JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masih ingat berita seorang warga Riau yang melakukan aksi di depan gedung DPR RI, Jakarta, lantaran anaknya diduga terkena malapraktik salah satu Rumah Sakit (RS) kenamaan di wilayahnya, RS Indra Sari, Riau? Pada 7 September 2015, genap 17 bulan, Ide Syamsudin bersama anak-istrinya melakukan aksi. Melihat contoh pengaduan yang tak kunjung terselesaikan ini, bagaimanakah sebenarnya klaim tindakan malapraktik yang dapat dilakukan masyarakat dengan benar?

Ide masih bertahan di depan gedung DPR RI dengan tenda seadanya, terkena panas dan hujan, dipandang semua mata dengan heran, dan tak cukup makan minum harian. Ellyna Fitri (11 tahun), anaknya yang diduga terkena malapraktik, masih saja harus menahan sakit akibat tindakan dokter pada 2008 lalu. Tak jarang Ellyna terus muntah-muntah dan tak sadarkan diri setelahnya.

"Total hingga saat ini 526 hari sudah kami lewati, 35 spanduk kami gelar untuk mencari keadilan," katanya kepada gresnews.com, Minggu (13/9).

Setelah pada tanggal 8 September 2014 lalu dirinya memenuhi undangan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dipimpin Ketua Komisi IX saat itu, Ribka Tjiptaning, kini kasus tak berjalan sama sekali. RDP yang berjalan pun dianggap amatir. Pasalnya tak menghadirkan oknum dokter yang dituduh melakukan malapraktik.

"Terkesan ngambang, padahal tuntutan saya dan istri kepada pemerintah dan DPR hanya ingin melihat bukti diagnosa dan izin persetujuan secara terbuka, karena Indonesia negara hukum," katanya.

Sebelumnya Ellyana pernah menjalani tiga kali operasi tanpa adanya persetujuan keluarga yang bersangkutan. Dalam tiga kali operasi itu anaknya total kehilangan sebanyak 35 cm ususnya. Dampaknya hingga kini Ellyana sering mengalami muntah yang disusul tidak sadarkan diri setelahnya.

Sementara itu, dikonfirmasi gresnews.com, Dr.H. Irwanto Bahar, SpB, yang berpraktik di RSUD Indra Sari Inhu-Riau kala itu, menyatakan kasus ini telah usai. Dirinya telah melakukan upaya medis sesuai prosedur, bahkan kelengkapan berkasnya dapat dicek di Kementerian Kesehatan dan Mahkamah Agung.

ANEKA KASUS LAINNYA - Kasus serupa tak hanya terjadi satu atau dua kali. Pada 2009, Augustianne Sinta Dame Marbun, istri pengacara kondang Hotman Paris Hutapea, mengalami kerusakan ginjal akibat dosis obat antibiotik yang terlalu tinggi sebelum dilakukan operasi pengangkatan rahim. Namun second opinion menyatakan obat tersebut malah merusak ginjalnya. Untuk pengobatan, Anne dibawa ke Singapura dan tak perlu menjalani operasi pengangkatan rahim, namun hanya pengobatan sinar laser selama 10 menit.

Atau mengulang ingatan pada 2010 dalam kacamata berbeda yang menimpa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawan dan dua orang temannya yang merupakan dokter spesialis kebidanan dan kandungan. Mereka diduga melakukan malapraktik saat mengoperasi Julia Fransiska Makatey (25) ketika melahirkan.

Julia meninggal setelah 20 menit bayinya dikeluarkan. Belakangan diketahui dari hasil otopsi sebab kematian lantaran bilik kanan jantung pasien terdapat emboli udara, sehingga mengganggu peredaran darah. Namun dr Ayu dan kedua temannya itu tetap divonis oleh MA dengan hukuman 10 bulan penjara.

Semakin meleknya masyarakat akan kekuatan hukum, semakin banyak pula laporan-laporan yang menyatakan malapraktik di mana-mana. Para dokter pun akhirnya semakin mawas untuk melindungi dirinya dari tuduhan serupa.

MALAPRAKTIK SESUNGGUHNYA - Lalu bagaimana seharusnya membedakan tuduhan malapraktik dengan malapraktik yang benar-benar dilakukan? Sebab adakalanya terkadang keluarga pasien yang memang tak terima terhadap hasil akhir kerja sang dokter.

Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto menyatakan penilaian malapraktik dilihat dari ketentuan standar profesi dan prosedur operasional. Jika tak sesuai maka bisa dikatakan malapraktik. "Namun ketika sesuai berarti bisa jadi penyakit pasien yang menjadi penyebabnya," katanya kepada gresnews.com, Minggu (13/9).

Seorang tenaga kesehatan dinyatakan melakukan tindakan malapraktik medik saat tidak melakukan tindakan medis sesuai dengan standar profesi kedokteran, prosedur operasional (SOP) dan informed consent. Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian umum. Kedua, SOP merupakan suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.

Ketiga, substansi informed consent yakni memberikan informasi tentang metode dan jenis penanganan medis yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang kesembuhan dan risiko yang akan dialami oleh pasien.

Jika dari ketiga hal itu ada salah satu yang tak dilakukan maka pihak keluarga pasien dapat mengategorikan dalam kemungkinan malapraktik. Berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus semacam ini tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).

MELEK HUKUM LAPORAN MENINGKAT- MKEK merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi IDI, berwenang menentukan kasus yang terjadi merupakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini diperkuat dalam Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan penentuan ada atau tidaknya  kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan, dan ditegaskan dalam Pasal 54 ayat (3) dimana majelis ini dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden.

"Majelis kehormatan ini yang berhak menilai pelanggaran standar di situ, pasien bisa mengadu ke sana untuk dinilai," ujarnya.

Nantinya, majelis akan melakukan sejumlah rangkaian prosedur berupa pemanggilan pasien atau keluarganya, dokter, serta perawat yang bersangkutan. Tercatat sejak 2006 hingga 2012, terdapat 183 kasus malapraktik yang terbukti dilakukan dokter di seluruh Indonesia setelah melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibatnya sejumlah 29 dokter izin praktiknya dicabut sementara.

Melihat tingginya laporan masyarakat, IDI pun membentuk biro hukum pembinaan dan pembelaan. Divisi ini bertugas untuk membantu anggotanya yang dilaporkan masyarakat. "Sekarang masyarakat lebih pandai dan terbuka masalah hukum sehingga terjadi peningkatan laporan," ujarnya.

Untuk melindungi para dokter dari gugatan ganti rugi atau lainnya, IDI pun bekerja sama dengan perusahaan asuransi untuk melindungi risiko tersebut. Di Indonesia, asuransi dokter ini telah ada untuk melindungi ganti rugi sang dokter dengan asuransi saat dituntut secara perdata.

"Saat ini laporan di majelis saja sudah sangat banyak, setahun di seluruh Indonesia bisa lebih dari lima. Dokter pun akhirnya butuh perlindungan juga," katanya.

BACA JUGA: