JAKARTA, GRESNEWS.COM - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada) cacat formil dan materil lantaran dalam proses diundangkannya terdapat dua pasal yang hilang. Lalu secara materil, revisi UU ini tidak memperbaiki ketentuan yang tidak demokratis.

Mereka yang menggugat beleid tersebut diantaranya Yanda Zaihfni Ishak, Heriyanto, dan Ramdansyah. Dalam permohonannya mereka menggugat Pasal 7 huruf f, Pasal 22B huruf d, Pasal 40 ayat (3), Pasal 47 ayat (2), ayat (5), Pasal 49 ayat (4), Pasal 50 ayat (4), Pasal 58 ayat (7), Pasal 63 ayat (2), Pasal 70 ayat (2), Pasal 75 ayat (5), Pasal 138, Pasal 158, dan Pasal 193 ayat (2) UU Pilkada.

Dalam sidang pendahuluan, pemohon Heriyanto menilai UU Pilkada yang baru direvisi para pembuat undang-undang tidak memperbaiki ketentuan yang tidak demokratis. Contohnya tidak ada sanksi bagi pelaku politik uang dan tidak ada sanksi bagi pelaku yang membeli partai politik untuk mendukung pencalonannya.

"Tidak transparannya penggunaan dana kampanye dari sumber yang dilarang. Sehingga menyebabkan pemohon rentan kalah bersaing dengan para pemilik modal yang besar," ujar Heriyanto dalam sidang pengujian UU Pilkada di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (30/4).

Kelemahan-kelemahan dalam UU pilkada menurutnya telah membuat para pemohon yang memiliki hak berkompetisi sebagai calon gubernur, bupati, dan walikota akan kalah saing dengan calon yang memiliki uang atau modal. Lalu ia juga mempermasalahkan ketentuan pasangan calon yang dapat berkompetisi dalam pilkada. Padahal ketentuan yang dapat berkompetisi hanya calon dan bukan sepaket dalam bentuk pasangan, belum diimplementasikan. Selanjutnya, substansi demokratis dalam UU Pilkada seperti uji publik malah dihapuskan pembentuk UU.

Ia menyebutkan kelemahan lain dalam UU PIlkada. Diantaranya ketentuan di dalam UU tersebut tidak mencantumkan redaksi wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota. Redaksi wakil misalnya tidak dicantumkan pada Pasal 153 yang menyebutkan sengketa tata usaha negara hanya dapat diajukan oleh calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota.

Menurutnya, akibat pasal 153 tidak mencantumkan redaksi ´wakil´ maka perbuatan melawan hukum yang menghilangkan hak konstitusional sehingga bisa dikenakan sanksi hanya berlaku untuk calon gubernur, bupati, dan walikota. Sementara upaya yang bisa menghilangkan hak konstitusional wakilnya tidak bisa dilakukan karena tidak dicantumkan.

Selanjutnya, ia menyebutkan terdapat sejumlah pasal yang tidak pernah disetujui dalam paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tapi muncul ketika diundangkan. Pada 17 Februari 2015 ia menyebutkan terdapat 115 poin yang diparipurnakan. Tapi saat diundangkan malah terdapat 117 poin.

Pasal yang hilang yaitu Pasal 42 ayat (7) UU Pilkada. Ketika diundangkan pasal ini masih ada. Tapi ketika diundangkan, pasal ini hilang. Selain itu, Pasal 71 ayat (2) juga hilang ketika diundangkan.

Melihat fakta adanya perubahan poin dalam UU Pilkada, ia menjelaskan dalam pembahasan materi UU hanya boleh dilakukan pada pembahasan tingkat pertama dan tingkat kedua. Sehingga tidak boleh ada penambahan ataupun pengurangan di luar paripurna. Ia menilai bertambahnya poin dalam UU Pilkada tersebut tidak dapat dibenarkan secara formal. Atas dasar ini ia menuding UU Pilkada cacat materil dan formil.

Menanggapi sidang pendahuluan uji materi UU Pilkada, Hakim Ketua I Dewa Gede Palguna menilai kerugian konstitusional pemohon belum tergambarkan dalam peermohonan. Menurutnya, pemohon seharusnya menyebutkan secara spesifik hak yang dilanggar akibat adanya pasal yang digugat.

"Orang mungkin mengatakan persoalan legal standing sepele. Tapi itulah pintu yang harus anda ketuk untuk bisa terbuka sebelum masuk ke materi permohonan," ujar Palguna pada kesempatan yang sama.

Lalu Hakim anggota Wahiduddin Adams mengatakan cacat formil yang disebutkan pemohon tidak terlalu dielaborasi. Misalnya seharusnya dalam permohonan pemohon bisa menjelaskan lebih detail soal tahapan pembentukan undang-undang sejak perencanaan, persiapan, perumusan, hingga pembahasan dan pengundangan.

"Tahap-tahap itu bisa saudara lebih elaborasi," ujar Wahiduddin pada sidang yang sama.

BACA JUGA: