JAKARTA, GRESNEWS.COM – Sejumlah dokter memprotes status profesinya yang disamakan dengan profesi tenaga kesehatan lainnya seperti teknisi gigi dan tenaga kesehatan tradisional. Persoalannya dokter merupakan sebuah profesi yang memiliki kode etik sendiri dan kompetensi melalui pendidikan berjenjang serta otonom. Posisinya tidak bisa disamakan dengan profesi tenaga kesehatan lainnya.

Persoalan ini digugat ke Mahkamah Konstitusi melalui uji materi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan). Uji materi ini diajukan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) diwakili Zainal Abidin, Daeng Mohammad Faqih, dan Haemani Kalim; Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB-PDGI) yang diwakili Farichah Hanum, Wiwik Wahyuningsih, dan Latief Mooduto; Konsil Kedokteran Indonesia diwakili Bambang Supriyatno, Sukman Putra, dan Oetama Marsis, dan perseorangan Mohammad Adib dan Salamudin.

Mereka menggugat sejumlah pasal terkait dengan status dokter yang disebut sebagai tenaga kesehatan dalam UU ini. Tidak hanya dokter, UU ini juga menyebutkan sejumlah jenis tenaga kesehatan lainnya seperti tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kebidanan, tenaga keteknisian medis, dan tenaga kesehatan lainnya. Karena ada berbagai macam jenis tenaga kesehatan, maka UU ini mengatur agar dibentuk Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) yang memayungi semua jenis tenaga kesehatan.

Salah satu pemohon Zainal Abidin menjelaskan kini sudah ada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. KKI sifatnya bisa mengambil keputusan ketika ada pelanggaran disiplin dokter. Sementara KTKI yang terdiri dari konsil-konsil sifatnya hanya koordinasi.

"KTKI belum ada karena harus dibuat dulu aturan di bawahnya. Dengan KTKI, kewenangan KKI dihilangkan. Itu membuat kekacauan karena kedokteran memiliki konsil sendiri," ujar Zainal saat dihubungi gresnews.com, Jumat (14/8).

PASAL DIGUGAT - Adapun UU yang digugat diantaranya Pasal 1 angka 1, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (3), Pasal 94, dan Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Pasal 1 angka 1 berisi tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Lalu Pasal 11 ayat (1) menyebutkan tenaga kesehatan dikelompokkan dalam tenaga medis, psikologi klinis, keperawatan, kebidanan, kefarmasian, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, tenaga gizi, keterapian fisik, keteknisian medis, teknik biomedika, kesehatan tradisional, dan kesehatan lain. Lalu ayat (2) berisi aturan jenis tenaga medis terdiri dari dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spelialis.

Dalam pasal yang sama juga disebutkan yang dimaksud dengan tenaga keterapian fisik diantaranya fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara, dan akupunktur. Lalu jenis tenaga keteknisian medis diantaranya terdiri dari teknisi gigi, penata anestesi, dan perekam medis dan informasi kesehatan. Untuk tenaga kesehatan tradisional terdiri dari tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan.

Selanjutnya, para dokter ini juga menggugat Pasal 34 yang mengharuskan dibentuknya KTKI. KTKI ini nantinya terdiri dari masing-masing konsil kesehatan. Sehingga konsil yang sudah ada yaitu KKI harus masuk ke dalam KTKI. KTKI ini harus bertanggungjawab pada presiden melalui menteri.
Dalam Pasal 36 dijelaskan KTKI ini berfungsi sebagai koordinator masing-masing konsil. Tidak hanya mengkoordinasikan, KTKI juga harus mengevaluasi, membina, dan mengawasi masing-masing konsil yang ada.

Lalu Pasal 94 mengatur Pasal 4 ayat (2), Pasal 20 ayat (4), dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Adapun pasal-pasal tersebut memandatkan agar dibuat KKI dan berisi fungsi KKI.

INDEPENDENSI DOKTER - Dalam pasal-pasal yang digugat jelas para dokter mempermasalahkan adanya KTKI yang dianggap membuat dokter menjadi tidak independen. Padahal dokter menurut Zainal merupakan pekerjaan profesi. Pekerjaan profesi harus memiliki organisasi profesi, pendidikan yang berjenjang, kompetensi, pendidikan berkelanjutan, lisensi, otonomi dan kode etik.

"Iya seperti dewan pers dalam dunia jurnalistik," tuturnya.

UU Tenaga Kesehatan ini menurutnya membuat dokter menjadi tidak otonom dan bergantung dengan pihak lain dalam hal ini menteri kesehatan. Misalnya dalam KKI terdapat lembaga otonomi yaitu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKD) yang memiliki peran menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Lembaga itu bisa memberikan pemberian sanksi disiplin atau pernyataan tidak bersalah terkait kasus yang ada.

Dalam KTKI, masing-masing konsil diperbolehkan memberikan sanksi disiplin. Jika terdapat keberatan atas keputusan di konsilnya maka bisa diajukan keberatan atas sanksi disiplin pada menteri. Dari persoalan ini saja menunjukkan profesi dokter akan bergantung pada menteri yang bersangkutan. Menteri juga dianggap telah menyalahi kewenangannya karena berubah menjadi lembaga peradilan profesi.

“Bayangkan kalau menteri putuskan dokter langgar disiplin atau tidak. Sementara menteri bukan tugasnya melakukan pekerjaan itu. Masyarakat pasti dirugikan. Misalnya kalau di MKD diputuskan dokter melanggar disiplin, lalu dokter itu banding dan dipersilakan membuka praktek lagi, masyarakat yang rugi,” jelasnya.

Ia pun mengherankan ketika tiap konsil disuruh membuat masing-masing aturan konsilnya. Pasalnya dalam ketagori tenaga kesehatan yang disebutkan UU ini, terdapat konsil mulai dari teknisi gigi, tenaga medis tradisional, hingga terapis dan tukang urut. Sehingga ia mempertanyakan bagaimana bisa profesi tukang urut yang tidak memiliki pendidikan berjenjang dimandatkan membuat aturan sendiri.

TERLALU SPESIFIK - Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPPKI) Marius Widjajarta mengatakan sejumlah undang-undang (UU) terkait kesehatan kini memang terbagi ke dalam masing-masing UU. Misalnya ada UU Praktek Kedokteran, UU Keperawatan, dan lainnya. Berbeda sebelum adanya berbagai macam UU terkait kesehatan, hanya ada satu UU yang menaungi yaitu UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

"Dalam UU Kesehatan disebutkan tenaga kesehatan antara lain dokter, dokter gigi, perawat, bidan. Tapi Sudah 17 tahun ada UU ini, Peraturan pemerintahnya (PP) baru ada sekitar 10 PP tapi muncul UU Praktik Kedokteran, UU Keperawatan dan lainnya," ujar Marius saat dihubungi gresnews.com, Jumat (14/8).

Menurut Marius, harusnya ada satu UU sebagai payung hukum semua jenis pekerjaan tenaga medis yang lex generalis. Sekarang UU yang ada menurutnya terlalu spesifik. Padahal pelayanan tenaga kesehatan sebenarnya tidak berdiri sendiri-sendiri. Ia mencontohkan di daerah pedalaman bisa jadi dokter juga berperan sebagai perawat karena tidak ada perawat. Berbeda dengan kondisi perkotaan yang normal, dimana tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan apoteker saling melengkapi.

Ketika tiap profesi tersebut diatur dalam UU terpisah dan terjadi pelanggaran disiplin oleh salah satu profesi tersebut, sementara tidak ada UU lex generalis yang memayungi, ia khawatir malah antar profesi nantinya berpotensi saling menyalahkan.

"Sekarang ini sudah kacau balau. Kalau ada masalah akan saling berdiri sendiri. Ini yang akan membuat masyarakat bingung. Jadi perlu ketegasan pemerintah sebagai pembuat UU. Mengerti atau tidak profesi dokter dan perawat bagaimana," ujarnya.

Ia menilai seharusnya profesi dokter dan perawat serta tenaga medis lainnya cukup diatur dalam PP. Tidak seperti sekarang ada profesi yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah. Misalnya dokter merasa profesinya lebih tinggi dibandingkan bidan sehingga profesi bidan bisa saja merasa tersinggung karena hal itu. Memang berdasarkan pendidikan, dokter memang mendapatkan semua pengetahuan soal kesehatan.

Persoalannya profesi-profesi lain selain dokter memiliki payung hukum juga berupa UU. "Jadi ini harus duduk bersama dan dirembuk. Jadi harus jelas. Kalau mau diujimateri boleh-boleh saja karena haknya. Tapi jangan sampai ribut sendiri, korbannya pasien. Jadi sebaiknya diatur lagi posisinya ada dimana. Karena pelayanan kesehatan satu kesatuan," jelasnya.

BACA JUGA: