JAKARTA, GRESNEWS.COM - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri mulai melakukan penyelidikan atas laporan dugaan tindak pidana yang dilakukan empat orang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyidangkan perkara gugatan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) atas kewenangan Komisi Yudisial menyeleksi hakim.

Proses dimulainya penyelidikan itu diungkapkan Koordinator Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) Lintar Fauzi. Fauzi mengaku dirinya sudah dipanggil penyidik Bareskrim Mabes Polri untuk dimintai keterangan terkait laporan yang disampaikannya ke Polda Metro Jaya 13 Oktober silam.

"Iya benar kemarin siang saya dipanggil untuk diperiksa terkait laporan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh 4 orang hakim MK," kata Lintar Fauzi melalui sambungan seluler kepada gresnews.com, Selasa (15/12).

Ia menambahkan, pemeriksaan penyidik Bareskrim Mabes Polri itu adalah pemeriksaan pertama kali pasca pelaporannya. Sebelumnya Lintar melaporkan  dugaan tindak pidana menyalahgunakan wewenang sebagaimana diatur dalam pasal 421 KUHP yang diduga dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat dan tiga orang hakim MK lainnya ke Polda Metro Jaya Oktober lalu.

Ia menjelaskan sebelumnya laporan terhadap sejumlah hakim Mahkamah Konstitusi itu ditujukan ke Polda Metro Jaya. Namun oleh Polda Metro Jaya kasusnya dilimpahkan ke Mabes Polri.  

Dalam surat pemanggilan yang diterima Lintar, telah dijelaskan pelimpahan laporan dari Polda Metro Jaya ke Mabes Polri dilakukan berdasarkan Surat Pelimpahan Polda Metro Jaya bernomor : B/18636/XI/2015/Datro tertanggal 19 November 2015.

Menurut Lintar, penyidik yang menangani perkara ini adalah AKBP. Rivai Arvan. Sesuai keterangan AKBP Rivai Arvan, pelimpahan perkara dilakukan karena laporan dugaan tindak pidana penyalahgunaan wewenang ini melibatkan salah satu petinggi negara, sehingga penanganan perkaranya harus ditangani oleh Bareskrim Mabes Polri.

Lintar mengakui, dirinya telah dicecar puluhan pertanyaan oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri. Penyidik menanyakan seputar kronologis persidangan yang diduga terdapat unsur pidana di dalamnya. Ia juga mengaku telah menjelaskan kepada penyidik tentang kehadiran sejumlah saksi lain yang menyaksikan persidangan yang dianggapnya janggal itu.

"Kemungkinan dalam waktu dekat ini penyidik akan memanggil saksi-saksi atau pihak terkait lainnya," ujarnya.

Seperti diketahui, bulan Oktober lalu, sejumlah aktivis mahasiswa yang tergabung dalam GMHJ telah mendatangi Polda Metro Jaya. Mereka melaporkan empat hakim MK yang dianggap melanggar ketentuan Undang-Undang Kewenangan Kehakiman ketika menangani gugatan perkara Nomor 43/PUU-XII/2015 yang diajukan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Keempat hakim MK yang dilaporkan adalah, Hakim Anwar Usman, Hakim Suhartoyo, Hakim Manahan Sitompul, dan Ketua MK Arief Hidayat.

Keempat hakim konstitusi itu dilaporkan karena atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan melanggar Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebab sebagian hakim yang menyidangkan perkara gugatan IKAHI itu adalah anggota IKAHI, sehingga diduga terjadi conflict of interest atau konflik kepentingan.  

MEMENUHI UNSUR PIDANA - Lintar Fauzi menegaskan keempat hakim MK yang dilaporkannya itu memenuhi unsur tindak pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang  Kekuasaan Kehakiman Pasal 17 ayat 5 menyatakan, seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Sementara, sanksi dalam pelanggaran tersebut juga telah diatur dalam ayat 6 yang menyatakan,  dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Jadi ada sanksi pidana di situ. Jelas sekali sebenarnya ada unsur pelanggaran tindak pidana yang dilanggar oleh hakim konstitusi di situ," ujarnya.

Ia menambahkan, dalam proses persidangan ketika itu pihaknya sempat mengingatkan kepada Ketua MK Arief Hidayat perihal potensi adanya pelanggaran pidana karena adanya anggota IKAHI mengadili atau menyidangkan perkara yang diajukan oleh organisasi IKAHI juga.

"Tapi ketika itu kan upaya kita memberitahu malah tak digubris oleh Ketua MK dan hakim-hakim lainnya. Jadi seperti ada unsur kesengajaan conflict of interest itu terjadi dalam perkara ini," tambahnya.

Dengan demikian, kata Lintar, unsur pidana dalam perkara ini sangat jelas telah dilakukan oleh sejumlah hakim MK dalam menangani perkara yang akhirnya dimenangkan oleh para penggugat tersebut.

Pandangan yang sama juga sempat dilontarkan oleh salah satu komisioner Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Sholeh. Menurut Imam, tindakan yang dilakukan oleh sejumlah hakim MK itu tidak hanya mengandung pelanggaran etik hakim, akan tetapi juga mengandung unsur tindak pidana.

"Ya, memang itu ada landasan hukumnya. Ada diatur juga di UU Kehakiman dari sisi pidananya," tandas Imam kepada gresnews.com beberapa waktu silam.

PELANGGARAN KODE ETIK HAKIM – Kasus dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan empat hakim MK juga tengah diselidiki oleh Dewan Etik Mahkamah Konstitusi. Dalam perjalanannya, pelapor dan sejumlah saksi atau pihak terkait sempat menjalani pemeriksaan oleh Dewan Etik Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Namun, informasi yang dihimpun gresnews.com, hingga saat ini penyelidikan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi masih jalan ditempat dan mandeg.

Hal itu dibenarkan oleh Lintar Fauzi, menurut Lintar, seharusnya setelah Anggota Dewan Etik melakukan pemeriksaan terhadap pelapor dan sejumlah saksi atau pihak terkait, Dewan Etik Mahkamah Konstitusi membuat Majelis Etik untuk mengadili dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh sejumlah hakim MK yang dilaporkannya.

"Masalahnya kan untuk membentuk Majelis Etik itu harus dengan persetujuan Ketua MK. Nah, Ketua MK nya sendiri dalam kasus ini kan juga sebagai terlapor, jadi hingga saat ini Majelis Etik hakim MK belum terbentuk," ungkapnya.  

Untuk diketahui, laporan dugaan pelanggaran kode etik terhadap empat orang hakim MK berawal ketika Rabu (7/10) lalu MK mengabulkan permohonan uji materi yang dilayangkan sejumlah Hakim Mahkamah Agung  yang tergabung dalam Ikatan Hakim Seluruh Indonesia (IKAHI). Adapun alasan para Hakim MK lainnya mengabulkan gugatan itu adalah, UU No 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum Pasal 14 A ayat 2 dan ayat 3, UU No 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 13 A ayat 2 dan 3, serta UU 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 14 A ayat 2 dan 3 tentang keterlibatan KY dalam tahap proses seleksi perekrutan Hakim di tiga tingkat pengadilan tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945 yang kemudian diturunkan dengan UU No 49 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Selain itu Mahkamah juga berpendapat Pasal 24 B UUD 1945 telah mengatur peran dan fungsi KY sebagai pengawas kode etik para hakim. Frasa "wewenang lain" yang dimiliki oleh KY tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. Pertimbangan lain menurut Mahkamah adalah, KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary organ, membantu atau mendukung pelaku kekuasaan kehakiman.

Dengan demikian wewenang perekrutan hakim di tiga pengadilan itu sepenuhnya menjadi milik Mahkamah Agung (MA) tanpa melibatkan Komisi Yudisial (KY). Padahal awalnya KY dilibatkan dalam proses seleksi hakim yang dilakukan MA.

Dalam putusan tersebut salah satu hakim Mahkamah, I Dewa Gede Palguna mengajukan dissenting opinion atau pandangan berbeda dengan tujuh Hakim MK lainnya. Gede Palguna berpendapat bahwa terlibatnya KY dalam proses perekrutan Hakim bersama MA sama sekali tidak bertabrakan dengan UUD 1945 tentang Kemerdekaan serta Kekuasaan Hakim.

Menurut Palguna, frasa "wewenang lain" dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, dalam Pasal 24 B ayat 1 UUD 1945 tentang peran KY itu tidak dapat menjadi penghalang untuk ikut serta dalam proses perekrutan hakim.

Menurutnya, jika KY ikut dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara yang dilakukan bersama-sama dengan MA, hal itu tidak akan mengganggu kemerdekaan dan kekuasaan hakim seperti yang disangkakan.

Berdasarkan putusan tersebut, Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) melaporkan  dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh empat orang Hakim MK ke Majelis Dewan Etik MK. Keempat Hakim yang dilaporkan ke Dewan Etik atas dugaan pelanggaran etik karena conflict of interest adalah, Hakim Anwar Usman, Hakim Manahan Sitompul, dan Hakim Suhartoyo. Ketiga hakim tersebut merupakan anggota IKAHI dan dinilai memiliki keterkaitan terhadap pemohon yang mengajukan gugatan judicial review.

Selain tiga orang Hakim MK itu, GMHJ juga melaporkan Ketua Majelis MK, Arief Hidayat. Arief dinilai melakukan pelanggaran dengan pembiaran terjadinya conflict of interest yang terjadi selama proses persidangan hingga persidangan selesai. (RIFKI ARSILAN)

BACA JUGA: