JAKARTA,GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian petitum pemohon perkara 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materil sejumlah norma di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Hewan terhadap UUD 1945. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, perkara inilah yang kemudian membuat hakim konstitusi Patrialis Akbar terjerat pasal suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Menyatakan Pasal 36E Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam putusan ini," papar ketua MK Arief Hidayat, membacakan salah satu pokok amar putusan, Selasa (7/2).

Sebelumnya, hakim konstitusi Manahan Situmpol, ketua panel dalam perkara tersebut menerangkan bahwa MK menilai tidak ada persoalan konstitusionalitas di dalam norma-norma yang diajukan para pemohon dalam kaitannya dengan syarat dan pembatasan terhadap penggunaan sistem zona. Namun demikian, MK menilai, di dalam pelaksanaannya, khususnya terhadap produk hewan, syarat-syarat mengenai masuknya produk hewan ke Indonesia perlu diberi penegasan.

Terlebih, sambung Manahan, Pasal 36E Ayat (1) UU 41/2014 yang digugat pemohon sangat memungkinkan masuknya produk hewan dari negara atau zona dalam suatu negara. "Permasalahan pemasukan ternak dan atau produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah NKRI, khususnya yang berasal dari zona dalam suatu negara, haruslah juga didasarkan pada syarat keamanan maksimum," kata Manahan.

Adapun syarat keamanan maksimum yang dimaksud, salah satunya adalah mengharuskan setiap impor produk hewan memiliki sertifikat bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dari otoritas veteriner (lembaga yang secara khusus mengkaji dan mendalami isu-isu penyakit hewan—red) di negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Badan Kesehatan Hewan Dunia. Tak sekadar itu, sertifikat dari negara asal tersebut harus diakui pula oleh otoritas veteriner di Indonesia. Tentu, hal itu dimaksudkan guna menghindari masuknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) ke wilayah NKRI.

Selain itu, Manahan juga menerangkan, sesuai keterangan drh. Bachtiar Moerad, ahli yang dihadirkan pihak pemerintah, pemerintah sendiri sat ini tengah menjalankan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) yang pertama kali dicanangkan 2005 lalu. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan para peternak, PSDS diharapkan mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor daging sapi.

Namun tahun 2015 lalu, produksi daging nasional hanya sekitar 74% dari total kebutuhan nasional. Lantaran itulah selisih antara daging yang tersedia dengan jumlah total daging yang dibutuhkan harus ditutup melalui impor dalam bentuk impor ternak hidup dan daging.

"Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 36B Ayat (1) UU 41/2014 yang menyatakan bahwa pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat," kata Manahan.

Terkait hal itu, Manahan menegaskan bahwa impor ternak dan produk hewan ke dalam wilayah NKRI khususnya melalui sistem zona harus dipandang sebagai solusi sementara yang hanya dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu.

"Syarat inilah yang mutlak harus diterapkan dalam penggunaan sistem zona ketika negara memasukan Produk Hewan ke dalam wilayah NKRI, sehingga secara a contrario harus dimaknai bahwa tanpa terpenuhinya syarat tersebut, pemasukan Produk Hewan dari zona dalam suatu negara atau dengan sistem zona ke dalam wilayah NKRI adalah inkonstitusional," sambung Manahan.
BEDA OBJEK DAN KEAMANAN MAKSIMUM - Para pemohon mendalilkan bahwasanya norma Pasal 36C Ayat (1) dan Ayat (3), serta Pasal 36D Ayat (1) dan Pasal 36E Ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak sejalan dengan putusan MK Nomor 137/PUU-VII/2009. Menanggapi hal itu, hakim konstitusi I Gede Dewa Palguna menyebut terdapat perbedaan objek pengaturan antara norma Pasal 59 Ayat (2) UU 18/2009 yang telah diputus MK melalui putusan nomor 137/PUU-VII/2009, dengan sejumlah norma di dalam UU 41/2014 yang digugat pemohon.

Pasal 59 Ayat (2) UU 18/2009 menyatakan, "Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan".

Palguna menerangkan, objek pengaturan Pasal 52 Ayat (2) UU 18/2009 adalah "produk hewan", berbeda dengan Pasal 36C dan Pasal 36D UU 41/2014 yang keduanya menyebut "Ternak Ruminansia Indukan" sebagai objek pengaturan. Ketentuan Umum UU 18/2009  yang diatur di dalam Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa produk hewan adalah semua bahan yang berasal dari hewan yang masih segar dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan manusia.  

Sedang definisi "Ternak Ruminansia Indukan" sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 5b UU 41/2014 adalah ternak betina bukan bibit yang memiliki organ reproduksi normal dan sehat digunakan untuk pengembangbiakan. "Dengan demikian, menurut Mahkamah terdapat perbedaan objek pengaturan antara norma yang telah diputus pada Putusan Mahkamah sebelumnya dengan Pasal 36C dan Pasal 36D UU 41/2014," kata Palguna.

Sebelumnya, Palguna juga menerangkan bahwa pemerintah, dalam hal ini pembentuk undang-undang, sama sekali tidak mengabaikan putusan MK nomor 137/PUU-VII/2009 saat menyusun UU 41/2014. Menurut Palguna, setelah memeriksa kembali secara cermat putusan tersebut di atas, tampak jelas bahwa alasan MK mengabulkan  permohonan pemohon saat itu dengan pertimbangan ancaman bahaya terhadap bangsa,  manusia dan hewan di Indonesia yang dapat ditimbulkan oleh masuknya ternak maupun produk hewan dari suatu zona dalam suatu negara jika tidak diterapkan keamanan maksimal (maximum security) terhadap proses dan persyaratan impor ternak maupun produk hewan dari suatu zona dalam suatu negara.

Palguna menyampaikan, saat itu MK memiliki landasan yang kuat untuk menyatakan norma UU 18/2009 yang dimohonkan pengujian, khususnya yang berkenaan dengan "zona", inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. Alasan MK, sambung Palguna, Undang-Undang tersebut dinilai tidak memuat ketentuan yang menerapkan keamanan maksimal (maximum security) dalam persyaratan dan tata cara pemasukan ternak maupun produk hewan yang berasal dari zona dalam suatu negara.

Lantaran UU 41/2014 merupakan UU perubahan terhadap UU 18/2009, dan di dalamnya kembali ditemukan norma yang memungkinkan adanya impor hewan ternak dan produk ternak dengan menggunakan sistem zona—yakni norma Pasal 36C Ayat (1), Pasal 36C Ayat (3), Pasal 36D Ayat (1) dan Pasal 36E Ayat (1) UU 41/2014 maka untuk menentukan konstitusionalitas norma a quo salah satunya dapat dilakukan dengan melihat ada-tidaknya keamanan maksimum yang disyaratkan pemerintah di dalam UU 41/2014.

Dan untuk itulah menurut Palguna, semua pihak perlu melihat UU 41/2014 secara keseluruhan dan utuh, baik dalam konsiderans maupun dari norma-norma tertentu yang mengatur soal impor ternak dan/atau produk hewan yang berasal dari zona dalam suatu negara.

"Dalam konsiderans bagian ‘Menimbang’ huruf b UU 41/2014 dinyatakan bahwa dalam penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan, upaya pengamanan maksimal terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak, hewan, dan produk hewan, pencegahan penyakit hewan dan zoonosis, penguatan otoritas veteriner, persyaratan halal bagi produk hewan yang dipersyaratkan, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran kesejahteraan hewan, perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat," papar Palguna.

Ia menjelaskan, dari rumusan dalam konsiderans di atas terlihat jelas bahwa, meskipun tidak disebut secara tegas, pembentuk Undang-Undang telah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pendapat MK sebagai pertimbangan dalam menyusun atau merumuskan UU 41/2014. "Kesungguhan pembentuk Undang-Undang sebagaimana dirumuskan dalam Konsiderans bagian ‘Menimbang’ huruf b tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan norma Undang-Undang a quo berkenaan dengan syarat dan tata cara pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri," kata Palguna.

Apabila syarat dan tata cara impor tersebut disistematisasikan maka ketentuannya adalah sebagai berikut:

1) Pemasukan Ternak dan produk hewan dari luar negeri hanya dapat dilakukan apabila produksi dan pasokan ternak dan produk hewan di dalam negeri belum mencukupi;

2) Pemasukan Ternak harus berupa “bakalan”,

3) Pemasukan Ternak ruminansia besar bakalan tidak boleh melebihi berat tertentu;

4) Pemasukan Ternak ruminansia bakalan dan besar bakalan diharuskan:

a. Memenuhi persyaratan teknis kesehatan hewan

b. Bebas dari penyakit hewan menular yang dipersyaratkan oleh otoritas veteriner; dan

c. Memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan;

5) Persyaratan a, b, c pada angka 4) di atas juga berlaku terhadap pemasukan ternak dengan tujuan untuk dikembangbiakkan di Indonesia;

6) Pemasukan Ternak bakalan wajib memperoleh izin Menteri;

7) Pihak yang melakukan pemasukan ternak bakalan wajib melakukan penggemukan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka waktu paling cepat empat bulan sejak dilakukan tindakan karantina berupa pelepasan.

Sementara itu, khusus untuk pemasukan ternak ruminansia indukan yang berasal dari zona dalam suatu negara, UU 41/2014 menentukan persyaratan yang ketat yang apabila disistematisasikan adalah sebagai berikut:

1. Pemasukan dan tata caranya ditetapkan berdasarkan analisis risiko di bidang kesehatan hewan oleh otoritas veteriner dengan mengutamakan kepentingan nasional;

2. Pemasukan itu harus terlebih dahulu:

a. dinyatakan bebas penyakit hewan menular di negara asal oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh otoritas veteriner Indonesia;

b. dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan

c. ditetapkan tempat pemasukan tertentu.

"Dengan adanya pengaturan yang demikian, Mahkamah berpendapat bahwa pembentuk undang-undang telah sungguh-sungguh memperhatikan pertimbangan hukum Mahkamah berkenaan dengan persyaratan dan tata cara pemasukan ternak maupun produk hewan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga memenuhi prinsip keamanan maksimum (maximum security) sebagaimana ditekankan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Nomor 137/PUU-VII/2009," kata Palguna.

Menanggapi putusan di atas, Teguh Boediono, salah seorang pemohon, menerangkan bahwa meski kecewa, pihaknya menyambut baik putusan MK.

"Sekalipun permohonan kami ditolak oleh MK—MK menyebut dikabulkan sebagian, tapi bagi saya itu sebenarnya ditolak—saya menyambut baik putusan ini karena putusan ini menegaskan syarat-syarat berlakunya sistem maximum security. Kami menyambut baik putusan ini, sekalipun menyedihkan sebenarnya," kata Teguh, usai persidangan. (Zulkifli Songyanan)

 

BACA JUGA: