JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengembangan Coalbed Methane (CBM) atau Gas Metana Batubara di Indonesia tersendat-sendat bahkan nyaris tak terkelola. Padahal, gas ini pernah digadang-gadang menjadi sumber energi baru untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat.

Mengutip data Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2012), Gas Metana Batubara ini masih famili gas alam. CBM merupakan gas bumi atau (hidrokarbon) yang komposisi utamanya adalah gas metana, serta sedikit gas hidrokarbon dan gas non-hidrokarbon lainnya. Gas ini secara alamiah terbentuk dari proses pembentukan batubara. Karena itu, gas ini posisinya terperangkap dan terserap pada lapisan batubara.

Gas ini pertama kali ditemukan sebagai gas berbahaya di tambang batubara bawah tanah. Sebelum tahun 1980an, gas ini ditakuti karena jika terkumpul dan terbakar bisa menimbulkan ledakan. Untuk mengantisipasinya, gas ini kemudian dialirkan dan dibuang begitu saja ke udara.

Penelitian untuk memanfaatkan gas ini dimulai oleh Amerika Serikat (AS) di tahun 1970. Penelitian membuktikan bahwa gas ini dapat dipergunakan sebagai sumber energi tersendiri, di samping membuat aman proses penambangan batubara. Saat ini CBM menyumbang sekitar 10 persen suplai energi di AS. Di beberapa negara seperti AS, Rusia, China dan Australia, CBM saat ini banyak digunakan untuk menggerakkan pembangkit listrik.

Beda dengan gas alam konvensional (yang reservoirnya berupa pasir, gamping maupun rekahan batuan beku), gas ini reservoirnya ada di lapisan batubara. Maka, untuk mendapatkannya, reservoir CBM harus direkayasa terlebih dulu sebelum gasnya dapat diproduksi. Beda dengan gas konvensional yang bisa keluar dengan cara langsung dibor.

"Produksi CBM dilakukan dengan menguras air yang terkandung dalam lapisan batubara. Setelah air yang terkandung ini keluar maka akan diperoleh gas metana yang keluar menggantikan air dalam produksi sumur CMB," ujar Ahli Geologi Rovicky Dwi Putrohari, kepada gresnews.com, Kamis (30/7).

Data Kementerian ESDM menyebutkan potensi CBM di Indonesia cukup besar. Cadangannya mencapai 300-450 triliun kaki kubik (TCF). Jauh lebih besar jika dibanding dengan cadangan gas alam konvensional Indonesia yang hanya 153 TCF. Cadangan CBM tersebut tersebar di 11 areal cekungan (basin) batubara. Yaitu di Sumatera Selatan (183 TCF), Barito (101,6 TCF), Kutai (89,4 TCF) Sumatera Tengah (52,5 TCF) untuk kategori high prospective. Di Tarakan Utara (17,5 TCF), Berau (8,4 TCF), Ombilin (0,5 TCF), Pasir/Asam-Asam (3,0 TCF) dan Jatibarang (0,8) untuk kategori modarate. Dan di basin Sulawesi (2,0 TCF) serta Bengkulu (3,6 TCF) untuk kategori low prospective.

Sejak 2008 sampai saat ini, setidaknya telah ada 54 kontrak kerja sama (KKS) pengembangan CBM yang telah ditandatangani oleh Kementerian ESDM. Namun, sampai saat ini belum banyak yang menghasilkan gas metana.

Rovicky membenarkan bahwa potensi CBM di Indonesia cukup besar. Hal itu dapat dilihat dari angka perkiraan potensi yang dikeluarkan Kementerian ESDM. Angka perkiraan potensi CBM Indonesia ini dihitung dan diperkirakan pada tahun 2003 oleh Advanced Resources International. Inc.

Menurut Rovicky, angka ini memang sangat fantastis. Namun perlu diingat, angka ini masih berupa potensi. Belum tentu hasilnya sebesar itu saat dilakukan produksi. Selain itu belum tentu juga potensi itu ekonomis untuk dilakukan proses produksi. Faktanya hingga saat ini produksi CBM yang tercacat hanya  0.1 MMCFD. Jauh dari target 500 MMCFD yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2008. Masih jauh dari harapan. "Memerlukan pekerjaan detil mulai dari riset, testing, pengembangan hingga pemeliharaan produksi," katanya.

HAMBATAN-HAMBATAN -Direktur Pembinaan Hulu Minyak dan Gas Bumi, Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto menjelaskan, secara umum hambatan pengembangan CBM di Indonesia dapat dibagi menjadi dua. Yaitu hambatan teknis dan hambatan non teknis.

Di bidang teknis, Djoko menyebut, ada tiga masalah yang menghambat. Pertama, masih kurangnya studi tentang kandungan CBM di Indonesia. Selama ini pengembangan CBM di Indonesia banyak didasarkan pada kajian atau referensi  CBM dari negara-negara lain. Karena itu perlu lebih banyak dilakukan pengeboran untuk mendapatkan sample yang lebih banyak lagi.

"Kandungan gas yang ada di dalam batubara itu sendiri belum tentu sama dengan hasil studi-studi, ataupun belum tentu sama dengan kandungan batubara di negara-negara lain. Referensinya kita adalah referensi dari negara lain,” katanya kepada gresnews.com melalui sambungan telepon, Kamis (30/7).

Masalah teknis kedua, adalah teknik pengeboran. Menurutnya, jika pengeboran dilakukan sesuai aturan yang konvensional maka biaya kajiannya akan menjadi terlalu besar. Padahal sebenarnya ada teknik yang lebih murah dan lebih cepat. Masalah teknis ketiga, yaitu terkait dengan proses dewatering. Dewatering adalah proses  pengurasan air saat produksi. Menurut Djoko, gas batubara tekannya kecil. Karenanya, untuk mendapatkan gas air di sekitarnya harus dikuras terlebih dahulu untuk dibuang. "Nah, ketika kita ngebuang air itu kan (aturannya) harus tidak boleh mencemari lingkungan.  Jadi masalah teknis, tiga itu," katanya.

Sedangkan hambatan non teknis muncul dari masalah biaya, perizinan, pembebasan lahan dan keekonomian. Terkait masalah-masalah non teknis ini, Kementerian ESDM sedang menggodok kebijakan yang diharapkan dapat menjadi pengurai.

Kebijakan yang direncakan berbentuk Peraturan Menteri (Permen) ESDM ini ditargetkan selesai dan diluncurkan pada akhir Agustus ini. "Masalah keekoonomian ini yang sedang kita evaluasi kembali. Kita akan keluarkan peraturan menteri (Permen ESDM), terkait masalah kebijakannya itu," kata Djoko.

AMANDEMEN KONTRAK - Untuk masalah non teknis, menurut Djoko, pemerintah menurutnya bisa mendorong pengembangan CBM dengan kebijakan. Yaitu membuat peraturan, memberi insentif, dan memberikan kemudahan-kemudahan untuk investor.

Sedangkan untuk masalah teknis, seperti masalah pengeboran, biaya investasi dan lain itu merupakan bagian yang harus diupayakan badan usaha. Untuk itu kerjasama pemerintah dengan badan usaha harus terus dikembangkan. "Harus bersinergi, harus saling mendukung, harus ada perubahan dan terobosan agar kegiatan ini tetap berkembang, tetap berjalan," katanya.

Di dalam Permen ini, lanjut Djoko, akan ada perbaikan kontrak CBM, pemberian insentif dan kemudahan-kemudahan lain. Salah satunya adalah perubahan mengenai sistem bagi hasil. Jika sebelumnya, penghitungan menggunakan kontrak bagi hasil produksi atau production sharing contract (PSC) konvensional berubah menjadi sliding scale. Yaitu, di tahap-tahap awal produksi, ketika biasanya produksi gas masih kecil maka bagian kontraktor akan lebih besar dari bagian negara. Tujuannya, agar mereka bisa cepat balik modal. "Supaya investasinya cepat balik, ya bagian dia lebih besar dulu," katanya.

Selanjutnya, saat produksi gas makin besar, maka bagian negara menjadi lebih besar porsinya. "Jadi sistemnya dinamik dan kita sebut sliding scale. Yaitu ketika produksinya naik bagian negara otomatis jadi tambah naik (besar), tapi kalau produksinya kecil ya bagian kontaktor porsinya lebih besar," kata Djoko. Menurutnya, hal ini dilakukan pemerintah untuk membuat investasi CBM di Indonesia menjadi menarik.

Rovicky mengatakan bahwa untuk mengembangkan CBM memang perlu waktu dan perlu kesabaran. Menurutnya, negara-negara lainpun, yang saat ini berhasil memproduksi CBM perlu waktu lama untuk melakukan riset, penyelidikan dan pengembangan. Amerika Serikat butuh waktu 21 tahun untuk berhasil. Sedangkan Kanada perlu waktu hingga 30 tahun, mulai 1970 sampai mulai berproduksi di tahun 2000.

MASIH PERLU KAJIAN - Kalau Indonesia ingin mengikuti kesuksesan mereka, masih memerlukan waktu riset. Menurut Rovicky, semestinya tidak terburu-buru dimasukkan dalam pemenuhan kebutuhan energi jangka pendek dan menengah. "Di Indonesia CBM baru mulai jadi ‘primadona’ sekitar tahun 2003, maka perlu kesabaran dan ketekunan mengembangkan riset-risetnya,” katanya.

Hasil-hasil kajian di luar negeri juga tidak bisa serta merta diterapkan di Indonesia. Hal ini karena ada perbedaan karakteristik tanah di wilayah Indonesia. Rovicky menjelaskan, produksi CBM dilakukan dengan menguras air di lapisan batubara, agar gas metana bisa keluar. Berbeda dengan negara-negara pengembang CBM lainnya, seperti Amerika Serikat, Kanada dan Australia yang bercurah hujan kecil, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan curah hujan cukup tinggi. "Ini menyebabkan proses dewatering atau pengurasan air ini jauh lebih lama," katanya.

Lamanya proses pengurasan ini, menurut Rovicky, tentu saja sangat menentukan nilai keekonomian dari pengusahaan CBM ini. Selain itu pengembangan CBM di Amerika Serikat, Kanada dan Australia biasanya dilakukan di lahan savana atau lahan kering. Airnya sangat sedikit. Sehingga, saat pembuangan air yang melimpah dari dalam sumur CBM ke permukaan tidak menganggu. Hal ini berbeda dengan kondisi pengembangan CBM di Indonesia yang biasanya berada di sekitar lahan pertanian atau perkebunan.

Selain itu, lanjut Rovicky, harus diteliti juga pengaruh kegiatan pengurasan air dengan muka air tanah di daerah sekitar wilayah kerja (WK) pengembangan CBM. Dengan tantangan-tantangan itu, maka riset-riset dasar masih harus dilakukan bersamaan dengan pilot project pada awal pengembangan CBM ini. Dampak hidrogeologi dari pengurasan ini harus menjadi bagian penting dalam meninjau aspek dampak lingkungan sebelum mengusahakan CMB dalam skala yang lebih besar. "Neraca hidrologinya harus diperhitungkan dengan matang supaya tidak mempengaruhi kegiatan pertanian atau perkebunan bila ada di WK bersangkutan,” kata Rovicky.

Rovicky juga membenarkan, salah satu kendala pengembangan CBM adalah ada di sistem tata aturan fiskal pengusahaannya. Selama ini di dunia migas hanya dikenal sistem production sharing contract (PSC). Masalahnya, pola pengusahaan CBM ini sangat jauh berbeda dengan migas konvensional, mulai dari eksplorasi hingga profil produksinya.

Karena itu, pengusahaan CBM perlu sistem atau bentuk kontrak yang berbeda dengan PSC. Atau bisa juga modifikasi dari PSC yang disebut pendapatan kotor atau gross revenue. Selain itu, bisa juga menggunakan kontrak royalti. "Sebenarnya kontrak royalti lebih bagus dan lebih disukai oleh kontraktor. Karena adanya ‘kebebasan’ dalam mengusahakan dan kegiatan eksplorasinya," katanya.

PENGEMBANGAN KE DEPAN - Menurut Rovicky, agar pengusahaan CBM di Indonesia ke depan bisa lebih maju maka ada tiga hal utama yang harus diperhatikan.  Pertama, perlu peningkatan riset teknologi,  untuk kondisi Indonesia yang sangat unik dibanding tempat-tempat lain. Baik jenis batubaranya, maupun kondisi geologis dan geografis pemanfaatan lahannya.

Kedua,  sistem fiskal pada CBM yang tidak dapat disamakan dengan pengusahaan migas konvensional. Sistem PSC, Gross Revenue, atau bahkan sistem royalti sebaiknya dipelajari, mana yang lebih cocok. Termasuk di dalamnya perlu dilihat kemungkinan untuk dilakukan "total project". Yaitu pengembang CBM langsung menjual listrik, bukan jual gas lagi. "Ini mirip dengan pengusahaan geothermal yang tidak menjual uap panas tetapi menjual listrik," katanya.

Ketiga, memperbaiki proses yang rumit. Antara lain dengan memperbaiki tumpang tindih perizinan, dan perbaikan sistem procurement pengadaan barang dan jasa yang berhubungan dengan CBM. (Agus Hariyanto)

BACA JUGA: