JAKARTA, GRESNEWS.COM - Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, M. Basuki Hadimuljono tentang Izin penggunaan sumber daya air dituding mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Surat edaran tersebut justru terus memberi ruang penguasaan atas sumber-sumber air bagi kelompok-kelompok swasta.

Basuki pada tanggal 19 Maret 2015 mengeluarkan Surat Edaran Nomor 04/SE/M/2015 tentang Izin Penggunaan Sumber Daya Air dan Kontrak Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Sistem Penyediaan Air Minum Perpipaan. Surat ini seperti menggagalkan kemenangan rakyat atas sumber daya air setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 85/PUU-XI/2013 yang telah membatalkan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Putusan MK selain membatalkan undang-undang Sumber Daya Air juga memberlakukan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. "Segala bentuk pengusahaan air dan atau sumber-sumber air harus berlandaskan atas undang-undang yang diberlakukan pascaputusan tersebut," kata Edo Rakhman, Manajer Kampanye Wahana  Lingkungan Hidup (Walhi), kepada Gresnews.com, Senin (30/3).

Walhi menegaskan surat edaran tersebut tidak sejalan dengan prinsip pembatasan yang dipertimbangkan MK, yakni mengusahakan air sebagai upaya menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa.

Langkah Basuki malah memberi ruang penguasaan atas sumber-sumber air bagi kelompok-kelompok swasta dan badan hukum lainnya yang telah ada sebelumnya. Bahkan memberikan peluang untuk izin-izin yang sedang dalam proses pengajuan baru dan perpanjangan.

Surat edaran tersebut jauh dari makna “Sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat” sebagaimana menjadi prinsip “pembatasan” utama dalam perintah konstitusi UUD 1945. Sebenarnya pemerintah dimungkinkan untuk memberikan izin kepada pihak swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat. Yakni setelah dilakukan seluruh pembatasan dan ternyata masih tersisa ketersediaan air.

"Poin 2 dan 3 di surat edaran, menunjukkan keberpihakan pada pemegang izin penggunaan air permukaan dan pihak swasta yang telah menandatangani kontrak kerjasama untuk Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Perpipaan," katanya.

Pada poin 2, pemerintah tetap memberlakukan izin penggunaan air permukaan yang telah diterbitkan sebelum putusan MK dikeluarkan. Begitu juga dengan izin-izin baru yang sedang dalam proses pengurusan dan izin perpanjangan, juga akan dilakukan evaluasi dengan menggunakan ke-6 prinsip pembatasan MK.

Namun, evaluasi hanya dilakukan oleh instansi pemberi izin tanpa ada pelibatan masyarakat sipil. "Tentu kebenaran evaluasi dan independensi proses tersebut patut diragukan, karena tidak ada kontrol langsung dari masyarakat sipil," kata Edo.

Pada poin 3, terkait kontrak kerjasama SPAM Perpipaan antara pemerintah dan swasta akan dilakukan evaluasi dan/atau renegosiasi kontrak dengan mendasarkan pada 6 prinsip MK. Hal ini dinilai sangat merendahkan putusan MK dan juga UU No.11 tahun 1974 yang diberlakukan kembali oleh MK. "Begitu rendahnya posisi tawar pemerintah terhadap swasta sehingga harus membuka ruang renegosiasi," ujarnya heran.

Pasca putusan MK seharusnya pemerintah mengambil langkah-langkah yang dapat mengakomodir secara adil atas persoalan sumber daya air. Presiden harus mengeluarkan perpres menyelamatkan dan melindungi sumber air tanah yang tersisa saat ini. Perpres harus menghentikan keluarnya izin penggunaan air tanah untuk skala industri atau usaha dan juga menyelamatkan air tanah dari segala bentuk ancaman industri ekstraktif.

Bahkan jika perlu, air tanah dimasukkan dalam kategori bidang usaha tertutup dari penanaman modal sebagaimana diatur dalam Perpres 39 tahun 2014. Artinya selain air mempunyai fungsi sosial yang sangat penting, juga sepenuhnya menjadi penguasaan negara yang diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat konstitusi.

Kedua, Presiden harus mengeluarkan keputusan air tanah bukan menjadi kewenangan Menteri PU dan PR. Disesuaikan dengan keputusan MK yang memberlakukan kembali UU No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Dimana Pasal 5 Ayat (2) berbunyi “Pengurusan administratif atas sumber air bawah tanah dan mata air panas sebagai sumber mineral dan tenaga adalah diluar wewenang dan tanggungjawab Menteri yang disebut dalam Ayat (1) pasal ini”.

Pasal 5 Ayat (1) “Menteri yang diserahi tugas urusan pengairan, diberi wewenang dan tanggungjawab untuk mengkoordinasikan segala pengaturan usaha-usaha perencanaan, perencanaan teknis, pengawasan, pengusahaan, pemeliharaan, serta perlindungan dan penggunaan air dan atau sumber-sumber air, dengan memperhatikan kepentingan Departemen dan atau Lembaga yang bersangkutan”.

Ketiga Menteri PU dan PR semestinya mengusulkan kepada Presiden untuk segera membentuk Tim Penyelaras lintas kementerian atau lembaga negara dan juga masyarakat sipil. "Tim ini harus menyelaraskan perintah, kontrol masyarakat, dan Putusan MK, dengan kondisi eksisting pengelolaan sumber daya air di Indonesia," katanya.

Juga mulai mengimplementasikan UU No.11 Tahun 1974 sebagai pengganti UU No.7 Tahun 2004 yang telah dibatalkan oleh MK. Pemerintah harus menjalankan perintah putusan MK secara benar dan transparan. "Menteri PU dan PR harus segera menarik surat tersebut karena sangat mengabaikan hak rakyat dan dapat memicu konflik yang lebih besar," katanya.

Sebelumnya, MK menyatakan pasca Pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, pihak swasta masih dapat melakukan pengelolaan air. Hal ini dengan catatan pengelolaan air oleh pemerintah lebih besar persentasenya. "Putusan kita menyatakan sumber daya air menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai negara," ujar Ketua MK Arif Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, beberapa waktu lalu.

Namun begitu, ia menyatakan masih terdapat ruang bagi pihak swasta yang ingin mengelola air. Selama pengelolaan secara penuh masih diambilalih negara melalui BUMN atau BUMD. "Bila pengelolaan masih ada sisa maka baru swasta boleh ikut berperan," katanya.

BACA JUGA: