JAKARTA, GRESNEWS.COM – Nasib Hakim Sarpin Rizaldi bergantung pada putusan rapat pleno tujuh komisioner Komisi Yudisial (KY) yang digelar pekan depan. Putusan pleno tersebut sebagai tindak lanjut laporan dari aktivis antikorupsi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil yang mengadukan Sarpin ke KY pada Selasa (17/2/2015).

Sarpin diduga melanggar Pasal 8 dan Pasal 10 Kode Etik Pedoman dan Perilaku Hakim saat ia memberikan putusan dalam praperadilan terhadap Komjen Budi Gunawan. Sarpin memutuskan bahwa status tersangka yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Budi tidak sah secara hukum.

Persoalannya sejumlah pihak menilai apa yang dilaporkan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi dinilai tak ada kaitannya dengan etik tapi berkaitan erat dengan hukum acara pidana (KUHAP). KY sendiri enggan membeberkan lebih banyak soal hasil pemeriksaan terhadap kasus ini. Sebab ada kemungkinan pelanggaran hukum acara bisa beririsan dengan pelanggaran kode etik seorang hakim.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi Erwin Natosmal Oemar mengatakan poin yang koalisi laporkan terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Sarpin terdiri dari beberapa poin. Sehingga tidak hanya terbatas soal objek praperadilan terkait penetapan tersangka. Pada akhir April lalu Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan. Mahkamah menambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan.

"Tidak ada sangkut pautnya antara putusan Mahkamah Konstitusi terhadap laporan publik. Ya mungkin terhadap poin Pasal 77 tentang tafsir praperadilan, tapi di luar itu ada hal-hal yang kami laporkan juga," Erwin kepada gresnews.com, Selasa (23/6).

Ia menambahkan argumentasi Sarpin yang dianggap janggal diantaranya terkait pertimbangan putusan yang menyebutkan Budi Gunawan yang menjabat sebagai kepala biro bukan merupakan penegak hukum. KPK saat itu  mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi ketika menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian.

Di situ ada kontradiksi tafsir, misalnya, ketika menafsirkan praperadilan begitu luas sampai pada penetapan tersangka tapi dalam argumentasi lainnya sangat positivistik soal bukan penegak hukum.  Menurutnya, ketika Sarpin menafsirkan putusan dengan argumen yang saling kontradiktif menunjukkan keanehan. Sehingga putusan Sarpin dianggap dibuat seenaknya.

"Dalam melihat kasus ini kami minta KY harus progresif melihat rasa keadilan masyarakat dalam memutuskan dugaan pelanggaran kode etik ini," lanjutnya.

KY TAK BERWENANG MENILAI PUTUSAN PERKARA - Menanggapi hal ini, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi PDIP Junimart Girsang mengatakan KY memiliki tugas hanya memeriksa kode etik hakim. Selebihnya KY tidak memiliki kewenangan seperti menilai putusan perkara. Sehingga KY hanya dapat menyelidiki dan membuktikan seorang hakim dalam melakukan tugasnya telah menyalahi kode etik atau tidak.

"Jadi kalau disebut positivisme, itu bukan urusan KY. Fungsi dan kewenangan KY bukan memeriksa itu," ujar Junimart saat dihubungi gresnews.com, Selasa (23/6).

Ia menjelaskan dalam menangani perkara, hakim diperbolehkan menggali dan menemukan hukum. Sehingga hakim tidak boleh kaku sepanjang putusannya bisa dipertanggungjawabkan. Menurutnya, Sarpin punya penilaian khusus kenapa istilah kepala biro saat Budi menjabat tidak masuk ke ranah penegak hukum.

Terkait hal ini, pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda mengatakan argumentasi Sarpin yang mengatakan Budi tidak masuk kategori aparat penegak hukum saat menjadi kepala biro bukan persoalan karena itu ruang kebebasan hakim dalam menafsirkan UU. Menurutnya yang terpenting penafsirannya tidak bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam hukum.

"Mau menafsirkan positivistic atau secara lain, itu kebebasan dia sebagai hakim. Tapi bukan persoalan yang menjadi permasalahan. Apalagi dihubungkan dengan KY.  KY itu melihat ada pelanggaran etika atau tidak," ujar Chairul saat dihubungi gresnews.com, Selasa, pada kesempatan terpisah.

Terkait kontradiksi yang ada dalam pertimbangan Sarpin seperti yang dikemukakan Erwin, Chairul menuturkan dalam KUHAP isinya ada dua yaitu melindungi dan mengurangi hak terpidana. Ketika Sarpin menafsirkan soal kewenangan praperadilan, Sarpin dinilai sedang melindungi hak orang. Sehingga boleh saja jika hakim ingin menafsirkan norma secara luas sesuai ketentuan undang-undang.

Lalu ketika Sarpin menafsirkan Budi masuk dalam kategori penegak hukum atau bukan, Sarpin akan masuk ke ranah untuk mengurangi hak terpidana. Pengurangan hak seorang terpidana tidak boleh didasarkan pada penafsiran yang terlalu luas. Sehingga cara penafsirannya berbeda dan bukan merupakan kontradiksi.  

PEMERIKSAAN KY PADA SARPIN RAMPUNG - Menanggapi hal ini, Komisioner Komisi Yudisial Imam Anshori Saleh menuturkan pemeriksaan KY terhadap dugaan pelanggaran etika Sarpin tinggal memasuki tahapan pleno. Sementara pemeriksaan sudah selesai. KY juga sudah memanggil Sarpin sebanyak dua kali tapi tidak pernah datang. Sehingga KY akan memplenokan perkara ini tanpa keterangan dari Sarpin.

Pada Kamis (02/04) lalu, Sarpin diminta untuk hadir di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, Sarpin tidak memenuhi panggilan tersebut. Kemudian, pada Selasa (28/04), Sarpin dipanggil untuk kali kedua, dan kembali tidak hadir.

Selama penyidikan, tim panel KY telah memeriksa beberapa saksi yang diduga mengetahui mengenai mengenai laporan terhadap Sarpin. Beberapa di antaranya, pengacara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengacara Komisaris Jenderal Budi Gunawan, dan Ketua PN Jaksel.

Saat ditanya kewenangan KY dalam memeriksa argumen pelapor Sarpin yang banyak menggunakan argumen terkait KUHAP, Anshori mengatakan KY memiliki prinsip tidak boleh memasuki putusan. Tapi ketika ada hal yang dianggap tidak professional dalam mengadili, KY bisa masuk ke dalam wilayah tersebut. "Tapi untuk Sarpin saya tidak tahu persis karena saya bukan panelnya. Panelnya Pak Taufiq," ujar Imam pada gresnews.com.

Selanjutnya, gresnews.com mengkonfirmasi Komisioner KY yang menjadi panel dari perkara Sarpin, Taufiqurrohman Syahuri. Taufiq, sapaan akrabnya, enggan menjelaskan lebih jauh soal putusan terhadap Sarpin. Gresnews.com pun mempertanyakan kembali soal sejauh mana kewenangan KY dalam memeriksa laporan masyarakat yang memasukkan unsur hukum acara terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim.

ARGUMENTASI KY PERIKSA SARPIN - Terlepas putusan KY terhadap Sarpin, Taufiq menjelaskan di satu sisi hukum acara kadang memiliki irisan atau keterkaitan dengan etika dan perilaku hakim. Tapi di sisi lain bisa saja pelanggaran hukum acara yang dilakukan seorang hakim tidak ada kaitannya dengan pelanggaran kode etik hakim.

"Apakah ada keterkaitan dengan etika itu nanti tergantung hasil pemeriksaan KY," ujar Taufiq saat dihubungi.

Ia mencontohkan pelanggaran hukum acara yang memiliki irisan dengan pelanggaran etik. Misalnya seorang hakim dalam mengadili harus memberikan kesempatan dua belah pihak berperkara untuk memberikan keterangan.

Kalau hakim hanya memberikan kesempatan hanya pada satu orang maka hakim bersangkutan dapat dikatakan melanggar hukum acara sekaligus melanggar kode etik. Sebabnya hakim tersebut bersikap parsial atau berpihak.

Adapun contoh adanya pelanggaran hukum acara yang tidak terkait etik misalnya ada gugatan dan berhasil mencapai perjanjian damai. Lalu hakim tidak membuat akte perdamaian. Maka dapat disimpulkan hakim melanggar hukum acara tapi tidak melanggar kode etik.

Kalau ada kasus pelanggaran hukum acara yang sama sekali tidak beririsan dengan pelanggaran etik maka KY akan mengembalikan persoalan ini ke Mahkamah Agung untuk melakukan penilaian. Aturan soal laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran etik yang juga menyangkut pelanggaran hukum acara tercantum dalam Peraturan Bersama (Perba) Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Taufiq menyebutkan aturan tersebut tercantum dalam Pasal 17 Perba tersebut. Pasal 17 Perba Nomor 2/2012 ayat (1) menyebutkan dalam hal KY menerima laporan dugaan pelanggaran kode etik yang juga merupakan pelanggaran hukum acara, KY dapat mengusulkan pada MA untuk ditindaklanjuti. Lalu ayat (2) Pasal 17 berisi ketentuan MA dalam menilai laporan masyarakat yang diusulkan KY dianggap tidak layak ditindaklanjuti, MA harus memberitahukan pada KY paling lama 30 hari sejak hasil telaahaan diterima. Sementara jika layak ditindaklanjuti, maka MA harus memberitahu hasilnya paling lama 60 hari.

TEKNIS HUKUM ACARA PIDANA - Terkait hal ini pengamat hukum Chairul Huda menilai apa yang dilaporkan koalisi terkait pertimbangan Sarpin yang positivistic berkaitan erat dengan teknis hukum acara pidana sehingga tidak berkaitan dengan persoalan dengan etika hakim. "Memang pihak KY tidak perlu mengerti hukum karena yang dia cari pelanggaran etika. Kalau ini berkaitan dengan teknis hukum yang hanya dimengerti orang yang mendalami KUHAP," ujarnya.

Terkait dengan putusan MK yang memperluas objek praperadilan, ia menilai putusan MK sebenarnya berlaku ke depan. Meskipun putusan MK muncul setelah putusan praperadilan Budi Gunawan, putusan MK seolah menjadi pembenaran atas putusan Sarpin. Sehingga persoalan penetapan tersangka yang sebelumnya menjadi kontroversi lantaran dianggap tidak masuk ke dalam objek praperadilan, tidak lagi menjadi kontroversi.

Ia menjelaskan putusan MK terkait penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dan putusan praperadilan Sarpin juga memiliki pemohon berbeda. Dalam putusan MK, pemohonnya adalah salah satu pegawai Chevron dan dalam praperadilan pemohonnya Budi. Meski pemohonnya berbeda, secara teoritik persoalan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan malah ‘ketemu’.

Untuk diketahui, sebelumnya, Presiden Jokowi mengajukan Komjen Budi Gunawan sebagai calon kapolri. Tapi Budi Gunawan  malah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Akhirnya Budi Gunawan mengajukan praperadilan atas penetapannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Akhirnya PN Jaksel melalui hakim tunggal Sarpin Rizaldi membatalkan penetapan status tersangka Budi dengan alasan saat kasus itu terjadi Budi menjabat sebagai kepala biro pembinaan karir yang tidak masuk ke dalam kategori penegak hukum.

Akibat putusan tersebut, koalisi masyarakat sipil anti korupsi pun melaporkan Sarpin atas dugaan pelanggaran kode etik pada KY.  Paska laporan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diantaranya Pasal 77 huruf a tentang objek praperadilan. Hakim konstitusi dalam putusannya memutuskan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk ke dalam objek praperadilan.

Putusan ini merupakan uji materi atas Pasal 1 angka 2, angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29, Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2), dan ayat (4) KUHAP. Permohonan ini diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, General Manager Sumatera Light South PT Chevron Pasific Indonesia yang menjadi terdakwa korupsi bioremediasi. Bachtiar telah divonis selama 2 tahun dengan denda Rp200 juta subsidair 3 bulan kurungan pada 17 Oktober 2013.

BACA JUGA: