erwin Natosmal Oemar, mengatakan, pihaknya mendapatkan perlakuan tak adil dari hakim Mahkamah Konstitusi selama proses uji materi ini berjalan. Ia menyatakan, kepolisian yang notabene sebagai pihak terkait dalam uji materi ini telah memanggil enam orang kuasa hukum dan pemohon pada hari Kamis (15/10) lalu untuk diperiksa sebagai saksi atas kasus dugaan pemalsuan tandatangan tersebut.

Menurut Erwin, surat panggilan terhadap sejumlah rekannya dalam kasus dugaan pemalsuan tandatangan ini adalah sebuah kejadian yang berlebihan dan harus ditanggapi dengan serius. Ia membandingkan, sebelumnya MK juga pernah menangani uji materi UU Sumber Daya Air yang kuasa hukum para pemohon ketika itu sangat banyak. Menurut Erwin, pada persidangan yang masih di nakodai oleh Prof. Jimly Assidiqie ketika itu Ketua Mahkamah hanya meminta kejelasan tentang posisi legal standing kuasa hukum para termohon, sehingga kuasa hukum para pemohon yang dianggap banyak tetapi tidak membubuhi tandatangan kuasa hukum hanya dilakukan proses eleminasi kuasa hukum, tidak sampai pada tataran pemeriksaan di kepolisian.

"Nah ini kan ada sesuatu yang janggal, ini sama halnya hakim MK memfasilitasi kriminalisasi pada kuasa hukum pemohon," kata Erwin saat ditemui usai persidangan di MK, Kamis (22/10) lalu.

BANTAHAN HAKIM MK – Menanggapi pertanyaan kuasa hukum pemohon terkait adanya dugaan laporan Hakim MK kepada pihak kepolisian tentang kasus dugaan pemalsuan tandatangan, Ketua Hakim Mahkamah, Arief Hidayat membantah jika dikatakan pihaknya melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.

Menurut Hakim Arief, Hakim Mahkamah tidak pernah melaporkan kasus ini ke kepolisian. Ia berdalih bahwa dipanggilnya para kuasa hukum pemohon atas dugaan pemalsuan tandatangan merupakan temuan dalam proses persidangan dan bukan berdasarkan laporan baik dari salah satu hakim Mahkamah ataupun secara kelembagaan.

"Tidak, tidak ada yang melapor dalam kasus ini. Ini temuan dalam persidangan bukan laporan," kata Arief menanggapi pertanyaan kuasa hukum para pemohon saat mengkonfirmasi kepada Majelis Hakim di ruang persidangan.

Tidak puas dengan jawaban Ketua Majelis Hakim, para kuasa hukum pun terus mencecar para hakim mahkamah dengan menginterupsi jalannya persidangan sesaat sebelum ketua Majelis Mahkamah mengakhiri persidangan. "Maaf yang mulia, sekali lagi saya ingin memastikan karena ini terkait dengan hak konstitusional para pemohon dan kuasa hukum pemohon yang mulia. Saya dapat informasi panggilan atas kawan-kawan kuasa hukum oleh Kepolisian itu berdasarkan laporan yang mulia. Apakah benar MK melaporkan kami ke kepolisian? Jika iya bagaimana teknis laporannya? Apakah diwakili oleh salah satu hakim atau secara kelembagaan yang mulia?" sela Erwin sebelum Ketua Majelis MK mengetukan palunya.

"Tidak ! Tidak, tidak ada laporan dari kami. Dan ini bukan delik aduan," tegas Ketua Mahkamah Arief Hidayat sesaat sebelum menutup persidangan.

"Oke saya pertegas berarti tidak ada laporan dari Mahkamah ke kepolian terkait tandatangan ini ya yang mulia, baik. Terima kasih yang mulia," jawab Erwin bak mendapatkan buruannya.

Kasus ini berawal dari kecurigaan Hakim Mahkaham Maria Farida Indrawati atas tandatangan kuasa hukum para pemohon pada perbaikan materi permohonan uji materi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) pada persidangan hari Kamis (1/10) lalu. Hakim Mahkamah meminta kejelasan perihal tandatangan yang tampak ditandatangani oleh satu orang dari kuasa hukum. Atas kecurigaan tersebut Ketua Hakim Mahkamah, Arief Hidayat meminta agar kuasa hukum mengklarifikasi dugaan pemalsuaan tandatangan tersebut. Arief pun meminta agar pihak kepolisian yang juga selaku pihak terkait untuk melakukan uji balistik atas tandatangan para pemohon dan kuasa hukum kasus tersebut.

Pada kesempatan itu, Hakim Mahkamah Arief Hidayat juga meminta para kuasa hukum pemohon untuk memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang membubuhkan tandatangan dalam surat permohonan agar diserahkan ke Panitera MK untuk di cek keabsahannya. Dengan meminta pihak kepolisian untuk membantu menguji keotentikan tandatangan para kuasa hukum pemohon, Hakim Mahkamah Arief juga meminta agar pihak Kepolisian harus independent dan objektif dalam membantu mengecek keontentikan dugaan pemalsuan tandatangan para kuasa hukum pemohon tersebut.

Menurut Arief, keabsahan atau keontentikan tandatangan ini sangat diperlukan dalam penanganan perkara disebuah persidangan, terlebih lagi dalam persidangan konstitusi. "Polri sebagai pihak terkait dalam kasus kita minta klarifikasi dan identifikasi tandatangan, Polri betul-betul bisa independen. Artinya keterangan itu kalau memang tandatangannya otentik, katakan otentik. Kalau tidak, katakan tidak otentik. Karena bisa berakibat kalau ini palsu maka permohonan ini gugur," kata Ketua Hakim Mahkamah, Arief Hidayat dalam persidangan sebelumnya.

Untuk diketahui pula, Para pemohon mempersoalkan sejumlah Pasal yang terdapat dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), adapun Pasal yang dipersoalkan adalah, Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88 UU LLAJ.

Mereka menganggap kebijakan Polri menerbitkan SIM, STNK dan BPKB bertentangan dengan Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan polisi sebagai alat keamanan negara yang bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat. Pemohon juga menilai kepolisian tidak berwenang mengurus administrasi penerbitan SIM, STNK dan BPKB namun hanya sebatas mengamankan dan menertibkan masyarakat. (Rifki Arsilan)


BACA JUGA: