JAKARTA, GRESNEWS.COM – Ketentuan Pasal 54 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) yang mengatur pasangan calon dinyatakan gugur karena salah satu kandidat meninggal dunia ketika masa kampanye dianggap sumir. Beleid ini dianggap tidak memperhatikan hak konstitusional warga Negara Indonesia.

Kuasa Hukum Calon Bupati Lampung Timur Erwin Arifin, Ridwan Darmawan, mengatakan ketentuan dalam Pasal 54 Ayat (5) UU Pilkada tersebut tidak memperhatikan hak politik warga Negara Indonesia. Alasan pemerintah yang menyatakan bahwa gugurnya pasangan calon karena salah satu pasangannya wafat adalah takdir, sangat sumir dan tidak rasional.

Menurutnya, kematian seseorang yang merupakan takdir tidak seharusnya berdampak pada hak politik bagi pasangan calon yang masih hidup. "Kami mengakui, kematian itu takdir hanya bagi yang wafatnya, tetapi bagi pasangan calon yang ditinggal wafat, lalu digugurkan, jelas bukan takdir," kata Ridwan kepada gresnews.com, Jumat (18/3).

Pada sidang perdana, calon Bupati Lampung Timur 2015 Erwin Arifin merasa ketentuan pengguguran pasangan calon kepala daerah yang salah satunya berhalangan tetap merugikan hak konstitusinya. Erwin dinyatakan gugur oleh KPU Lampung Timur dan tidak dapat mengikuti pilkada karena pendampingnya, calon Wakil Bupati Lampung Timur Prio Budi Utomo meninggal dunia saat masa kampanye.

Ridwan berpendapat ketentuan tersebut merupakan pembatasan melalui undang-undang yang bersifat teknis prosedural semata. Alasan gugurnya pasangan calon itu karena takdir telah menimbulkan interprestasi bagi calon yang masih hidup. Padahal secara konstitusi negara harus menjamin hak-hak politik setiap warga Negara Indonesia.

Ia menambahkan, alasan pemerintah yang menyatakan Pasal 54 UU Pilkada tahun 2015 memiliki kesamaan substansi dengan Pasal 63 Ayat (2) UU Pilkada tahun 2008 yang pernah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), justru menimbulkan ketidakpastian hukum serta ketidaksamaan perlakuan bagi permohon dengan aturan atau norma pada undang-undang aquo. Apalagi, lanjutnya, dalam ketentuan pasal aquo telah mengatur bahwa pasangan calon yang meninggal dunia atau wafat sebelum memasuki masa kampanye dapat digantikan, sementara untuk pasangan calon yang meninggal dunia ketika memasuki masa kampanye tidak dapat digantikan.

"Perbedaan itu jelas terlihat mengapa alasan atau pertimbangan hukum bahwa pasangan calon adalah satu kesatuan itu hanya berlaku bagi calon yang pasangannya wafat saat masuk kampanye saja, sementara bagi yang wafat sebelum masa kampanye menjadi tidak satu kesatuan?" ujarnya.

Ridwan menegaskan, seharusnya pemerintah bisa lebih dapat mempertimbangkan hak-hak warga Negara Indonesia dalam merancang sebuah undang-undang. Terlebih lagi saat ini pemerintah dan DPR tengah menggodok revisi UU Pilkada di DPR RI. Alangkah terhormatnya jika DPR RI dan pemerintah dapat mempertimbangkan ketentuan Pasal 54 Ayat (5) UU Pilkada dari pada melempar polemik dengan meningkatkan syarat pencalonan kepala daerah dengan jalur perorangan atau independen yang bersifat insidental.

"Fokus saja pada poin-poin undang-undang yang dirasa perlu diubah terutama disesuaikan dengan konstitusi. Meski memang justru terkait Pasal 54 ini lebih bijak menunggu putusan MK, karena disamping MK telah memutuskan pada putusan sebelumnya bahwa terkait persoalan itu adalah kewenangan pembuat legislasi, dan pengujian ini juga sekaligus mereview putusan MK, maka layak saya kira menunggu putusan MK atas perkara pengujian Pasal 54 ini," tandasnya.

SUDAH KONSTITUSIONAL – Dalam persidangan sebelumnya, Direktur Litigasi dan Perundang-undangan Kemenkum HAM Yunan Hilmy mengatakan syarat pengajuan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dalam pilkada merupakan bentuk pasangan calon yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. "Sehingga para calon itu tidak dapat dipilih secara sendiri-sendiri, melainkan dipilih sebagai satu kesatuan pasangan calon yang tidak dapat dipisahkan," kata Yunan Hilmy di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (17/3).

Lebih jauh Yunan menyampaikan, sebelumnya Mahkamah juga pernah memutuskan perkara serupa sekitar tahun 2010 silam. Ketika itu, lanjutnya, Mahkamah telah memutuskan perkara nomor 40/PUU-VIII/2010 dengan pertimbangan frasa "dan pasangan calon yang meninggal dunia tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur,". Ketika itu para pemohon mempersoalkan Pasal 63 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Namun, mahkamah berpendapat berbeda. Mahkamah menilai Pasal 63 Ayat (2) itu berkaitan dengan pasal dan ayat lain yang mengatur tentang pasangan calon dalam pemilihan 34 kepala daerah dan wakil kepala daerah ketika itu. "Mahkamah berpendapat bahwa undang-undang aquo tidak mengurangi hak konstitusional pemohon untuk berpartisipasi dalam pemerintahan karena kesempatan tersebut sudah diberikan, tetapi karena pasangan calon meninggal dunia, maka pasangan calon sebagai satu kesatuan digugurkan. Dan amar putusannya adalah menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ungkapnya.

Ia menambahkan, meskipun UU Pilkada sudah mengalami beberapa kali pergantian sejak tahun 2004 silam diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang, namun sistem dan nilai-nilai pemilukada yang dianut di dalam kedua undang-undang tersebut tetap sama dan tidak mengalami perubahan.

"Kami menilai bahwa ketentuan Undang-Undang aquo masih lingkup kebijakan legislasi yang tidak bertentangan dengan konstitusi," kata Yunan.

Yunan menegaskan bahwa pemohon perkara Nomor 140/PUU-XIII/2015 tidak memiliki kedudukan hukum untuk menguji materi UU Pilkada. Pemohon yang merupakan calon bupati Lampung Timur 2015 dinilai Pemerintah sudah tidak diuntungkan apabila permohonannya dikabulkan MK lantaran Pilkada Tahun 2015 sudah berakhir.

"Akan tepat jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," ujarnya dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.

MERASA DIZHOLIMI – Sebelumnya, calon Bupati Lampung Timur yang gagal maju dalam kontestasi Pilkada serentak 2015 silam, Erwin Arifin, sempat menyatakan kepada gresnews.com bahwa ia telah dizholimi oleh ketentuan Pasal 54 Ayat (5) UU Pilkada 2015 yang berbunyi, "Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara dan terdapat 2 (dua) pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan Pemilihan dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur."

Pernyataan itu disampaikan Erwin lantaran Calon Wakil Bupati yang akan menjadi tandemnya, Priyo Budi Utomo meninggal dunia pada Rabu (4/11). Sehingga ketentuan undang-undang aquo otomatis telah menggugur pasangan calon nomor urut 3 dari kontestasi pertarungan Pilkada serentak 9 Desember lalu.

Beleid lain yang mengharuskan Calon Bupati incumbent dari PDIP itu gugur dari kontestasi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Lampung Timur karena di wilayah itu memiliki tiga pasangan calon, juga termaktub dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, dan/atau Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, Pasal 83, yang menyatakan;

1. Dalam hal pada saat dimulainya kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, tetapi masih terdapat 2 (dua) pasangan calon atau lebih, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota melanjutkan tahapan Pemilihan.
2. Calon atau pasangan calon yang berhalangan tetap sebagaimana dimaksud ayat (1) dinyatakan gugur dan tidak dapat diajukan calon atau pasangan calon pengganti.
3. Calon atau pasangan calon yang dinyatakan gugur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Kendati sudah ditinggalkan tandemnya meninggal dunia, dan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Pilkada menyatakan dirinya tidak dapat ikut serta dalam bertarung pada Pilkada Desember mendatang karena di daerahnya memiliki dua pasangan calon lain, tidak menyurutkan langkah calon Bupati petahana itu untuk menempuh cara lain agar dirinya tetap diberikan ruang untuk ikut dalam kontestasi politik yang hanya tinggal menyisakan waktu kurang lebih satu bulan mendatang.

BACA JUGA: