JAKARTA, GRESNEWS.COM - Proses pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang selama ini menjadi domain pemerintah tingkat dua yaitu bupati dan walikota dinilai banyak menimbulkan permasalahan. Salah satunya, IUP kerap digunakan sebagai "alat balas budi" dan diperjualbelikan oleh pihak kepala daerah yang berkuasa.

Penyebabnya antara lain karena para pemegang kuasa perizinan tambang banyak yang bukan berprofesi sebagai penambang, sehingga riskan terjadi praktik percaloan dalam pemberian izin tambang.

Joko Purwanto, anggota Komisi VII DPR RI, menyatakan parlemen sedang melakukan proses perbaikan UU Minerba terkait pemberian izin tambang. Menurutnya, permasalahan yang paling marak adalah ditemukannya para pemegang kuasa izin yang merupakan teman dekat atau tim sukses dari para bupati atau walikota terpilih. "Hal ini harus segera dibenahi," kata Joko kepada gresnews.com, Rabu, (26/7).

DPR selaku legislator, sore kemarin (26/7), telah melakukan rapat kerja dengan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said  terkait RUU Minerba yang di dalamnya menyoal juga permasalahan izin pertambangan. "Kita akan lakukan perubahan secara menyeluruh. Sampai saat ini sudah tahap pembahasan naskah akademis dan akan mengakomodir berbagai narasumber," ujarnya.

Joko menambahkan, izin pertambangan akan dipegang gubernur karena dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, sehingga pusat dapat melakukan kontrol secara menyeluruh terhadap pemberian izin pertambangan yang sebelumnya karut-marut di tangan walikota dan bupati.

Ke depannya, pemerintah dan DPR akan mengatur mekanisme perizinan, dengan berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis agar pengelolaan pertambangan lebih baik. "Pemberian izin selama ini dipandang memiliki banyak masalah dan saya berharap gubernur bisa mengontrol hal tersebut," kata Joko.

Hal ini inilah, kata dia, yang berusaha ditertibkan, sehingga pemegang usaha izin tambang benar-benar merupakan seorang penambang. Ditambah lagi akan ada pembahasan mengenai pengukuran bagi hasil secara proporsional karena banyak daerah pertambangan yang ada wilayah kabupaten dan kota.

Walaupun demikian, secara pribadi ia mengusulkan agar perizinan tambang dipegang oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian ESDM. Sebab, ia tidak terlalu yakin gubernur dapat melakukan kontrol pemberian izin dengan baik, sebab gubernur harus terlebih dahulu menertibkan banyaknya izin tambang yang tidak jalan atau pun perizinan tambang palsu. "Tapi ini belum final lho, karena masih dibahas, jadi tidak menutup adanya perubahan," tutup Joko.

Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said, dalam siaran pers (21/7), memaparkan tentang Clean and Clear (CNC) Izin Usaha Pertambangan sebagai bentuk keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan masalah pertambangan. Kini, IUP yang berstatus CnC jumlahnya mencapai 60% dari 10.388 IUP yang terdata di Kementerian ESDM. IUP dapat dinyatakan CnC apabila memenuhi aspek administrasi dan kewilayahan.

Menteri ESDM juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang kewenangan evaluasi penerbitan IUP di daerah oleh gubernur.

BELUM PERHATIKAN LINGKUNGAN - Sementara itu Merah Johansyah Ismail dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan penataan IUP yang dilakukan pemerintah tidak untuk mencabut izin tambang. Hal itu justru  menegaskan amburadulnya kepengurusan sektor pertambangan dan ketidakmampuan pemerintah menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan di sekitar pertambangan.

Pemerintah pusat hingga daerah dinilai hanya meneruskan tradisi membangun sektor pertambangan di atas perampasan lahan yang mahaluas. Pendapatan royalti tidak seberapa, ongkos pemulihan lingkungan justru tak dihitung, serta suburnya peluang korupsi. "Jadi apabila izin tambang diberikan kepada gubernur tidak akan menjamin izin pertambangan lebih baik dan tidak membabi buta," ujar Merah kepada gresnews.com, Rabu (26/7).

Ia menambahkan, pemberian kewenangan evaluasi penerbitan IUP dan tambang Non Clean and Clear melalui gubernur seolah merupakan upaya terobosan baru, padahal sebaliknya. Peraturan semacam itu sudah ada sejak lama, contohnya sudah ada PP Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba dalam Pasal 102, juga pada PP Nomor 55 Tahun 2010 Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Pertambangan Minerba pada Pasal 2 dan 13 begitu juga pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang ESDM kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dalam rangka penyelenggaraan dekonsentrasi.

"Padahal sejak awal gubernur dan Menteri ESDM sudah dapat melakukan evaluasi tanpa harus menunggu dikeluarkannya produk hukum baru lagi," ujarnya.

Ia memandang sikap pemerintah terkait penataan dan penertiban IUP, tidak lebih dari ketidakmauan pemerintah untuk mengubah ketergantungan terhadap tambang serta lebih mengedepankan sektor tambang menjadi mesin devisa, penertiban dan penataan izin dilakukan hanya untuk mendapatkan rente atau uang dari finansialisasi alam dan bahan mineral dan batubara Indonesia.

Hal ini akhirnya menyebabkan keselamatan rakyat dan lingkungan tidak menjadi aspek yang dipertimbangkan dalam mekanisme CnC. Ia mencontohkan IUP batubara yang menyebabkan 24 anak tewas di lubang tambang yang tak direklamasi justru tak dicabut izinnya. Begitu juga dengan IUP PT Citra Buana Seraya di Bengkulu Tengah yang mencipta konflik dengan warga, hingga terjadi penembakan 9 warga. Perusahaan-perusahaan  itu justru  masuk dalam kategori clean and clear.

"Mekanisme CnC tak lebih dari penghinaan terhadap lingkungan hidup dan keselamatan rakyat," tegasnya.

Diketahui dari 10.388 IUP yang beredar, ada 4.023 IUP belum CnC alias abal-abal. Bahkan hingga Juni 2016 ini sebanyak 534 IUP non CnC telah dicabut oleh gubernur. Kemudian dari 4.023 IUP non CnC tersebut, 1.079 IUP telah mendapat rekomendasi dari gubernur untuk mendapat status CnC. Tetapi dari 1.079 IUP yang direkomendasikan CnC, ternyata hanya 187 IUP yang benar-benar siap memperoleh status CnC. Sisanya sebanyak 892 masih abal-abal.

BACA JUGA: